The Reason is You chapter 12
Hai Reasonators. Jadi... Penjuru dan bisa main gitar juga makin kece. HA.
***
VICKY RIZKI NOOR'S POV
Satu hal yang aku tau, aku mulai lelah berteman dengan Megan.
Ya, aku tau dia sahabatku. Kami bersahabat sudah lama sekali, semenjak kami baru masuk sekolah ini. Aku, Megan, Livia dan Alvan tergabung menjadi satu, terikat dan tak terpisahkan. Tapi pada akhirnya, kami juga harus bersosialisasi dan mencari teman yang lain kan?
Dari dulu kami berempat memang selalu bersama sama kemana mana walaupun berbeda kelas. Lama kelamaan, bosan juga kan? Pasti, itu wajar. Sesayang apapun manusia pada sesuatu, pasti suatu saat akan terasa kejenuhannya. Betul?
Megan... Ia selalu menuntut kami berempat untuk selalu bersama tanpa memikirkan kami yang sudah mempunyai 'dunia' kami masing masing. Aku tau maksud Megan baik. Ia ingin persahabatan kami utuh tak tercerai berai. Hanya saja...
Aku butuh ruang untuk berteman dengan yang lain.
Bukan maksudku aku tidak senang berteman dengan Megan, tapi teman temanku banyak. Megan, Livia dan Alvan pun juga punya teman yang lain selain kami berempat. Aku tidak suka berteman selalu berkelompok seperti ini.
Aku lebih suka dulu, saat awal kami berempat. Kami memang 'berempat' namun bisa join ke semua orang. Itu yang membuat kami mempunyai teman yang lebih banyak lagi. Tapi lama kelamaan, Megan menuntut untuk selalu bersama terus.
Padahal Megan sendiri sibuk dengan dunianya. Asal kalian tahu saja, pada awal Megan masuk Marching Band, Megan juga sering menyepelekan waktu kami untuk kumpul berempat. Aku, Livia dan Alvan mencoba untuk menyatukan kami lagi, tapi Megan sibuk sendiri.
Logikanya gini deh, ngapain sih kita mempertahankan sesuatu yang jelas jelas gak bikin kita bahagia? Jadi jika Megan merasa kami berubah dan menjauh, mungkin itu karma. Karma itu ada dan sekarang saat Megan merasakannya.
***
ISAKA YOGA
SANTOSO’S POV
“Kamu
jadian sama Valda ya, Yog?” Tanya Rianthy, sahabatku semenjak kecil. Aku
menoleh dan tertawa. “Tidak, kita cuman temenan kok, Nthy.”
“Oh,
bagus deh.” Sahut Rianthy sambil kembali memainkan iPad-ku. Aku terdiam
menyadari ekspresi wajah Rianthy yang berubah ubah ketika beberapa kali
menemukan fotoku bersama Valda.
“Kamu
suka dia kan, Yog?” Tanya Rianthy lagi. Aku terdiam, aku bingung harus menjawab
apa. Secara tidak langsung, aku tahu bahwa Rianthy sudah lama menaruh perhatian
padaku. Aku gak tau sih ini cuman perasaanku saja atau memang hal yang
sebenarnya tapi…
Gadis
ini memang selalu memperhatikanku.
Rianthy
tidak cuek seperti Valda. Rianthy juga selalu mengingatkanku tentang shalat,
tugas dan lain lain. Rianthy selalu mengirimiku SMS. Rianthy selalu
menggangguku dan membuatku tertawa. Rianthy perhatian padaku, tidak seperti
Valda.
Jujur,
aku memang menyukai Valda. Valda cantik sekali, dia baik. Senyumnya manis
bagaikan peri. Tawanya lugu bagaikan suara malaikat. Tapi.. Dia cuek sekali.
Aku
dan Valda sudah lama dekat, lama sekali. Kami sering berbagi dan mengisi satu
sama lain. Terkadang, aku merasa seperti memiliki jarak yang benar benar jauh.
Valda bisa jadi Valda yang super cuek dan tidak bisa diajak bercanda. Tapi
beberapa saat kemudian, Valda bisa berubah menjadi Valda yang super manis dan
selalu membuatku tertawa.
Valda
terlalu labil. She’s too moody to me.
Gak kayak Rianthy.
Aku
sudah mencoba memberikan segala kode dan modus pada Valda. Mulai dari
mengiriminya BBM, mengerjakan tugas bersamanya, mencubit pipinya, mengusap
rambutnya sampai menyanyikan lagu untuknya.
Banyak
sekali. Banyak. Tapi tidak ada respon dari Valda.
Aku
menerka nerka, aku saja bisa merasakan ‘hal yang lebih’ dari Rianthy. Maksudku,
ya aku bisa merasakan bahwa Rianthy mencoba ‘lebih dekat’ denganku. Rianthy
melakukan apa yang aku lakukan pada Valda. Tapi apa Valda bisa merasakan apa
yang sudah sering aku lakukan untuknya adalah sebagai tanda bahwa aku
menyayanginya?
“YOGAAAAAAAA!
HELLO!” Seru Rianthy sambil mencubit pipiku. Lamunanku tentang Valda buyar
seketika dan aku langsung menemukan Rianthy sedang duduk sambil cemberut
dihadapanku.
“Yoga
kenapa sih suka sibuk sendiri? Bete deh.”
“Hehe..
Maafin Yoga, Nthy.”
“Ya..
Maksud Anthy.. Kita kan jarang bareng.” Kata Rianthy dengan pipinya yang
memerah. “Ugh, hehe… Iya sibuk banget ya sekarang.”
“Iya,
Yoga sibuk sama Valda. Anthy dilupain.”
Aku
tertawa canggung. “Hahaha.. Gaklah, Yoga gak mungkin lupain Ranthy.” Kataku
dengan menyebut nama panggilannya dariku. Senyum langsung mengembang dibibir
Rianthy.
“Anthy
seneng deh kamu masih inget panggilan ‘Ranthy’ Yog.”
“Aku
ingetlah, apa sih yang gak aku inget.”
“Banyak
hal yang gak kamu inget.”
“Contohnya?”
Rianthy
lalu meraih tasnya dan mengeluarkan dompet berwarna cokelat tua. “Mana ya…”
Gumam Rianthy sambil membuka buka dompetnya dan mengeluarkan kertas yang sudah
cokelat dengan tulisan tangan yang tidak asing bagiku. Aku mencoba mengingat
ingat siapa yang memiliki tulisan itu…
“Ini.
Kamu inget ini tulisan siapa?” Tanya Rianthy sambil menyodorkan kertas itu
padaku. Aku membacanya perlahan dan aku tersentak.
Rianthy
terkekeh. “Kenapa? Kok wajah kamu kaget.. Hehehe, Anthy masih simpen ini dong.
Udah lama banget ya, udah 8 tahun yang lalu. Tulisan siapa coba?”
“Tulisan
aku.” gumamku sambil menatap kertas itu tak percaya. Oh Tuhan jangan sampai
Rianthy masih termakan janji tolol ini…
Rianthy,
Yoga sayang sama kamu. Yoga maunya sama kamu selamanya. Yoga gak bakal
ninggalin kamu. Janji pelaut! Ayo, silang hati dulu!
***
MUHAMMAD RASYID
RIDHO’S POV
Tidak
terasa kami sudah masuk ke persiapan Camping Tahunan 2012. Aku dan anggota
Pramuka lain sudah mulai sibuk dengan segala macam persiapan. Seperti hari ini,
kami mulai publikasi ke kelas. Sebenarnya ini tugas dari Garuda-Gardenia 27,
tapi aku dan angkatan 26 lainnya ikut membantu sedikit sedikit.
Seperti
yang sudah aku rencanakan, hari ini aku akan publikasi ke kelas 9F dan menemui
dia, Delima Rochma Nursyahbani. Aku harus berkenalan dengan Bani hari ini!
“Dho,
udah beres semua formulir?” Tanya Bella sambil sibuk membereskan data absensi
kelas 7 dan 9. Aku mengangguk mengiyakan.
“Lo
kebagian kelas berapa, Dho?” Tanya Naufal sambil mengikat tali sepatunya.
“Gak
usah nanya deh, Fal. Keliatan banget pasti 9F.” Kata Gestu tiba tiba.
“Iya,
pasti ke Bani ya, Dho! Hahahaha.” Sambung Kibo-chan sambil tertawa puas.
“Ciyeee
Ridho maju terus gak dapet dapet!” Celetuk Esar sambil sibuk bermain dengan
laptopnya. Sontak aku mencabut modem Esar lalu kabur keluar.
“SIAAAAAAL!
RASYID!” Seru Esar. Aku tertawa terbahak sambil berjalan mencari Yola. Hari ini
ia yang akan menemaniku untuk publikasi.
“Yol,
jalan yuk!” Ajakku. Yola menoleh lalu membenarkan kaca matanya.
“Gak
nerima patner publikasi yang tujuannya buat modus.”
Aku
tertawa kecil lalu mengeluarkan TOP dari kantong celanaku dan menyodorkannya
pada Yola. “Kalo ada ini mau?” Tanyaku jahil. Yola menoleh lalu membuang muka
lagi.
“Gak
mau satu, aku gak murahan kayak Gestu.”
Dari
dalam sanggar Gestu keluar dengan tergesa gesa. “Astaga, gue gak murahan Yol.”
“Ih!
Gestu di kasih apa aja juga mau yang penting gratis!”
“Bukan
murahan berarti, gratisan.” Elak Gestu. Ia lalu memeletkan lidahnya dan berlari
ke dalam sanggar lagi. Absurd sekali sahabatku yang satu itu. Aku akhirnya
mengeluarkan satu TOP lagi dan menyodorkannya. Akhirnya Yola mengambil 2 TOP
itu dan masuk ke dalam sanggar sebentar.
“Gue
ke 9 E-F-G-H ya sama Ridho. Lo semua buruan ke kelas 7 sama 9 biar hari ini
selesai. Garuda-Gardenia siapin konsep aja, ntar Rajawali-Rafflesia dateng udah
jadi. Yuk!” Ajak Yola. Seluruh anggota Garuda-Gardenia & Rajawali-Rafflesia
pun akhirnya keluar sambil membawa kertas kertas formulir.
Esar
dan Kibo-chan mendapat kelas 7 A-B-C-D, Bella dan Naufal 7 E-F-G-H, Dini, Nadia
dan Ghorby sudah pergi terlebih dahulu. Mereka hanya ke kelas 7I karena mereka
harus menghadap Pembina Pramuka, Pak Dadang. Sementara Aca-Gestu ke kelas 9 A-B-C-D.
“Sukses
ya Dho modusnya hahaha.” Kata Gestu saat berjalan di sampingku. Aku mengangguk
lalu tertawa kecil. Aku, Gestu, Yola dan Aca memang berjalan bersamaan karena
satu tujuan. Aku berjalan berdampingan dengan Gestu sementara Aca dengan Yola.
Kulirik sekilas Aca sedang melancarkan aksinya pada Yola lagi seperti biasanya.
Yola
adalah mantan pacar Aca. Mereka sudah putus 2 tahun tapi Aca masih menyimpan
rasa pada Yola. Walaupun Yola sempat berpacaran dengan Esar, tetapi Aca masih
saja menunggu Yola. Yola sendiri terlihat tidak terlalu merespon Aca. Kurasa ia
masih menyimpan rasa pada Esar atau… Pada Gestu. Hahaha, itu sih hanya fikiran
konyolku.
Tiba
tiba aku teringat aku dan Dini yang mencurigai Gestu akan segera jadian. Aku
harus menanyakan padanya sekarang mumpung Yola sedang sibuk dengan Aca.
“Ges,
doain gue sama Bani!” Seruku basa basi. Mencoba membuka percakapan menuju
percintaan Gestu adalah hal yang susah untuk dilakukan. Aku harus curhat
colongan dulu sebelum membuka rahasia milik Gestu.
“Iyalah
pasti gue doain, semoga Bani juga suka sama elo ya, Dho.”
“Amin!
By the way.. Lo lagi deket sama siapa Ges?” Tanyaku to the point.
Gestu
terdiam, memutarkan bola matanya beberapa kali lalu menggeleng.
“Gak
ada? Lah kalo Silvy….”
Gestu
tersentak. “Ya enggaklah, temen doang kali Dho. Pacar Alvan dia!” seru Gestu.
Aku terdiam dan baru sadar, Silvy kan punya pacar kenapa aku berfikir Gestu
menyukainya…
“Ya
barangkali, lagian mereka juga lagi renggang kan.”
“Silvynya
sering cerita ke gue, cuman temen sharing doang.”
“Oh..
Jadi yang kata lo ke Dini kalo lo mau jadian itu sama siapa?” Tanyaku spontan.
Gestu terdiam lalu menatapku. Ups! Muhammad Rasyid Ridho memang tidak bisa
menjaga rahasia ternyata. Berbohong pun aku tak bisa, Gestu selalu bisa mengetahui
aku yang sedang mencoba berbohong. Memang pada dasarnya aku anak alim, susah
untuk berbohong.
“Hahaha…..
Bangke, susah banget sih gue ngeboong.” Kataku sambil menundukkan kepala. Gestu
tertawa puas.
“Hahaha
dasar alim lo.”
“Ya
Dini khawatir sama elo, Ges. Gak mau jauh sama elo lagi dia.”
Gestu
menatapku heran. “Kalo Dini suka sama gue, mending gak usah deh Dho bilangin.
Bhimonya udah sayang sama dia, bahaya kalo dia suka sama gue juga.”
Tawaku
meledak. “Hahahaha astaga, pede banget lo. Ya enggaklah, Dini sayang sama elo
tuh kayak elo adiknya sendiri.”
“Adik-kakakan
bisa lebih lho, lol.”
“Dasarnya
aja elo pengen fans banyak hahaha.”
“Ya
kali capek juga dikejer kejer fans hahaha.”
“Emang
lo lagi deket sama siapa?”
Gestu
terdiam lalu berdehem. “Eum, gue cuman cerita ke Yola sama elo.”
“Azzz,
sok rahasia gitu.”
“Lol,
dari dulu juga gue gini. Kece.”
“Ty,
gue emang kece, Ges.”
“Azzz,
oke jadi gue lagi deket sama… Ada cewek 9A. Temennya Yola-Dini dkk. Deket sih
iya udah lama, dia suka sama gue dan udah bilang suka juga sama gue.”
Aku
tersentak. Astaga Gestu diam diam menghanyutkan! “Terus?”
“Tapi..
Gue pada saat itu emang ngerasa cuman seneng sama dia sebatas temen. Udah, gue ngomong aja spontan. Dianya sakit hati
kali ya suka sama gue lama terus digituin, dia akhirnya ngejauhin gue dan gue
baru sadar kalo gue juga suka sama dia… Gak suka deng, sayang.” Jelas Gestu
lalu mengacak acak rambutnya sendiri. Tawaku meledak lagi.
“Dho!
Lagi pada belajar ah!” Seru Yola dari belakang. Aku menoleh lalu menahan tawaku
sampai wajahku terasa memerah. “Maaf, Yol. Gestu lucu banget. Sayang Gestu.”
“Anjir,
homo lo Dho serem ah.” Kata Gestu sambil menjaga jarak dariku.
“Hahaha
aduh ya habis…”
“Ya..
Ugh, dia bakal balik ke gue gak ya, Dho?”
“Ya
mana gue tau. Coba aja deketin lagi. Tapi yang jelas, itu karma Ges.”
“I know.” Sahut Gestu pelan. Aku berhenti
di depan kelas 9F lalu berbalik dan menatap Yola. “Yola.. 9F dulu yuk!” Ajakku
sambil tersenyum lebar. Yola melihat 2 TOP ditangannya lalu menarik nafas panjang.
“Arrrgh, ayolah!”
“Ges,
duluan ya!”
“Oh
iya, gue mau publikasi di kelas dia.”
“Wow, good luck.”
“You too.”
Aku
dan Yola masuk kelas 9F sambil menahan senyum di bibirku. Bani duduk tepat di
depanku. Yola memulai menjelaskan konsep persiapan sebelum CT dan aku
berkeliling membagikan formulir pendaftaran CT.
Mauren
sedang duduk bersebelahan dengan Albi ketika aku sampai di bangku mereka.
Mauren tertawa licik. “Kamu mau modus ya Ridho hayoooo!” seru Mauren. Ups, satu
kelas 9F langsung tertuju padaku dan Mauren. Aku tertawa kecil. “Nope, Yola
lanjut!”
Yola
melanjutkan penjelasannya dan aku terus berkeliling memberikan surat formulir
itu. Beberapa saat kemudian, aku sampai di meja Bani. Oke, semangat.
“Eum..
Ini formulirnya.” Kataku canggung. Bani menyibakkan rambutnya lalu menatapku
sambil tersenyum. “Makasih, terakhir dikumpulin kapan?”
“Ugh..
Sabtu minggu ini.”
“Sip.”
Jawab Bani singkat.
“Eh
ya.. Ka… Kamu Bani?” Tanyaku terbata bata. Bani mengangguk.
“Iya,
hehe. Kenapa ya?”
“Aku
Ridho. Boleh minta pin?” Tanyaku sambil mencoba tersenyum tapi terlihat cool.
Oke, tarik ulur, Dho!
“Buat
apa ya?” Tanya Bani. Duh, aku harus jawab apa?
“Eum..
Ya.. Mau ngobrol aja hehe.”
Bani
terdiam, tampaknya ia sedang berfikir. Untungnya kelas 9F sedang sibuk memperhatikan
penjelasan Yola. Aku menatap Bani lagi, “gak boleh ya, Ni?”
“Eum..
Bukan gitu sih.. Jangan disebar ya?” Tanya Bani canggung. Aku mengangguk
mengiyakan.
“Yap.
Jadi boleh?”
Bani
berfikir lagi lalu menyodorkan tangannya. “Blackberry-mu mana?”
Aku
tersenyum sumeringah. Oke, here we goes!
***
CLAUDIA ESTERLITA’S POV
Lega
memutarkan CD album baru Taylor Swift berjudul Red di CD Player-ku lalu meraih iPhone-nya dan tersenyum sendirian.
Aku bergidik ngeri. Lega adalah sepupuku. Di sekolah, aku memiliki 3 saudara,
Lega, Haekal dan Alda.
Rumah
kami berempat memang satu komplek dan bertetangga dekat, tetapi aku lebih dekat
dengan Lega daripada Haekal dan Alda. Hari ini seperti biasanya sepulang
sekolah aku dan Lega les privat Fisika dengan Pak Siswanto jadi Lega ada di
rumahku.
“Lega,
lo kenapa sih?” Tanyaku heran. Lega tertawa.
“Lagi
chat sama Silvy, lucu deh.”
“Idih,
lo.. Silvy punya pacar kali, Leg.”
“Iye,
tau kok. Alvan kan?”
“Lah
terus kenapa masih aja tuh nekat maju?” Tanyaku heran. Lega menundukkan
kepalanya. “Kalo gue kenal sama dia dari dulu, udah gue deketin deh Lit.”
“Ya..
Elo gak nunggu sampe mereka putus gitu baru ngdeketin?”
“Justru
karena udah keliatan hawa hawa mau putus gue deketin Lit.”
“Astaga,
Lega.. Cewek masih banyak kali, kenapa harus sama yang udah punya sih?”
“Masalahnya
perasaan, Lit. Perasaan tuh gak bisa dipaksain. Perasaan tuh gak bisa bohong.
Kalo gue gak tau norma dan etika, udah gue tembak tuh Silvy dari lama.”
“Sesayang
itukah elo sama Silvy, Leg? Kalo sampe dia gak putus putus sama Alvan?”
“Gue
tetep nungguin.”
Aku
tertawa kecil. “Hah, Lega Lega.. Nunggu? Lo kira nunggu enak?”
“Nunggu
emang gak enak, Lit. Gak pernah enak. Tapi demi orang yang kita sayang, kenapa
kita gak mau berkorban untuk nunggu
mereka?” Tanya Lega sambil menatapku dalam dalam. Aku terdiam lalu mengangguk
mengiyakan.
“Emang
ada jaminan kalo dia putus dia bakal sama elo, Leg?”
“Gak
ada sih, cuman kode sama.. Kegeeran gue aja. Tapi gue percaya kok, walaupun sakit
dan menghabiskan waktu yang banyak, penungguan kita untuk seseorang yang kita
sayang gak bakal sia sia.”
Lega
benar. Sepahit apapun menunggu, kita pasti tetap menunggu orang yang kita
sayangi. Walaupun kita tau pada akhirnya mungkin dia tidak akan bersama kita.
Tapi kita tetap menunggu, menunggu dan menunggu.
Tapi
apa Lega tidak lelah menunggu untuk sesuatu yang tidak pasti seperti Silvy?
To be continued...
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}