[SHORT STORY] Treacherous

When he trust me, I don't care.
When I trust him, he's already gone.
I love him when I left him.
Too careless. Too stupid.
Then I realize that...

This love is treacherous.

***

"Cle, mau pulang gak?" Tanya Mas Abi dari kejauhan. Aku yang sedari tadi duduk di deretan paling depan pun menoleh. Natal tahun ini terasa berbeda sekali karena Mas Abi sudah pulang dari London setelah 3 kali melewati Natal sendiri disana.

Mas Abi berjalan mendekatiku. Nama lengkapnya Abizar Bagas Patriatama, usianya terpaut 5 tahun dari usiaku. Aku dan Mas Abi sangat dekat bagaikan anak kembar. Layaknya anak kembar, aku dan Mas Abi selalu mempunyai barang barang yang sama. Aku sayang padanya. Sangat sayang, terlalu sayang. Sulit diungkapkan dengan kata kata.

"Kamu masih mau disini, Cle? Gak mau pulang?" Tanyanya sambil berdiri di sampingku.
"Udah lama gak ke Gereja bareng Mas Abi, duduk disini dong." Kataku sambil bergeser. Mas Abi menaikkan alis matanya dan menatapku heran. Ia lalu tertawa.
"Mas Abi tahu gak 3 tahun belakangan ini banyak hal yang berubah tanpa Mas Abi?"

Mas Abi tertawa sambil menatapku jahil. "Everything has changed after I left this city, Cle. You, our family, our friends, us. Setiap detik yang kita lalui akan berubah sejalan dengan waktu yang berjalan."

Aku menatapnya dengan bersemangat. "Perasaan juga, Mas?"
"Of course, we'll find another one in our journey, Cle."
"Tapi perasaanku tidak, Mas."

Hening. Mas Abi menatapku tak percaya.

"I've told you, Clevira Bianca Patriatama. He's not good guy, for you." Katanya dengan mata menyala nyala. I know he'll said like that.
"But I'm not seventeen anymore, Mas. I'm twenty."
"He's too treacherous, honey."
"Dalam arti apa? Tidak setia? Berbahaya? Tidak dapat dipercaya?"
"Everything, Cle."
"Tapi aku tak pernah bisa melupakannya. Ada sesuatu hal yang terus menahanku bahkan ketika aku tahu dia berbahaya untuk hatiku."
"Kamu berbeda dengan dia, Cle."
"Apa yang beda? Bukankah kami sama sama memiliki perasaan yang sama?" 

Mas Abi menghela nafas. "Bukannya dia sudah tidak mencintaimu ketika kamu sadar kamu juga mencintainya, Sayang?"

Aku terdiam. Mas Abi meraihku dan memelukku. Aku menangis tersedu sedu dalam Malam Natal sambil merindukan kamu, Rasyid.


***

"Aku sayang kamu, Vir." Kata Rasyid sambil menatapku dalam dalam. Aku terhenyak, kaget bukan main. Muhammad Rasyid Ridho? Dia? Manusia ini?
"Tapi kenapa aku, Ras?" Tanyaku heran, mencoba menutupi pipi merahku tapi sialnya tidak bisa. Dia membuat senyumku mengembang.
"Sudah sekian lama. Aku tidak mau kamu terus menunggu Isaka." Jawabnya.

Ugh, Isaka. Orang yang selama ini aku cintai namun tidak pernah melihatku juga.

"Kenapa aku?"
"Aku juga tanya sama kamu, kenapa Isaka?"

Hening.

"Loving you need no reason, Vir."
"But I need to know your reason."
"Ah, kamu selalu keras kepala."
"You know me so well.."
"Aku suka kamu, senyum kamu, tulisan kamu, suaramu, tawamu. Semuanya. Kamu begitu menyenangkan seperti duduk di pinggir pantai dengan ribuan pasir dan sunset."
"Itu manis sekali, aku juga suka pantai dan sunset."
"Kalau begitu kita punya selera yang sama, kan?"

Rasyid tertawa, so do I. Dia romantis, aku suka.

"Aku juga pernah suka sama kamu." Kataku lirih. Kulirik Rasyid dengan ujung mata kananku, senyum mengembang.
"Kalau begitu, jadi pacarku." Pintanya dengan percaya diri.

Aku menimang nimang. Haruskah aku menerima dia? Mungkin Mas Abi benar, akan ada orang lain yang datang padaku menggatikan tempatku untuk Isaka yang tidak pernah ia tempati. Mungkin aku bisa mencoba menerima Rasyid, toh aku pernah suka padanya kan?

Rasyid itu tipeku. Dia menyukai banyak hal yang sama denganku.

Dia suka novel, dia suka musik, dia suka menulis, dia suka hal hal konyol, dia pendengar yang baik, dia manis, dia selalu ada saat aku membutuhkannya, dia selalu membantuku bangun ketika Isaka menjatuhkanku. 

Rasyid tahu betul coklat kesukaanku. Rasyid juga tahu aku suka hujan. Rasyid juga bisa menerima kekonyolanku. Rasyid sering mengingatkanku pergi ke Gereja.....

Oh tidak, aku baru ingat. 

Rasyid memutar bola matanya lalu meraih tanganku. Suasana pinggir sungai pada sore hari dengan secangkir coklat panas ini membuat aku benar benar melayang. Semua ini begitu romantis. Rasyid tahu cara memperlakukan wanita dengan baik.

"Jadi kamu mau nerima aku gak, Vir?"

Aku mengigit bibir bawahku ketika tersadar perbedaan yang ada diantara kami berdua. Mas Abi tidak bisa mentolelir semua ini.

"Aku rasa kamu bisa membuatku melupakan Isaka, Ras."

Wajah Rasyid berseri seri. Ya Tuhan.... Apa yang harus aku lakukan ketika ada seseorang yang begitu baik, dia mencintaiku, tapi aku tidak bisa bersamanya karena perbedaan kami yang begitu mencolok?

"Tapi maaf, aku lebih suka temenan sama kamu."

Raut wajah Rasyid berubah kecewa. Seketika itu juga aku merasa aku telah membuang kesempatan berharga untuk mendapatkan cowok sebaik Rasyid dan melupakan Isaka. 

"Oh, oke. Good luck ya sama Isakanya!"

Aku telah menyakitinya. Bodoh. You're so treacherous, Clevi.

***

Aku masih menangis dipelukan Mas Abi. Ia terus mengusap usap punggungku. Dia adalah alasan mengapa aku melepaskan Rasyid. Mas Abi selalu menekankan padaku supaya kita tidak mempunyai 'hubungan perasaan' dengan seseorang yang berbeda agama karena pada akhirnya kami tidak akan bisa bersatu.

Abizar Bagas Patriatama dan Clevira Bianca Patriatama adalah dua anak broken home karena perbedaan keyakinan dan semua orang sudah tahu itu. Ayahku, Indra Pratiatama dan Ibuku, Clarissa Pane saling jatuh cinta ketika usia mereka 17 tahun. Ayah beragama Islam sementara Ibu beragama Kristen.

Di masa pacaran, semuanya masih baik baik saja karena kakek dan nenek dari kedua belah pihak menganggap cinta mereka hanyalah cinta monyet. Cinta masa SMA. Namun ketika mereka akan menikah, kakek dari Ayah marah besar begitu juga kakek dari pihak Ibu.

Mereka tetap menikah sampai akhirnya Ibu melahirkan Mas Abi dan aku. Entah bagaimana ceritanya, kami berdua tidak ikut agama Ayah. Jadi setiap tahunnya sampai 5 tahun yang lalu di rumah kami selalu mengadakan Idul Fitri juga Hari Natal. 

Awalnya mengasyikan, namun ketika Ayah dan ibu berpisah...

Semuanya berubah.

Mereka berpisah 5 tahun lalu dan itu membuat aku dan Mas Abi harus berpindah pindah setiap bulannya dari rumah Ayah ke rumah Ibu. Selalu begitu. Saat itu aku bercerita pada Mas Abi tentang Rasyid dan saat ia tahu kami berbeda agama, Mas Abi langsung menentangku untuk kembali pada Rasyid.

Padahal jika setelah aku menolak Rasyid dan berjuang demi dia, aku yakin ceritanya akan berbeda sekarang. Aku yakin Rasyid juga masih menyimpan sedikit perasaannya untukku. Aku yakin. Tapi keyakianku tidak bisa dibuktikan karena perbedaan itu.

Bahkan sampai detik ini, entah mengapa, semenjak hari itu dan entah sampai kapan, hatiku masih pada Rasyid.

***

"Rasyid jadian lho, Cle!" Seru Salma saat kembali. Sedikit sesak, hatiku kenapa?
"Wah, Rasyid jadian sama siapa?" Tanyaku mencoba ceria, padahal suaraku tercekit. Rasyid jadian... Saat aku mulai menyayanginya?
"Heeuh, sama anak kelas sebelah. Aku lupa siapa namanya."

Rasyid berjalan ke arahku, ia tertawa. "I'm taken! Kamu kapan, Vir?" Tanya Rasyid. Aku menatapnya sinis. "Kalo kamu kesini cuman kode buat aku selametin, mending gak usah deh. It's not work."

"Jomblo jangan sinis, nanti gak laku laku huuu."
"Ah, shut up!"
Salma tertawa. "Habis Cle nungguin Isaka mulu sih, yang dateng ditolakin semua!"

Kedua mataku berputar dan menatap ekspresi wajah Rasyid yang berubah. Sial.

"Eh bentar lagi Natal lho! Kamu mau kado apa, Vir?" Tanya Rasyid. Astaga.. Dia masih sama, dia tidak pernah berubah. Tahun lalu Rasyid tanpa aku minta mengirimi buket mawar merah besar saat hari Natal. Karena itu pada hari Lebaran, aku mengirimkan kue kering yang aku masak sendiri. 

Dulu aku kira aku dan Rasyid hanya sebatas sahabat. Tapi ternyata perhatian Rasyid kepadaku lebih dari sahabat. Dan ketika aku merasakan lebih dari sahabat, dia malah sudah melupakanku.

Aku bodoh. Kenapa kita berbeda sih, Ras?

"Aku mau buket mawar besar kayak tahun lalu!" Seruku ringan.
"Oke, rumah kamu masih di Tebet kan?"

Hening. Rasyid menganggap semuanya serius?

"Masihlah... Aku maunya tiap tahun kamu kirimin buket mawar ya."
"Eits, gak gratis. Aku mau kue putri salju lagi Lebaran tahun depan."
"Ya sudah, tiap tahun terus kirim kiriman ya!"

Apa tahun depan, tahun depan, depan, dan terus ke depannya, hatiku masih terpaut padamu yang sudah berpindah dariku karena kebodohanku sendiri?

Padahal, perbedaan yang menyatukan bukan? Tapi kenapa perbedaan kali ini membuat semuanya terpisahkan?

Rasyid... Rasyid...

Rasyid, maafkan aku.

Rasyid, aku mencintai kamu tepat di detik aku meninggalkanmu.

Apa itu terlalu bodoh? Sepertinya aku tak perlu bertanya lagi.

Treacherous!

***

"Gak perlu nangis lagi. Tahun kemarin kamu dikirimin buket gak?" Tanya Mas Abi.
"Setiap tahun, Mas. Tapi kami tidak pernah bicara ataupun bertemu. Hanya saling mengirimi kue dan buket mawar setiap Lebaran dan Natal."
"Kamu bukannya belum bisa ngelupain dia, kamu masih gak rela aja."
"Mas yakin? Tapi menurutku...."
"Kamu pasti bisa melupakan dia kok, Cle..."
"Tapi aku sayang dia, Mas."
"Kamu mungkin hanya penasaran karena dia belum tahu perasaanmu, Cle..."

Aku terdiam. "Apa menurut Mas Abi begitu?"

"Dia berjanji kan akan kembali? Mungkin setelah itu kamu bisa move on. Berdoa saja pada Tuhan supaya dia cepat kembali. Supaya hatimu cepat tenang."
"Tapi aku menyayanginya, Mas Abi....."

Mas Abi mendengus kesal. "Maafkan aku. Aku bukan Mas yang baik untukmu ya, Cle. Aku membuat hatimu hancur padahal kamu sudah menemukan orang lain yang lebih baik daripada Isaka..."
"Mas Abi kenapa ya tiap kali Cle suka sama orang pasti gak setuju hahahaha."
"Kalo Isaka udah pasti nyakitin kamu, kalo Rasyid...."

"Mas, bukannya perbedaan itu menyatukan ya?"

Mas Abi terdiam.

"Mas, seandainya aku bersama Rasyid. Apa yang akan terjadi?"

Mas Abi masih diam. Ia melepas pelukannya.

"Mas, aku tidak mengerti kenapa Tuhan menumbuhkan perasaan ini jika kami tidak bisa bersama."

Mas Abi menoleh.

"Cle, Tuhan tuh punya rencana yang menakjubkan untuk kamu disetiap harinya. Baik dalam kebahagiaan, maupun dalam kesedian. Tuhan sayang sama kamu. Tuhan mempertemukan kamu dengan Rasyid untuk bertemu dengan yang lain. Kamu harus percaya, jika Rasyid adalah jodohmu, dia akan kembali kepadamu."

"Tapi bukannya aku harus berjuang untuk jodohku sendiri, Mas?"
"Ini begitu membingungkan, Cle. Aku hanya tidak mau kamu merasakan apa yang Ayah dan ibu rasakan. Aku menyayangi kamu."
"Tapi hatiku hanya untuk Rasyid, Mas."
"Kalo kamu mencintainya dan kamu tahu ada perbedaan besar diantara kamu dan dia, kamu harus berdoa demi kebahagiaan dia dan kamu karena kamu tidak bisa memperjuangkan dia ketika perbedaan itu menyangkut keyakinan, Sayang."

"Jadi, aku harus pindah lagi? Bahkan ketika aku begitu menyayangi dia?"

"Tuhan punya rencana untuk kamu, Cle. Ayo pulang."

***

"Aku boleh ngomong gak?" Tanya Rasyid di hari kelulusan kami. Aku menoleh.
"Apa?"
"Tiap tahun aku akan terus kirimin kamu buket mawar merah ya."
"Hahahaha, aku cuman bercanda."
"Karena hanya itu satu satunya cara untuk menghubungkan kita berdua."

Aku mendengus kesal. "Apa lagi nih yang mau jadi lelucon tolol kamu?"
"Duh, Vir. Aku serius. Aku kan mau sekolah di Jerman. Jauh. Kita gak bakal ketemu."
"Terus? Jangan bicara seakan akan besok mati deh, Ras."

"Justru kita harus hidup seakan akan besok kita akan mati karena yesterday won't come back."
"I know."
"Sebelum kita pisah, aku mau bicara."
"Sejak tadi kamu bicara."
"Be serious."

Aku menatapnya dalam dalam. Ia tersenyum lebar. Kami sedang duduk di pinggir sungai yang sama seperti 7 bulan yang lalu, saat ia menyatakan cintanya padaku.

"Sampai saat ini, aku masih menyayangi kamu, Vir dan gak akan berubah. Tapi aku sadar kenapa kamu tidak mau menerima aku, gara gara kita beda keyakinan kan?"
"Ma... Maafkan aku, Ras."
"Gakpapa, aku ngerti kok.. Tapi aku mau tanya."

Aku terisak. Rasyid menatapku dalam dalam.

"Apa kamu pernah mencintai aku juga?"

Aku terdiam tak bisa menjawab. Matanya menatap mataku dalam dalam.

"Kita memang berbeda, tapi hati kita satu dan itu akan terus menyatu walaupun tanpa status. Aku berdoa semoga ada orang yang satu keyakinan dengan kamu yang akan mencintai kamu seperti aku mencintai kamu. Doakan aku juga supaya aku menemukan orang seperti itu. Tunggu aku setiap tanggal 25 Desember ya, Vir. Aku pasti akan mengirimkan buket mawar itu untuk kamu sambil membawa berita bahagia. Pasti."

Rasyid beranjak dari tempat duduknya lalu memelukku. Pelukan hangat. Pelukan terakhir darinya.


***

"Mas, mau ke rumahnya Ayah jam berapa?" Tanyaku. Ibu baru sampai ke Jakarta besok siang tepat di hari Natal jadi aku merayakan Natal dengan pergi ke rumah Ayah untuk silaturahmi. Sudah lama juga aku dan Mas Abi tidak bertemu dengan Ayah. Mas Abi mengunci Jazz Hitamnya.

"Gak tahu, besok pagi aja deh. Sudah malam, ntar Mas telpon Ayah."
"Oke, tidur gih Mas." Kataku ketika pintu rumah sudah di buka oleh Mbak Laras.
"Sip, kamu tidur jangan malam malam ya."

2 jam berlalu, beberapa detik lagi jarum jam menunjukkan pukul 12. Aku berdoa pada Tuhan supaya tahun ini Rasyid akan mengirimkan buket mawarnya lagi padaku. Tapi bukan hanya kiriman, aku ingin Rasyid-nyalah yang datang.

Bagaimana ya keadaan Rasyid sekarang? Apa dia sudah menemukan orangnya? Aku saja belum bertemu.. Aku saja masih terikat padanya.. Astaga Rasyid kenapa sih...

Kringggg! Bell rumahku berbunyi. Aku bangun lalu berjalan menuju pintu depan. Mbak Laras dan beberapa pembantu rumah lainnya sedang asyik menonton TV di ruang tengah. Aku membuka pintu dan terkulai lemas melihat siapa yang datang. Bukan, bukan hantu.

Muhammad Rasyid Ridho.

"Ini buket bunga mawar tahun ini. Kamu apa kabar? Kudengar belum move on ya.. Aku sudah lho! Ayo move on sama sama. Jangan jomblo aja, masa stuck sih?" Tanya Rasyid sambil tertawa. Ia lalu duduk di hadapanku.

"Kamu jangan kaget banget gini dong, Vir. Aku kan udah janji balik kehadapan kamu pas aku udah move on dari kamu. Kamunya masa belum sih..."
"Kamu....."
"Gak usah nanya, aku juga masih sayang sama kamu. Tapi kita harus move on bukan?"
"Rasyid...."
"Malam Natal ini kamu harus bahagia dan sudah berpindah hati, ya."
"Kenapa...."
"Kamu ngeselin ya Vir baru ngerasain hal yang sama pas aku pergi. Bego dasar. Pantes aja jomblo terus dari dulu."
"Assh..." Aku tertawa. Dia lalu memelukku.

"Karena perbedaan sebenarnya yang menyatukan kita. Walaupun kita tidak bisa bersama, tapi percayalah hati akan selalu menyatu. Apapun yang terjadi, walau tanpa status, walau kita sama sama sudah berpindah hati, tapi kamu selalu punya tempat sendiri, Clevira."

Malam itu Rasyid terus duduk di sampingku sampai aku terlelap. Aku begitu bahagia sampai entah harus berkata apalagi. Tiba tiba Mas Abi membangunkanku. Aku menatapnya kesal ketika kusadari Rasyid tak berada di sampingku lagi.

"Rasyid mana, Mas?"
"Rasyid? Gak ada kok."
"Ih seriusan!"

Tiba tiba Mbak Laras masuk ke dalam kamarku sambil membawa buket bunga yang tadi malam Rasyid berikan padaku. Aku menatapnya heran. "Kok buketnya ada di bawah? Bukannya tadi udah aku taruh di meja?"

"Lah buketnya kan baru dateng 5 menit yang lalu, Cle..." Kata Mas Abi.

Ups. Jadi tahun ini... Rasyid belum datang juga?

Astaga, kamu datang hanya untuk membuatku merubah pendirian dan pindah dari kamu ya... Sial, dimanapun kamu berada, aku akan terus mengingatmu, Ras. Ah mungkin Mas Abi benar, aku bisa melupakan kamu setelah kamu kembali. 

Terima kasih sudah hampir 4 tahun singgah dihatiku dan kurasa buket bunga mawar ini adalah hadiah natal terindah darimu karena ketika ini datang, aku sudah bisa melupakan kamu seutuhnya. 

Semoga kamu bahagia. Terima kasih, Rasyid.



Cirebon, December 26th 2012 from 7.45 pm until 9.00 pm
Tanpa penghormatan, balik kanan bubar, jalan! 
Rafflesia, banjar 05, yang malam ini kehilangan arah penulisan
dan juga sedang merindukan kamu, entah siapa itu.
Rizki Rahmadania Putri

Tidak ada komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.