If This Was a Movie chapter 22
Kamu senang kan Greys aku sudah berubah?
Aku juga seneng kamu berubah. Sama sama mendoakan ya? :}
Sudah dua minggu dari hari dimana
Greyson meminta Adam menjauhi Maddi. Sudah dua minggu juga Adam hanya bicara
seadanya dengan Maddi. Adam rasa, Maddi sendiri tidak begitu menghiraukan Adam
yang lebih senang membaca buku di kelas daripada berkumpul bersama seperti
dulu. Maddi seperti mengerti Adam yang selalu ingin fokus dalam meraih
cita-citanya, sukses dalam ujian nasional tahun depan.
Adam
sendiri sudah lama berusaha memutuskan hubungannya dengan Mackenzie, tetapi ia
selalu tidak tega. Ia tidak berani melihat gadis itu sedih karena dirinya. Ia
tidak berani melihat betapa jahatnya ia
meninggalkan Mackenzie. Ia juga tidak berani melihat Mackenzie akan marah
sekali pada Maddi. Padahal semua ini bukan salah Maddi.
Tidak
ada yang salah. Ini hanya masalah hati yang belum bisa menentukan kemana ia
ingin pergi. Adam ingin mengakhiri semua ini. Ia tidak bisa bertahan untuk
Mackenzie padahal hatinya tidak mau. Itu akan membuat Mackenzie semakin
terluka. Tapi bagaimana cara mengatakannya pada gadis itu?
Lamunan
Adam buyar seketika ketika Megan berdehem. “Aku mau bicara.”
Adam
membenarkan posisi tubuhnya sambil menatap Megan dalam dalam. Gadis itu
tampaknya ingin menceramahinya lagi tentang Mackenzie. Megan memang sudah
sering mengingatkan Adam untuk segera memperjelas apa yang dia mau supaya ia
tidak menyakiti Mackenzie terlalu lama.
Megan
terlihat sangat gugup dan itu membuat Adam semakin khawatir. Ia bingung apa
yang sebenarnya ingin Megan katakan. Tidak biasanya gadis itu terlihat aneh
seperti ini.
“Dam..
Aku menyukai kamu.” Kata Megan pelan. Adam tertawa keras saking kagetnya. Dia
refleks, dia tak tahu harus bereaksi apa. Megan menatapnya dalam dalam.
“Dam,
aku serius.”
Adam
berdehem. “Meg, kita kan sahabat?”
“Aku
tahu, mangkanya aku tidak memperjuangkan kamu untuk ada di samping aku. Aku
tahu kamu sangat menyukai Maddi & Mackenzie, jadi aku mundur saja. Tapi aku
tidak tenang jika kamu belum tahu apa yang aku rasakan.”
Adam
meneguk secangkir kopi yang baru ia pesan beberapa menit lalu. Dia mencoba
untuk bangun, tapi dia tidak bermimpi. Dia mencoba untuk menghentikan waktu,
tapi dia tidak dalam sebuah film. Adam tak bisa bicara apa apa.
“Aku….”
“Aku
gak minta kamu buat ninggalin Kenzie demi aku, kok. Aku hanya ingin kamu tahu
kalau aku tahu apa yang kamu rasakan. Mencintai sahabat sendiri dan harus
melihatnya pergi, cinta sepihak. Itu sulit, Dam. Aku berusaha untuk bersyukur
tetap ada di samping kamu, tapi tetap saja sakit.”
“Meg…”
“Aku
hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu padaku?”
Adam
tersentak. “Meg, aku…”
“Lalu
setelah itu aku bisa fokus pada orang lain.” Kata Megan sambil menerawang jauh.
Adam menoleh dan mendapati arah tatapan Megan tepat pada Cameron yang sedang
bermain gitar dengan teman temannya. Adam tersenyum kecil.
“Kenapa
kamu harus bicara dulu padaku baru memulai dengannya? Toh kamu juga tahu aku
hanya menganggap kamu sahabat, Gan..”
“Justru
itu, Dam. Kita tidak bisa menggantungkan
diri pada dua orang yang sama sama kita cintai. Harus ada yang kita lepas salah
satunya dan melakukan itu tidaklah mudah. Kita harus bicara padanya supaya hati
kita lega dan bisa menerima orang yang lain.”
Adam
mengangguk mengerti. Ia merasa apa yang Megan katakan ada benarnya juga. Ia
tidak bisa menggantungkan diri seperti ini. Mungkin Maddi tidak terluka, tapi
Mackenzie..
“Dam,
kamu harus memutuskan salah satunya atau tidak dua duanya sama sekali.” Ujar
Megan.
“Aku
tidak bisa memilih.”
“Lalu
lepaskanlah keduanya.”
“Tapi….”
“Bukannya
itu adil? Kalaupun kamu melepaskan Kenzie, kamu juga tidak mau mengejar Maddi
kan? Aku juga begitu, Dam. Kalau aku tidak memperjuangkan dia, aku juga tidak
akan mengejar kamu.”
“Meg…
Maafkan aku..”
“Bukan
salahmu, Dam. Hidup kita bukan sebuah film yang mudah di rekayasa. Dari sahabat
menjadi cinta, butuh penyesuaian yang sangat lama dan aku mengerti betapa
sulitnya melakukan itu. Aku hanya ingin menuntaskan perasaanku padamu.”
“Jadi
menurut kamu, aku harus benar benar memutuskan Kenzie?”
Megan
berdehem mengiyakan. “Mm, tentu saja.”
“Dan
mengatakan suka pada Maddi lalu meninggalkannya?”
“Mm,
aku tahu itu tidak mudah. Tapi itu adil untuk mereka berdua dan juga hatimu.”
“Kalau
aku memilih?”
“Kamu
akan kehilangan sahabatmu atau kehilangan gadis yang memberimu kepastian.”
“Kalau
aku memilih?”
“Mackenzie
akan marah beberapa saat, lalu dia akan kembali pada kita lagi…”
“Dan
aku?”
“Kamu
masih punya banyak waktu untuk mencari yang baru, bukan?” Tanya Megan sambil
terkekeh. Adam tertawa.
“Andai
saja kamu tidak memilih dia, aku pasti akan moving on padamu! Hahaha.”
“Tidak,
Dam. Aku sekarang sadar, rasa nyamanku padamu hanya sebatas sahabat. Di luar
itu, semuanya pasti terasa sangat canggung.. Jadi… Apa jawabanmu?” Tanya Megan
hati hati.
“Eum..
Aku tidak pernah menyukai kamu secara lebih tapi terima kasih untuk jadi
fansku. Semoga kamu sukses dengan dia, Meg! Hahahaha.”
Megan
meninju bahu sahabatnya itu. “Semoga kamu sukses juga, Dam. Kamu harus segera
memutuskan, sebelum film yang kamu mainkan malah selesai tanpa tempat berlabuh
yang jelas…”
***
Melihat
Adam lebih sering bersama Megan lagi membuat hati Maddi sedikit nyeri. Tentu saja,
sahabat mana yang tidak sedih jika sahabatnya sekarang pilih kasih? Tapi Maddi
menepis pikiran itu ketika ia melihat Cameron datang menghampiri Megan dan
Adam. Dia tersenyum kecil.
Seakan
akan Maddi tau rencana Adam, ia mengurungkan niat untuk datang kesana dan
protes kenapa Adam sekarang jarang bersamanya. Terlihat betul Adam sedang
berusaha menjodohkan Megan dengan Cameron. Maddi tahu pasti bagaimana perasaan
Cameron. Ia juga percaya bahwa Megan punya perasaan yang sama.
Kekesalannya
pada Adam tak lagi ia hiraukan ketika Greyson menghampirinya. Vanda Sinathrya
masih ramai sampai jam 3 sore, tapi Greyson tidak malu malu untuk menggandeng
tangan kekasihnya itu. Greyson mengantarkan Maddi menuju mobil Taylor lalu
memberinya coklat.
Maddi
tidak bisa merasakan hal yang lebih senang daripada ini. Walaupun Greyson tidak
peka pada perasaannya, tapi ia berusaha untuk terus mengerti Maddi. Itu yang
membuat Maddi menjadi luluh dan berhenti marah pada Greyson.
Sesampainya
di mobil, Taylor langsung menyambut sepupunya itu dengan gembira.
“Hello,
sweety. Kamu tampak bahagia sekali hari ini…” Sapa Taylor. Maddi tertawa
ringan.
“Hai,
Tay.. Kamu harus tahu betapa beruntungnya aku memiliki Greys….” Ujar Maddi
sambil tersenyum. Taylor lalu tertawa dan mengisyaratkan Maddi supaya
melanjutkan ceritanya. Maddi terus bercerita sembari Taylor menyetir menuju
rumah sepupunya itu.
Ia
yakin sekali sepupunya yang sebentar lagi lulus SMA ini benar benar sedang
kasmaran.
***
“Kamu
mau.. Kita putus?” Tanya Mackenzie sambil mengalihkan padangannya dari Adam.
Adam berdehem lalu mengangguk.
“Iya..
Maafkan aku.”
“Aku
pikir kamu mengajak aku ke taman ini untuk bicarakan hal yang jauh lebih
penting daripada hal konyol seperti ini.” Kata Mackenzie dengan bibir bergetar.
Ia tidak mau menatap mata Adam. Ia terlalu sakit mendengar orang yang ia
sayangi memutuskannya sepihak.
“Aku
tidak bisa menyakitimu lebih dari ini.”
Mackenzie
berjalan menjauhi Adam beberapa langkah. “Tapi kenapa?”
“Apa,
Zie?”
Ia
berbalik dengan wajah yang sudah memerah. “Tapi kenapa kamu memutuskan aku?!”
“Zie,
dengarkan aku. Aku sangat menyayangi kamu. Tapi lama kelamaan aku sadar, aku
terlalu sering menyakiti kamu. Aku tidak bisa meneruskan semua ini, Zie.”
Mackenzie
menarik napas satu dua lalu berbalik lagi. “Apa karena gadis itu?”
“Hah?”
Adam keheranan. Apa yang Mackenzie maksud?”
“Madeleine
Jane. Orang yang kamu anggap sahabat, yang selalu kamu perdulikan, yang kamu
dukung bersama Grey tapi ketika mereka bersatu kamu selalu cemberut! Orang yang
selalu kamu bicarakan ketika kamu bersamaku! Kenapa kamu tega melakukan ini
padaku?” Tanya Mackenzie sambil menangis terisak.
Tangan
Adam bergetar. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan kecuali berjalan cepat ke
arah gadis itu lalu memeluknya. Dia bergumam, “maafkan aku…”
“Kenapa
kamu memilihku jika hati kamu untuk dia?”
“Hatiku
untukmu, Zie. Aku hanya belum bisa melupakan dia seutuhnya. Karena perasaanku
belum pernah disampaikan dan aku belum tahu perasaannya.”
“Jadi
kamu belum melupakannya ketika kamu bersamaku?”
“Zie…”
“Kenapa
aku tidak seistimewa dia, Dam?”
“Zie..
Please, aku hanya ingin berhenti menyakiti kamu.”
“Lupakanlah
Maddi dan kembali pada Adam yang dulu! Aku tidak akan tersakiti lagi.”
“Tidak
bisa.. Hatiku tidak bisa memilih salah satu. Setelah aku berhenti denganmu, aku
akan bicara dengan Maddi dan berhenti menyukai kalian berdua. Sebentar lagi
Ujian Nasional…” Ujar Adam. Entah kenapa ia menambahkan alasan ujian nasional. Tapi
untuknya itu lumayan membantu.
“Jadi
kamu ingin berhenti setelah semua hal yang sudah kita lewati selama ini, Dam?”
“Maafkan
aku, Zie…”
“Jadi
kamu ingin berhenti setelah aku terus bertahan demi kamu?” Suara Mackenzie semakin begetar. Adam
mempererat pelukannya.
“Zie..
Please mengertilah…”
“How could you walk away from everything we
made?”
***
Dua minggu
kemudian….
Setelah
resmi berpisah dengan Mackenzie, kelas 3-IPA 2 menjadi lebih sunyi bagi Adam.
Adam lebih suka belajar daripada berkumpul dengan Maddi, Megan, Cameron,
Greyson dan Mackenzie. Ia pura pura sibuk padahal hatinya sakit.
Karena
masih separuh hatinya masih yang penasaran tentang perasaan Maddi.
Adam
dan Mackenzie kini menjadi jauh satu sama lain. Gadis itu juga meminta Megan
bertukar tempat dengannya. Megan mengiyakan karena mengerti perasaan Mackenzie.
Mackenzie sendiri hanya berubah sikap pada Adam, ia masih seperti Mackenzie
yang dulu pada Maddi.
Karena
ia tahu bukan salah gadis itu jika mantan pacarnya jatuh cinta pada dia.
Adam
merasa ruang kelas terlalu bising untuknya mengerjakan beberapa soal ujian
nasional tahun lalu. Ia lalu memutuskan untuk ke ruang perpustakaan. Ia berpikir
mungkin disana ia akan mendapatkan ketenangan.
Tapi
ternyata tidak. Kelas 3-IPS 3 yang terkenal heboh sedang diminta guru Sejarah
untuk mengerjakan tugas di Perpustakaan. Adam menghela napas kesal lalu
berjalan menuju kantin. Walaupun kemungkinan ia mendapatkan ketengan disana
begitu kecil, tapi itu jauh lebih baik daripada mengucilkan diri dari teman
teman di kelas dan berada di tengah tengah kelas 3-IPS 3.
Adam
memesan satu gelas Lemon Tea lalu ia duduk di salah satu kursi dekat kolam ikan
sekolah. Ia menarik napas lega menyadari tidak banyak orang disini. Ia lalu
menaruh beberapa bukunya di meja lalu menghela napas.
Apa
yang harus ia lakukan sekarang?
Adam
sadar betul ia lari dari kenyataan. Ia lari dari perasaan hatinya yang terus
penasaran akan apa yang Maddi rasakan. Ia lari dari perasaan hatinya yang
sebenarnya masih ingin bersama Mackenzie walaupun rasanya hambar dan ia tidak
mau menyakiti gadis itu lagi.
“Boleh
gabung?” Suara kecil itu membuyarkan lamunan Adam. Gadis itu tersenyum kecil
lalu duduk ketika Adam mengangguk. Adam tidak bisa berpikir jernih, apakah ini
kebetulan atau bantuan dari Tuhan untuk menyelesaikan masalahnya tersebut.
***
Vald
duduk di samping Adam sambil membawa sekaleng Coca Cola. Ia menaruh barang
barangnya di meja lalu melirik ke arah Adam yang sibuk dengan soal soal nya.
“Ujian
Nasional kan masih tahun depan. Kok sudah belajar dari sekarang?” Tanya Vald
heran.
“Lebih
cepat lebih baik, bukannya begitu?”
Vald
tertawa. “Hahaha iya…”
“Kamu
sendirian?” Tanya Adam sambil menaruh bolpoinnya. Ia merasa mungkin ia harus
bicara pada Vald tentang Maddi.
“Iya,
aku ingin pergi dari suasana kelas yang ricuh ketika tidak ada guru.”
“Ah,
benar. Itu sangat memusingkan.”
“Jadi
kamu putus dengan Mackenzie ya? Tapi sayang sekali, Maddi masih bersama Greyson…”
Adam
tercekat mendengar perkataan Vald. Belum sempat ia berkomentar, gadis itu sudah
tertawa. “Hahaha tidak perlu bertanya bagaimana aku tahu. Aku kan sahabat
Maddi. Setidaknya dulu pernah bersahabat.”
“Kok
dulu?” Tanya Adam heran.
“Ya…
Begitulah.” Ujar Vald sambil menarik napas. “Aku bertengkar dengan Maddi karena
Greyson. Lama kelamaan aku sadar bukan cuma Maddi yang salah, tapi aku juga.
Kenapa aku tidak maju lebih cepat,
kenapa aku malah tidak bahagia sahabatku bahagia, kenapa aku tidak
mempercayainya…”
“Aku
tahu kok, Vald. Dia dulu mengeluhkan itu padaku.”
“Aku
lihat, kamu dan Maddi sudah jarang bersama…”
Adam
tertawa pelan dan Vald bisa merasakan betapa terpaksanya Adam untuk mencoba
tertawa. Ia tahu Adam bingung bagaimana menjawabnya. “Ya.. Seperti yang kau
lihat..”
“Coba
kutebak, kamu menyesal Maddi jadian dengan Greyson?”
Adam
langsung menggeleng cepat. “Tidak mungkin! Mana mungkin! Aku dengan Maddi kan..”
“Hanya
sahabat? Adam, ini bukan film. Kamu tidak perlu terus berpura pura.”
“Apa
maksudmu, Vald?”
“Aku
tahu kamu sudah bilang padanya bahwa kamu menyukainya kan? Tapi kamu penasaran
dengan perasaannya kan sekarang? Aku bisa melihat itu dan sebaiknya kamu
secepatnya bicara pada Maddi sebelum terlambat..”
“Terlambat
apanya?” Tanya Adam semakin heran.
“Sebelum
Maddi semakin erat dengan Greyson.”
“Memangnya
jika dia tahu aku menyukainya, dia juga akan menyukaiku?”
“Dam,
kenapa tidak mecoba dulu? Kurasa Maddi juga dulu menyukaimu. Dia suka sekali
membicarakan tentang kamu..”
“Itukan
dulu, Vald.”
Vald
memutarkan kedua bola matanya. “Jadi apa rencanamu?”
“Apa
aku harus memberitahunya lagi bahwa aku menyukainya dan menanyakan bagaimana
perasaannya padaku?”
“Iya,
kamu harus melakukannya.”
“Tapi
aku tidak lagi berpikir untuk memilikinya.”
“Memangnya
kalau kamu bilang kamu menyukainya, dia harus jadi pacarmu, gitu? Coba saja,
Dam.. Jangan terus mengulur ngulur waktu. Hidup ini seperti film sebenarnya.
Jika kamu tidak memanfaatkan waktu, waktu tidak akan menunggu, ia akan terus
berjalan dan semuanya akan jadi terlambat. Kupastikan kamu akan menyesal
akhirnya.”
“Aku tahu aku harus bicara padanya,
secepat mungkin. Tapi Grey melarangku untuk menemuinya dan aku berjanji untuk
menjauhi Maddi.”
Vald
menggeleng kecewa. “Oh astaga.. Jadi karena itu kamu semakin jauh dengan Maddi?”
“Iya..
Tapi karena aku tahu dengan Greyson, Maddi akan bahagia…. Aku memutuskan untuk
mengalah. Tidak apa apa aku harus menjauhi Maddi. Yang penting gadis itu
bahagia.”
“Kamu
baik sekali. Kamu harus segera bicara supaya perasaan dan persahabatanmu bisa
diselamatkan, Dam..”
“Ah..
Kurasa kamu juga harus bicara dengan Maddi…”
Vald
menggeleng cepat. “Tidak. Aku berencana meninggalkannya.”
“Jangan
begitu, bukannya sahabat itu akan selalu kembali jika mereka benar benar
sejati?” Tanya Adam sambil tersenyum kecil. Vald hanya mengangguk lalu
menerawang jauh. Kembali berpikir apa yang harus ia lakukan. Apa ia bisa bicara
pada Maddi setelah ia marah pada gadis itu?
Karena
sebenarnya, ia tidak mau kehilangan sahabatnya hanya karena seorang laki laki
super tidak peka bernama Greyson Michael Chance.
Adam sudah putus dengan Mackenzie. Sekarang saatnya dia memutuskan perasaannya dengan Maddi. Tapi apa dia bisa bicara dengan Maddi sedangkan ia berjanji pada Greyson untuk tidak menemui Maddi? To be continued...
I'm the previous stranger
BalasHapusthat called you Alice and compliment your great work.
hello Alice! aku liat di komen balasanmu di chap21 kamu pgn aku nyantumin nama. what about... YayoiK? call me YayoiK!
as usual, I love your work! as if I'm reading a novel...
perpanjang cerita ttg Vald ya. dalam artian, POVnya Vald. then... emm POV Zie dan Maddi kurang nih. lebih ke Adam, but that's ok. aku tetep suka.
ah ya, kalau aku boleh usul, coba deh pakai bahasamu sendiri. jgn bahasa buku terjemahan. ngasih kesan nggak santai.
udah itu aja. maaf ya kalau ada yg kurang berkenan, aku cuma pgn fic ini jd lebih baik di akhir.
keep up your great work, Alice.
and be careful with the silent readers! ;;)
haaaaaaaaai! oke yayoki is a great name. thank you thank you. of course just read the next part yap^^ well, akan aku pikirkan lagi. makasih banyak udah baca & selalu aku tunggu kritik dan saran kamu:}
Hapus*emosi terguncang guncang*
BalasHapuskenapa kak?:}}
Hapus