If This Was a Movie chapter 9

9 pages for chapter 9. Sesuai dengan absen kamu waktu kelas 8. Uhuk.

***

Greyson memainkan piano putih yang berada di ruang makan Valencia dengan indahnya. Belum ada seorangpun murid Vanda Sinathrya yang masuk ke ruang makan. Mayoritas sedang berjalan jalan di mall yang berjarak 5 menit dari pintu gerbang depan Valencia.
Greyson memainkan lagu milik Adam Bryans sambil bernyanyi. Ia jadi teringat ketika dulu berduet bersama matan pacarnya, Tiffany Alvord untuk sebuah acara. Dentingan piano Greyson mengalun indah yang dapat membuat orang terlena bagaikan lagu pengantar tidur. Suara lembut Greyson mampu mempesona siapapun yang mendengarnya.

Oh, once in your life you’ll find someone

Who will turn your world around

Bring you up when you're feelin' down

Yeah, nothin' could change what you mean to me

Oh, there's lots that I could say

But just hold me now

'Cause our love will light the way

Baby you're all that I want

When you're lyin' here in my arms

I'm findin' it hard to believe

We're in heaven

And love is all that I need

And I found it there in your heart

It isn't too hard to see

We're in heaven

                Tepuk tangan asing yang terdengar secara tiba tiba membuat Greyson secara refleks menghentikan permainannya. Ia menoleh ke belakang lalu menemukan seorang cowok dengan kemeja abu-abu berjalan ke arahnya. Adam Young.
                “Adam?” tanya Greyson heran.
                “Permainan yang bagus sekali. Kau semakin mahir saja, Grey.” puji Adam.
                “Terima kasih, Adam.”
                “Ah, semua gadis pasti terpikat olehmu ya, Grey.” kata Adam dengan nada sinis. Greyson terkekeh lalu menatap Adam yang kini sedang berdiri tepat di balkon ruang makan asrama Valencia.
                “Sepertinya aku tahu kemana arah pembicaraan ini..”
                “Kau tahu? Baguslah. Itu berarti aku tak usah susah payah berbasa basi.”
                “Aku mengenalmu, Dam. Aku bisa mengetahui betapa berartinya seseorang  bagimu hanya lewat tatapanmu. Aku tahu jelas. Tapi aku tak akan melepaskan Maddi Jane, bahkan ketika aku tahu di dalam hatinya tempat untukmu lebih besar daripada untukku.”
                “Kau egois, Grey!” seru Adam.
                “Siapa yang egois? Lelaki yang mencintai sahabatnya, tetapi menyukai gadis lain dan sudah sangat dekat tinggal menunggu tanggal jadian? Lelaki yang mencintai dua orang gadis sekaligus dan tak mau kehilangan dua duanya? Lelaki yang mencintai sahabatnya, walaupun ia sudah bersama yang lain tetap saja ia tak mau menyerahkan sahabatnya pada orang lain?”
                “Diam! Kau tak tahu apa apa! Aku dan Maddi sudah sangat dekat… Kami menyimpan perasaan satu sama lain, walaupun tak pernah ada kata terucap langsung dari mulut Maddi, tapi aku tahu, dilubuk hatinya hanya ada aku. Sementara kamu hanya pelariannya karena aku kini dekat dengan Mackenzie!”
                “Aku tak keberatan menjadi pelarian orang yang aku cintai. Setidaknya kini dalam hatinya ada namaku walaupun hanya sedikit. Setidaknya aku tidak seegois kamu yang ingin bersama Mackenzie tapi tak mau melupakan Maddi.”
                “Ah! Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tahu keadaan kini akan memburuk jika aku menahan Maddi, jika aku tak kunjung bersama Mackenzie. Ya, kau benar. Aku ingin menjalani hariku yang  baru dengan Mackenzie. Tapi… Aku ingin keadaan seperti dulu, aku ingin aku lebih berani, aku ingin bisa lebih jujur pada perasaanku sendiri. Aku ingin Maddi tahu. Tapi sekarang…”
                “Adam, kau harus belajar untuk mengakui bahwa tempatmu yang dulu sudah digantikan oleh aku. Kau kini hanya sebatas sahabat Maddi yang pernah ia sukai. Kau kini adalah calon pacar Mackenzie. Jika kau meninggalkan Mackenzie demi Maddi, belum tentu Maddi akan bersatu denganmu. Maddi pun mungkin akan sedih dan marah jika tahu kalau kamu meninggalkan Mackenzie demi dia. Itu sama saja kau menyakiti dua orang gadis yang kau sayangi.”
                “Ini semua terlalu rumit, Greyson. Kau tidak akan mengerti bagaimana perasaanku. Aku terjebak di dua hati yang benar benar membuatku menjadi gila.”
                Greyson tertawa kecil lalu menatap Adam yang sudah suntuk. “Bukankah kau sendiri yang bilang padaku bahwa perasaanmu pada Maddi sudah mulai terhapus ketika kau memerhatikan Mackenzie? Kenapa sekarang kau malah seperti ini?”
                “Jujur, saat aku menyukai Maddi, aku merasakan bahwa gadis itu juga menyukaiku, Grey. Tapi aku tak berani mendekat lebih jauh karena kami bersahabat. Aku takut akan merusak persahabatan kami. Setelah beberapa lama, aku mulai memerhatikan Mackenzie dan Maddi Jane menghilang dari benakku. Tapi ketika aku sadari perhatian Maddi beralih kepadamu, ingatan akan perasaanku pada Maddi kembali muncul dan membuatku berfikiran untuk menghalangi Maddi denganmu tetapi aku tetap bersama Mackenzie. Aku bodoh ya, Grey?” tanya Adam sambil terkekeh.
                “Hahahaha. Kau tahu, terkadang cinta juga bisa membuat seseorang berubah.”
                “Ya, tentu saja. Tapi aku mulai berfikir untuk melepaskan perasaanku pada Maddi…”
                Greyson tersentak lalu tersenyum kecil. “Jangan terlalu buru buru mengambil keputusan jika hatimu belum siap. Let it flow saja. Tapi kau harus menentukan sikapmu, Dam.”
                “Menentukan sikap? Maksudmu?” tanya Adam heran.
                “Ya, kau harus menentukan apakah kau akan memperjuangkan Maddi ataukah Mackenzie. Pikirkan dengan matang matang, lalu tentukan sikapmu. Sikapmu bisa membantumu melupakan salah satu diantara mereka. Walaupun sekarang Maddi dekat denganku dan mulai melupakanmu, jika sikapmu tetap seperti ini, seperti memberi harapan pada Maddi, ia akan sangat kecewa ketika kau bersama Mackenzie nanti. Kau mengerti maksudku kan?”
                “Ugh, iya… Apakah kau berfikir bahwa sikapku pada Maddi seperti memberikan harapan padanya, Grey?” tanya Adam hati hati. Greyson mengangguk yakin.
                “Ah.. Tapi Maddi selalu melihat ke arahmu sekarang.”
                “Siapa bilang? Maddi sering mencuri padang kepadamu. Aku sering melihatnya, Dam.”
                “Astaga, jadi kau mendukungku pada Maddi atau Mackenzie sih, Grey?!”
                “Siapa saja, sesuai pilihanmu, yang terbaik untukmu. Tapi jika kau memilih Maddi, aku tidak akan menyerahkannya begitu saja padamu. Aku akan memperjuangkannya!”
                “Memperjuangkan Maddi? Kau serius?”
                “Lho? Bukannya jika kamu mencintai seseorang kamu harus memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan?”
                “Errr.. Bukannya begitu, Grey. Tapi kau sudah pasti mendapatkan Maddi Jane. Dia menyukaimu.” kata Adam pelan. Greyson tersentak kaget, ia menghela nafasnya dalam dalam.
                “Ah, sok tahu. Itu cuman perkiraanmu.” katanya sambil memalingkan wajahnya.
                “Dia sendiri yang bilang padaku kalau dia mulai cemburu melihatmu dengan Vald!”
                “Tapi itu belum pasti, belum. Semuanya belum pasti.”
                “Apa lagi sih yang belum pasti? Apa lagi yang kau tunggu? Kau sudah mulai punya perasaan pada Maddi dan Maddi pun juga punya kan? Berbeda denganku, Grey. Jika aku memilih Maddi, aku belum tahu pasti apakah Maddi masih punya perasaan padaku atau tidak. Tapi jika bersama Mackenzie, semuanya sudah pasti. Aku dan dia tinggal menunggu waktu jadian.”
                “Nah, itu dia. Kau tahu kan mana yang sebenarnya harus kau perjuangkan?”
                “Err… Greyson….”
                “Jadi… Untuk apa kau memperjuangkan sesuatu yang sia sia? Sesuatu yang kau sendiri tak tahu kepastiannya?” tanya Greyson pelan. Adam berfikir lagi, iya. Semua yang Greyson katakan benar. Dia harus memilih antara dua gadis itu yang benar benar akan dia perjuangkan. Perjuangan yang berakhir bahagia bukan sekedar perjuangan sia sia.
                “Kurasa aku akan memilih Mackenzie.” kata Adam mantap.
                “Aku tidak akan bilang benar atau salah, itu semua tergantung padamu, Dam. Kau sudah SMA sekarang, kau bisa menentukan apa yang terbaik untukmu.”
                “Ah.. Greyson! Kenapa aku tidak pernah bercerita padamu ya?! Terima kasih banyak!” seru Adam sambil meninju bahu Greyson dengan senyum sumeringah. Greyson membalasnya lalu tertawa lebar, matanya berkilauan dan terlihat mimik wajah lega seperti telah menyelamatkan satu keluarga dari bencana Tsunami. “Feels so amazing to help each other!” seru Greyson.
                “Ya.. Aku akan menentukan sikapku pada Maddi. Aku akan menegaskan padanya kalau aku akan bersama Mackenzie. Haaaaaaaa, entah kenapa aku tidak menemukan titik temu seperti ini saat berbicara dengan Megan. Padahal dia kan perempuan..”
                “Ugh, Dam. Megan memang perempuan, tapi dia juga pasti bingung. Setiap perempuan punya harapan untuk mendapatkan orang yang dia sukai, walau sudah lama ia mulai melupakannya. Perempuan itu memang makhluk yang rapuh. Mereka terlalu perasa dan sebagian sangat cepat jatuh cinta. Mereka akan tetap menunggu orang yang mereka cintai sampai mereka mengetahui apakah selama mereka menunggu semua itu hanyalah penasaran atau benar benar karena perasaan mereka. Mereka terlalu cepat jatuh. Mereka hanya butuh kepastian.” cecar Greyson. Adam menatap Greyson tidak percaya lalu bertepuk tangan dengan semangat.
                “Oh God, Greyson Chance sudah berubah! Darimana kau mempelajari semua ini?”
                “Dari cerita cerita Maddi…. Konyol ya? Hahaha.”
                “Tidak konyol sama sekali. Justru aku senang akhirnya aku tau lebih banyak. Jadi aku bisa lebih berhati hati dan tidak mudah menyakiti orang orang disekitarku..”
                “Hahahaha. Kuharap kau benar benar pada Mackenzie lalu menegaskan sikapmu dan melupakan perasaanmu pada Maddi, Dam. Perempuan itu butuh kepastian, remember?”
                “Hahaha siap! By the way.. Bagaimana denganmu?”
                “Aku?”
                “Iya, kamu. Apalagi yang kau tunggu? Maddi juga menyukaimu, percayalah!”
                “Ah, sudah banyak yang bilang itu. Tapi aku masih belum yakin. Akupun butuh kepastian.”
                “Jadi kamu sama seperti perempuan perempuan itu? Menunggu kepastian? Hahahaha.”
                “Astaga, aku tidak mau salah, Adam.. Aku tidak ingin jika hubungan berakhir, salah satunya malah terluka. Aku mau semuanya mulus, tidak ada kesalahan. Aku hanya butuh kepastian.”
                “Kepastian apa sih? Ah, kau ini. Tidak peka!”
                “Entah aku tidak peka atau apa, tapi yang jelas aku masih bimbang dengan perasaan Maddi. Terkadang dia masih melihatmu dan membicarakan Seth seolah olah dia masih menyukai kalian. Tapi dia berlaku sangat baik padaku, kelewat baik malahan. Aku kan jadi bingung…”
                “Jadi kau takut kau di jadikan pelarian dari perasaan Maddi yang kalut, begitu?”
                “Ya.. Semacam itulah.”
                “Tapikan sudah terlihat dari awal, Maddi benar benar menyukaimu, Grey…”
                “Tapi aku belum yakin. Belum ada kepastian yang jelas.”
                “Kalau kau mau kepastian, kenapa kau tidak menyanyakannya saja?”
                “Gila! Apa alasanku untuk menyanyakan padanya?”
                “Ya ampun, Greyson… Sudahlah, jangan membuat sesuatu yang mudah jadi rumit seperti ini.”
                “Ah, kau  tidak mengerti. Aku tidak mau membuat kesalahan yang sama seperti dulu.”
                “Kesalahan itu wajar…”
                “Wajar untuk satu dua kali. Bukan untuk ketiga kalinya. Aku tidak mau menyakiti Maddi, Maddi harus tau dulu sifatku sebenarnya. Aku sangat cuek, kau tahu itu. Aku tidak mau dia menyesal.”
                “Kurasa dia menyukaimu apa adanya, Grey..” kata Adam. Greyson tertegun lalu tersenyum.
                “Aku hanya ingin menjalani sesuatu dengan serius dan tidak setengah setengah. Karena menjalani hubungan itu butuh waktu. Hidup itu bagaikan waktu. Hidup itu berharga, hanya sedikit waktu yang ada dan aku tidak mau membuangnya dengan percuma. Karena hidup kita ini sama sekali bukan film yang bisa diputar ulang, Dam..” kata Greyson sambil menerawang jauh.

***

                Adam, Megan dan Cameron memutar kedua bola mata mereka menatap mouse biru yang ada di depan mereka. Maddi dengan sumeringah mengangguk angguk sambil memainkan kaca mata hitamnya. Di meja itu ada juga bungkus kado berwarna biru tua, gunting dan lem.
                “Gimana? Bagus kan?” tanya Maddi dengan wajah penuh harap. Maddi memang mulai terbuka dengan Adam, Megan dan Cameron tentang perasaannya pada Greyson. Walaupun awalnya mereka mengejek Maddi habis habisan, tapi lama kelamaan mereka mulai menghargai perasaan Maddi.
                “Ugh Maddi… Are you kidding me?” tanya Cameron sambil menahan tawa. Maddi meraih mouse itu lalu memutar mutarnya. “What’s wrong? It’s just a mouse. Normal right?” tanya Maddi heran.
                “Iya, itu mouse Maddi. Tapi gak normal, eum bukannya gak normal gitu. But sounds so weird aja, lucu gitu..” kata Adam mencoba menjelaskan dengan kata kata yang tepat.
                “Apanya yang lucu sih, Dam?” tanya Maddi mulai kesal.
                “Ya… Greyson itu kelas 2 SMA. He is 17 years old now dan kamu cuman ngasih mouse? Gak cuman sih tapi.. Biasanya untuk remaja seumur kita paling dikasih baju, kaos atau dompet.. Lagian harganya sama sama aja tuh sama mouse ini.” jelas Megan perlahan lahan. Maddi tertunduk sedih.
                “Oke, jadi ini gak layak buat Greyson? I’ll change to another thing deh.”
                “Ish, kau ini ya kebiasaan sekali gampang sekali down!”
                “She’s moody girl, remember?” tanya Cameron sambil tersenyum jahil.
                “Hahahaha.. I’m sorry. But it’s not funny at all. Ulang tahunnya nanti malam. Getting crazy.”
                “Ya habis bukannya konsultasi dengan kami dulu, Madd..” kata Adam.
                “I’m so sorry, tapi aku berfikir kalo Grey suka komputer. Jadi aku belikan dia mouse ini…”
                “Tapi… Kalau itu alasannya sih masuk akal juga. Jadikan bermanfaat untuk Grey.” kata Megan.
                “Nah, Megan juga setuju kan denganku?” tanya Maddi penuh harap. Megan mengangguk yakin.
                “Yeay! Kalian berdua aja nih yang tidak pernah merasa senang atas kebahagiaanku!”
                “Ah! Kebahagiaanmu itu sebagian penderitaan dariku, Madd! Hahaha!” seru Adam.
                “So sad to have a random friends like you, Dam.”
                “Hahahaha syukuri saja, Maddi!” seru Cameron girang.
                “Ish. Go to hell first!”
                “Anyway, siapa nih yang mau ngebungkusin? You know, aku tidak pernah bisa berhubungan dengan keterampilan tangan seperti ini….”
                “Gimana kalau kita andalkan saja teman kita yang manis satu ini?” tanya Cameron sambil merangkul Megan. Megan langsung meninju tangan Cameron dan menggeleng cepat. “No! Do it your self, Madd!” seru Megan tegas.
                “Ah, Megan….”
                “Princessa Megan, kau  harus membantu satu sama lain. Kamu akan menjadi ratu, remember? Megan Quinka! Oh my god. Bungkusan kadomu sangat bagus Megan….” kata Cameron dengan nada menggoda. Megan menginjak kaki Cameron lalu menggerutu. “No!” seru Megan.
                Megan dan Cameron melanjutkan pertengkaran mereka tanpa memperdulikan Maddi dan Adam. Berkali kali Cameron memanggil Megan dengan panggilan “Princessa” yang berarti Puteri. Maddi dan Adam saling berpandangan lalu tertawa terbahak bahak. Megan dan Cameron yang sedang bertengkar langsung terdiam dan menatap kedua sahabat mereka dengan pandangan aneh.
                “What?” tanya Megan dan Cameron bersamaan.
                “Jadi.. Sejak kapan Cameron memanggilmu Princessa, Gan? Hahahaha.” tanya Maddi.
                “Jadi.. Sejak kapan persahabatan ini menjadi lebih, Cam? Hahahaha.” tawa Adam pecah. Wajah Megan dan Cameron langsung berubah. Megan beranjak dari kursinya lalu meraih dompetnya yang ada di meja. “Ah, lelucon macam apa ini! Aku mau beli Ice Milo dulu sebelum membungkuskan untukmu, Madd!” seru Megan sambil berjalan pergi.
                Maddi dan Adam menatap menyelidik ke arah Cameron. Mereka memang sudah bisa merasakan ada yang lain dari panggilan Princessa tersebut. Walaupun sesuatu yang lain itu baru dari pihak si cowok, tapi mungkin saja bisa berkembang dan merambah ke si cewek?
                “Ah, Maddi kita bodoh sekali baru sadar…” kata Adam membuka pembicaraan.
                “Iya, Dam. Padahal aku sudah merasakannya sejak lama. Tapi rasanya aku kurang yakin…”
                “Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Cameron dengan wajah heran.
                “Dia pura pura tidak tahu, Madd.”
                “Hahaha iya, Dam. Basi sekali.”
                “Apa sih Maddi, Adam? Aku tidak ada apa apa dengan Megan. Kami hanya…” Cameron terdiam lalu menunduk. Maddi yakin sekali, ia bisa melihat wajah Cameron yang memerah.
                “Ya. Jadi sejak kapan?” tanya Adam sambil tersenyum menggoda.
                “Uh.. Haruskah aku menjawabnya, Dam?”
                “Bukankah pertanyaan dibuat untuk dijawab ya, Cam? “ tanya Maddi sambil cekikikan.
                “Ya… A while.”
                “YA! Semenjak kelas 2 bukan?” tanya Maddi dengan sumeringah.
                “Ah, kau telat Madd. Aku sudah merasakannya lama…”
                “Ish, sudahlah. Yang penting aku peka! Hahaha.”
                “Ah… Iya.” jawab Cameron dengan tidak yakin.
                “Bagus! Kalau begitu kau harus mengatakannya! A.S.A.P!” seru Maddi.
                “TIDAK! Jangan jangan!” seru Cameron takut.
                “Kalau tidak, biar kami saja yang mengatakannya. Bagaimana?” tanya Adam.
                “Jangan! Don’t tell anyone. I’ll tell her when I’m ready.”
                “Dan ya… Kau tidak akan siap juga.” kata Maddi dengan nada bosan.
                “Ugh, Maddi jangan membuatnya patah semangat…”
                “I’m sorry. Jadi, kau akan menunggu?”
                “Ah, tidak begitu juga, Madd. Aku menyukai Megan. Aku ingin mendapatkannya, tapi kami bersahabat dan akupun tidak pernah tahu hatinya tersimpan untuk siapa.”
                “Iya juga sih, akupun tak tahu…”
                “Mungkin Megan tidak pernah menyukai siapapun. Hahahaha.” tawa Adam pecah tepat ketika Megan kembali dengan Ice Milo-nya. “ASTAGA! Pembicaraan macam apa ini?!” tanya Megan kesal. Adam dan Maddi tertawa terbahak bahak sedangkan Cameron berubah menjadi canggung dan meraih Ice Milo milik Megan dan langsung meminumnya.
                “Astaga, Cam! Kenapa sih senang merampok minumanku…”
                “Hehehe, maaf Gan!” kata Cameron dengan wajah canggung.
                “Hahahaha change to another topic deh. Daripada makin gak bener gini.” kata Adam sambil menahan tawa. Maddi mengangguk sambil tersenyum.
                “Okey, jadi… Tenang saja Madd, aku akan membungkuskannya!”
                “Thank you Megan! Hahahaha. Anyway, aku mau bertanya padamu, Dam…”
                “Apa, Maddi?”
                “Bagaimana hubunganmu dengan Mackenzie? Kapan kalian jadian?” tanya Maddi dengan wajah sumeringah. Adam tersentak, keputusannya kemarin malam sudah benar. Maddi bertanya seperti ini dengan wajah sumeringah, ceria. Biasanya jika hatinya sakit sedikit saja, Adam bisa melihatnya. Maddi benar benar melupakannya.
                Adam memang harus menentukan sikap. Ia tidak boleh terlalu mencemaskan Maddi lagi. Ia harus menganggap Maddi seperti teman biasa dan tidak terlalu memprioritaskannya lagi. Itu semua akan membantunya melupakan Maddi. Ia tidak boleh berfikir bahwa Maddi tidak akan memikirkannya sebagai seseorang yang lebih dari sahabat lagi. Ia harus benar benar memfokuskan diri pada Mackenzie.
                Ia harus memilih dan ia sudah memilih. Ia memilih Mackenzie dan harus melupakan Maddi. Ia harus tegas. Ia tidak boleh seperti ini terus. Karena bukan hanya perempuan yang butuh kepastian, tapi cinta juga butuh kepastian. Ia harus memperjuangkan Mackenzie!
                Megan, Cameron dan Maddi menatap Adam penasaran. “Jadi gimana nih, Dam?” tanya Cameron. Adam tersadar dari lamunannya lalu tersenyum kecil. “Sebentar lagi, tinggal tunggu waktu.” kata Adam dengan gaya sok kerennya. Megan dan Cameron langsung berteriak histeris. Sementara Maddi hanya tertawa lalu bertepuk tangan.
                Ketika Adam sudah yakin untuk meninggalkan bayangannya dengan Maddi, Maddi malah mulai terbayang lagi oleh Adam bahkan ketika Greyson sudah mulai menghapus bayangan Adam. Maddi sadar, ia benar benar tidak ada harapan pada Adam. Mereka hanya bersahabat, tidak akan pernah lebih. Sementara pada Greyson, dia masih ada kesempatan. Ia yakin antara dia dan Greyson tidak akan berhenti di persahabatan seperti ini saja.
                Disaat seperti ini, dia bingung haruskah dia sedih atau senang. Di satu sisi ia bahagia Adam sudah akan jadian dengan Mackenzie, tapi disisi lain dia juga masih bisa merasakan hatinya menjerit tidak rela. Karena apapun juga, Adam pernah mengisi hatinya. Dan tepukan tangan Maddi seolah olah memiliki irama yang sama dengan suara pintu ruangan Adam di hati Maddi yang mulai tertutup.

***

March 3rd 2012, 12 pm.
                Detakan jantung Maddi tidak bisa dia atur lagi. Ia menggenggam iPhone-nya sambil terus berjalan di pintu kaca menuju balkon ruang asramanya. Gedung asrama Maddi dengan asrama cowok yang akan Maddi telepon malam ini saling berdepanan. Jadi Maddi bisa bertemu dengan cowok itu hanya dengan menyuruhnya untuk keluar ke balkon asramanya.
                Semua teman teman Maddi yang tahu tentang ini mendukungnya untuk menelpon, tapi.. Maddi takut. Ia takut cowok itu malah jadi ilfeel dan menjauhinya. Tapi ia sudah bilang pada cowok itu kalau di hari jadinya nanti, dia akan menelpon untuk menyanyikan lagu.
                Maddi memegang tralis yang ada di balkon asramanya. Jantungnya berdegup kencang seperti mau pecah. Ia menekan option call.
                Tut… Tut… Tut….
                “Halo, Maddi?” sapa seorang cowok dengan suara yang cempreng yang mulai memberat tetapi lembut dari sebrang. Maddi meremas tralis balkon itu lalu menarik nafas dalam dalam.
                Aku harus bicara! seru Maddi dalam hati. Ia mengumpulkan segenap tenaganya lalu mulai membuka mulutnya. “Happy birthday Greyson.. Happy birthday Greyson… Happy birthday dearest Greyson.. Happy birthday Greyson! Wish you all the best! Aku kira kau sudah tidur hahaha.” kata Maddi dengan tawa yang canggung. Greyson dari sebrang sana tertawa lalu terdengar menarik nafas.
                “Haaaa terima kasih, Maddi. Hahaha tidaklah, kau bilang aku harus terjaga karena kau akan menelpon. Jadi aku menunggu.” kata Greyson sambil tertawa.
                Maddi terdiam lalu tertawa canggung lagi.
                Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak bisa bernafas.
                Ia yakin, ia benar benar jatuh cinta pada cowok bersuara khas ini…




To be continued...

4 komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.