If This Was a Movie chapter 3
Yeah, finally setelah main The Sims Social marathon with Dhafir selama 3 jam, gue bisa ngepost chapter 3 juga. Chapter ini special buat Kratak-ing girl, Megan Quinka Dwidara Toding yang enggak bisa move on yang terus terusan menteror gue lewat sms & mention supaya chapter 3 segera diterbitkan. Selamat membaca, Megan!
***
![]() |
Cerita sebelumnya..... |
Maddi mendengar suara tawa Adam, Megan dan Cameron yang awalnya tertahan lama-lama menjadi membesar. What the… Mereka semua menertawaiku, aku tau itu. Ini benar benar membuatku kesal. Maksudku, ini bukan masalah duduk dengan Grey dan berpisah dengan Adam. Ini lebih ke masalah harga diriku yang mulai di runtuhkan oleh Adam. Ah!
“Maddi kenapa duduk sama Grey, sih?” tanya Cameron pura-pura bodoh. Mackenzie menatap Adam dan Megan lalu tersenyum kecil.
“Lho? Cameron belum tau? Maddi kan ingin lebih dekat dengan Grey katanya…” kata Megan sambil tertawa lalu menyikut Mackenzie. “Iya kan, Zie?” tanya Megan pelan. Mackenzie mengangguk lalu tersenyum, “iya, kemarin Maddi mengirim pesan seperti itu..”
“Hahaha Maddi mungkin ingin lebih dekat dengan Grey karena selama ini dia kan tidak terlalu dekat dengan Grey. Bisa dibilang mereka ‘jauh’…” kata Adam sambil tertawa. Tiba-tiba sebuah pulpen melayang ke arah Maddi. Ia meringis lalu menoleh.
“Hei! Apa sih maumu, Dam?” tanya Maddi kesal. Adam tertawa.
“Tidak. Aku hanya kangen padamu.” jawabnya sambil tertawa. Ups, kenapa… Tiba-tiba perutku melilit seperti ini? Adam pasti hanya bercanda.
“Bodoh, berhenti menertawaiku. Aku hanya ingin duduk dengan Grey.” kata Maddi sinis. Maddi lalu melanjutkan menulis beberapa soal yang di tulis oleh Miss Shelly. Miss Shelly tiba-tiba berhenti menulis lalu berjalan ke meja Adam dan Mackenzie. Ia seperti berbicara sesuatu pada Adam, lalu berbalik ke arah meja guru, meraih tas cokelatnya lalu berlari keluar kelas.
“Class! Be quite, please!” seru Adam dengan gaya berwibawa –ia adalah Ketua Kelas.
“Hih, apa sih maksud Adam seperti itu….” Maddi mengoceh sambil melanjutkan mencatat soal soal yang ada di papan tulis. Semua murid di kelasnya sudah terdiam, tinggal Maddi sendiri yang masih mengoceh. Grey tiba-tiba berdehem lalu menoleh dan menatap mata Maddi.
“Hey dengar, Ketua Kelas meminta kita untuk diam. For a while kok.” kata Grey sambil tersenyum. Maddi tersentak lalu refleks menutup mulutnya.
“Soal yang ada di papan tulis kalau sudah selesai di catat jadikan PR. Kita punya beberapa lembar essay yang harus selesai siang ini. Miss Shelly sakit, jadi ia harus pulang. Tapi tetap saja tugas ini di kumpulkan. Jangan protes! Kalian bisa mengerjakannya dengan teman sebangku kok. Jam ke 9 essay Fisika ini harus terkumpul di meja Megan ya!”
Setelah menjelaskan kepada murid murid, Adam keliling kelas untuk memberikan 4 lembar essay Fisika yang dalam waktu 2 jam harus selesai. Ketika ia sampai di meja Maddi dan Grey, ia tersenyum licik.
“Yeay! Aku menang lagi, Maddi Jane!” seru Adam dengan nada penuh kemenangan. Maddi menatapnya sinis lalu menyodorkan tangannya.
“Diam. Cepat mana kertas kertas laknat itu?” tanya Maddi dengan nada kesal.
“Jadi berapa lama kau akan duduk disini? Selamanya? Bagus!” seru Adam sambil menaruh kertas itu di meja Greyson. “Sampai jam ke 9 ya, Grey!” kata Adam sambil berlari menuju meja berikutnya.
“What the… ADAM YOUNG!” seru Maddi kesal sambil ingin melempar Adam dengan botol minumnya. Tiba-tiba Megan berlari ke arah Maddi lalu menahan tangan Maddi. “Jangan, Maddi.” Maddi menggeram lalu menatap Megan yang sedang tertawa.
“Sudahlah, diam kau, Quinka.” kata Maddi marah sambil menarik tangannya dari genggaman Megan. Ia langsung duduk dan menggerutu beberapa kali. Megan tertawa, “anak ini marah, Grey. Hati hati. Amukannya parah.” kata Megan sambil berjalan menjauhi meja Maddi dan Grey.
Maddi masih menggerutu ketika Grey membuka MacBook-nya lalu mengklik aplikasi Safari. Maddi beberapa kali melirik cowok bermata cokelat itu sambil menyobek nyobek kertas yang ada di tangannya. Maddi melirik Grey lagi. Cowok itu kini membuka situs YouTube.
“Ayo ngerjain essay-nya, Madd.” kata Grey dengan nada datar sambil tetap menatap layar laptopnya. “Idiot, masa aku sendiri yang mengerjakan?” tanya Maddi dengan nada kesal.
“Bodoh. Maksudku, aku dan kamu –kita.”kata Grey sambil menutup sedikit layar MacBook-nya dan meraih lembaran essay Fisika yang ada disamping botol air mineralnya.
“Aku ganjil!” kata Maddi bersemangat.
“Hah.. Ya sudah. Aku genap.” kata Grey pasrah. Ia lalu menyodorkan kertas itu pada Maddi lalu membuka MacBook-nya lagi. Maddi mulai mengerjakan soal mengenai Hukum Newton itu. Tapi matanya sesekali mencuri pandang ke arah layar MacBook milik Grey. Tiba-tiba terdengar lagu yang tidak asing lagi di telinga Maddi. Lagu yang sering ia nyanyikan beberapa hari belakangan ini. Lagu itu milik The Script, Breakeven.
“Breakeven?” tanya Maddi pelan.
“Iya….” kata Grey lirih. “Kamu suka The Script?” lanjut Grey. Maddi mengangguk.
“Iya. Lagunya enak enak. Terutama yang ini.”
“Hahaha iya… Maddi?”
“Hah? Iya Grey?”
“Bisa kau nyanyikan lagu ini untukku?” tanya Grey sambil menatap Maddi dalam dalam. Maddi tersentak kaget. “Apa? Menyanyikannya… Untukmu?” tanya Maddi gugup.
“Iya. Jika kau bisa menyanyikannya dengan baik, aku akan mengerjakan semua essay essay ini.” jawab Grey sambil tertawa. Ia meraih pulpen hijaunya lalu menatap mata Maddi dan tersenyum. Maddi terkekeh. “Hah, konyol. Tapi baiklah!”
“Tapi, Madd…”
“Kenapa, Grey?”
“Kalau kau tidak bisa menyanyikan lagu ini dengan baik.. Eum….”
“Ya? Aku harus melakukan apa?” tanya Maddi terburu buru. Dalam hatinya ia berdoa supaya kali ini ia tidak kalah lagi.
“Kau.. Harus menjawab pertanyaanku. Mudah kok.” kata Grey dengan mimik muka serius lalu di akhiri dengan tawa renyahnya. Maddi menatap mata Grey lalu mengangguk.
“Baiklah…” kata Maddi. Ia menghela nafas, berdiri, lalu mulai bernyanyi.
I'm still alive, but I'm barely breathing
Just prayin' to a God, that I don't believe in
Cause I got time, while he got freedom
Cause when a heart breaks, no it don't breakeven
His best days, were some of my worst
Just prayin' to a God, that I don't believe in
Cause I got time, while he got freedom
Cause when a heart breaks, no it don't breakeven
His best days, were some of my worst
He finally met a girl, who's gonna put him first
While I'm wide awake, he's no trouble sleepin'
Cause when a heart breaks, no it don't breakeven
What am I gonna do
When the best part of me, was always you
And what am I supposed to say
When I'm all choked up, and you're okay
I'm falling to pieces
I'm falling to pieces
While I'm wide awake, he's no trouble sleepin'
Cause when a heart breaks, no it don't breakeven
What am I gonna do
When the best part of me, was always you
And what am I supposed to say
When I'm all choked up, and you're okay
I'm falling to pieces
I'm falling to pieces
You got her heart and my heart and none of the pain
You took your suitcase, and I took the blaime
Now I'm tryin'a make sence of what little remains, oh
Cause you left me with no love
And no love to my name
I'm still alive, but I'm barely breathing
Just praying to a God that I don't believe in
Cause I got time, while he got freedom
Cause when a heart breaks, no it don't breakeven
No it don't breakeven no
You took your suitcase, and I took the blaime
Now I'm tryin'a make sence of what little remains, oh
Cause you left me with no love
And no love to my name
I'm still alive, but I'm barely breathing
Just praying to a God that I don't believe in
Cause I got time, while he got freedom
Cause when a heart breaks, no it don't breakeven
No it don't breakeven no
Maddi bernyanyi sepenuh hatinya. Ia memang sangat menyukai lagu ini dan menurutnya, ada beberapa lirik yang cocok untuk cerita cintanya saat ini. Mata Grey terus menatap Maddi tak percaya. Ketika Maddi selesai menyanyi, Grey langsung berdiri dan bertepuk tangan.
“Bravo!” seru Grey sambil tertawa. Maddi tersenyum, wajahnya memerah tersipu. “Terima kasih, Grey..” katanya sambil duduk. Ia lalu meraih botol minum birunya dan menenggak air putihnya sampai habis.
“Jadi aku berhasil menyanyikannya kan?” kata Maddi jahil.
“Eum.. Tidak terlalu berhasil. Aku tidak terlalu menyukainya. Seharusnya kau bisa lebih baik daripada ini, Maddi.” jawab Grey dengan mimik serius. Maddi mendengus kesal.
“Ah, Greyson! Aku sudah menyanyi sepenuh hati!”
“Tetap saja menurutku kau belum berhasil…”
“Tidak terlalu bukan berarti belum, Grey!”
“Ah, sudahlah.” kata Grey sambil meraih lembaran essay Fisika yang ada di depan Maddi.
“Yeah, aku menang!” seru Maddi girang. Grey menatapnya lalu tertawa.
“Tidak. Aku tetap mengerjakan ini, tetapi kau juga harus menjawab pertanyaanku.”
“Hah? Ini tidak adil, Greyson Chance!!” seru Maddi tak terima.
“Yang harusnya bilang tidak adil itu aku, bodoh! Aku harus mengerjakan essay essay ini sementara kamu hanya menjawab pertanyaanku!”
“Ah.. Iya ya…” kata Maddi sambil tertawa. “Baiklah, mau menanyakan apa?” tanya Maddi. Grey menaruh lembaran essay dan pulpen hijaunya, memosisikan dirinya berhadapan dengan Maddi, dan menatap mata Maddi lekat lekat dengan mimik serius.
“Eum… Jawab yang jujur, ya. Apa benar….”
“Hah? Apa?” tanya Maddi dengan suara bergetar.
“Apa benar kau mau duduk denganku supaya bisa lebih dekat denganku?” tanya Grey pelan. Maddi menghela nafasnya berkali kali. Ia bersumpah dalam hatinya, ia akan membunuh Adam, Megan dan Cameron secepat yang ia bisa. Maddi menelan ludahnya.
“Apa benar itu, Madd?”
“Eum… Sebenarnya… Tidak begitu juga. Aku hanya kalah bertaruh dengan Adam. Tapi aku juga mau kok duduk dengan Grey. Selama ini kita tidak terlalu dekat bukan? Mungkin ini kesempatan buat lebih mengenal Grey. Tapi sebenarnya bukan aku yang mau duduk denganmu.” jelas Maddi akhirnya.
Grey menatap Maddi lalu membuang mukanya ke arah papan tulis. Ia lalu meraih pulpen hijaunya dan mulai mengerjakan essaynya. Wajahnya menunjukan kekecewaan, tapi ia sendiri tidak mengerti kenapa ia harus bersikap seperti itu.
Maddi seakan akan membeku. Ia bingung melihat sikap Grey yang tiba-tiba menjadi dingin setelah tertawa bersamanya. Apa yang salah dariku? Aku sudah menjawab pertanyaannya dengan jujur. Grey kenapa?
Maddi cemas. Sudah hampir 1 jam Grey tidak bicara padanya. Grey sibuk dengan essay essay itu. Entah apa yang terjadi padanya. Maddi mulai memutar otak, mencari cari apa kesalahannya. Tapi ia tidak dapat menemukannya.
“Greyson kenapa? Maddi berbuat salah kah?” tanya Maddi akhirnya.
“Tidak. Aku tidak apa apa.”
“Lalu kenapa diam saja?” tanya Maddi gugup.
“Aku hanya sibuk dengan essay esaay ini, Maddi.”
“Sungguh?”
“Iya.” jawab Grey pendek. Maddi tersentak. Ia sadar ada sesuatu hal yang salah dengan Grey.
“Sini biar aku yang mengerjakannya..” kata Maddi sambil meraih pulpen yang ada ditangan Grey. Grey menggeleng. “Tidak, Maddi. Biar aku saja.”
“Tapi ini tugas Maddi juga.”
“Tapi ini tanggung jawabku. Sudahlah, aku tidak apa apa.”
“Tetap saja aku tidak enak padamu…” kata Maddi sambil ingin meraih pulpen Grey. Grey menggenggam tangan Maddi lalu menatap matanya. “Sudah Maddi, pergilah. Aku tidak apa apa, percayalah. Bairkan aku bekerja. Soal soal ini membuatku gila.”
Maddi akhirnya menyerah. Ia lalu melepaskan tangannya dari pulpen Grey lalu terdiam. Ia berfikir apa yang harus ia lakukan. Ia akhirnya berdiri lalu memegang pundak Grey.
“Greyson selamat bekerja ya! Semangat!” seru Maddi sambil tertawa. Grey menoleh lalu tersenyum. Maddi berbalik lalu berjalan menuju Adam, Megan, Mackenzie dan Cameron yang sedang tertawa di depan kelas.
Grey mendesah. Ia bingung kenapa ia merasa seperti tertusuk. Ia merasa seperti sakit di tengah kebahagiaan yang ia rasakan. Ia lalu menatap gadis berambut cokelat yang berjalan ke arah Adam. Gadis yang selama ini ia perhatikan gerak geriknya. Gadis yang mencuri hatinya setelah ia putus dengan Tiffany. Gadis yang hari ini membuat semuanya menjadi berubah lebih menyenangkan.
Gadis yang tadi bernyanyi untuknya. Gadis yang beberapa detik yang lalu menyemangatinya. Gadis yang membuat Grey tidak dapat merasakan bumi mempunyai gravitasi lagi. Maddi Jane.
To be continued..
lanjutannya jangan lama-lama ya?
BalasHapussudah! :p
BalasHapus