If This Was a Movie chapter 23
Karena pada akhirnya mempertahankan jauh lebih sulit daripada memulai dan mengakhirnya. Dia yang ngajarin aku tentang itu. Dia benar kan, Greys?
***
Maddi melirik Cameron sinis ketika ia
diusir dari samping Megan. Maddi menggerutu terus dan tetap saja tidak mau
sampai akhirnya ia melihat Adam dari kejauhan. Adam menyuruhnya mendekat sambil
memberi isyarat bahwa Cameron akan meminta Megan menjadi pacarnya.
Maddi
tersenyum lebar. “Baiklah, aku pergi…”
Cameron
dan Megan pun duduk berduaan. Wajah mereka tampak sama sama memerah dan itu
membuat Maddi geli sendiri. Beberapa langkah kemudian Maddi sampai di samping
Adam. Ia langsung tertawa kecil.
“I
cant believe this happened! Aku kira mereka hanya…..” Maddi berhenti bicara
ketika Adam yang ia hampiri malah berbalik dan meninggalkannya. Maddi refleks
mengejar Adam dan langsung merangkulnya dari belakang.
“Dam
kok buru buru banget…”
Adam
langsung menepis tangan Maddi dan itu sukses membuat raut wajah Maddi berubah.
Entah kecewa, sedih, marah atau bingung tapi Maddi tidak mengerti kenapa Adam
jadi seperti itu. Dia baru sadar sudah
lama sekali ia dan Adam menjadi punya jarak seperti sekarang.
“Kamu
kenapa sih, Dam?”
“I’m
fine, Madd.” Adam tidak berani melihat mata Maddi.
“Kenapa
menghindar?”
Adam
tertawa renyah. “Tidak, tidak ada yang menghindar.”
“Maaf
aku sibuk dengan Greys sekarang…” Sahut Maddi sambil menerawang jauh. Adam
menggeleng.
“Bukan
salahmu kok.”
“Tapi
kita punya jarak sekarang, Dam…” Ujar Maddi. Kamu baru sadar, Madd? Tanya Adam
lirih dalam hati.
“Masa,
sih?” Tanya Adam heran. “Sepertinya biasa saja…” Sambung Adam.
“Aku
tahu kamu sibuk dengan Ujian Nasional dan kamu juga baru putus dari Mackenzie,
tapi sadar gak sih kita makin jauh? Bahkan kamu putus dari Mackenzie aja aku
tidak tahu cerita jelasnya..”
“Maaf..
Aku sedang ingin fokus Ujian Nasional, Maddi..”
“Aku
tahu.. Tapi kita berubah.. Kita punya jarak..” Maddi berkaca kaca.
“Semua
orang pasti berubah, Madd. Karena seperti yang kamu tahu, hidup itu bukan film.
Hidup akan terus berubah dan berpindah. Dan bagaimanapun keadaannya, kamu harus
siap menghadapinya..”
***
“Aku
suka kamu sejak lama, Meg…” Ujar Cameron sambil menerawang jauh. Megan berusaha
keras menahan senyumnya, sayangnya ia gagal. Cameron langsung tersenyum lebar
ketika melihat wajah Megan memerah.
“Sebagai
sahabat?” Tanya Megan malu malu.
“Lebih
dari itu…” Ujar Cameron.
“Tapi
bukannya kita sudah terlalu dekat untuk menjadi lebih, Cam?”
Cameron
menatap Megan lalu meraih kedua tangan gadis itu. “Tidak, Gan. Kedekatan kita
lebih dari sekedar sahabat. Aku percaya itu dan aku mau membahagiakan kamu.”
“Memangnya
sebelumnya aku belum bahagia?”
“Kamu
pasti sudah bahagia semenjak bersahabat denganku. Iya kan, Gan?” Goda Cameron.
Mereka berdua tertawa bersama.
“Kamu
tahu kenapa kau tidak mau punya pacar selama ini?”
“Kamu
menungguku?” Tanya Cameron sambil terkekeh.
Megan
tertawa. “Konyol.”
“Aku
hanya bercanda. Kamu pasti menyukai seseorang.”
“Iya
dan itu sahabatku sendiri… Kamu tahu, rasanya sedih menyukai sahabat sendiri.
Kita tidak bisa membedakan apa arti tindakannya. Pada beberapa kasus, mereka
juga tidak bisa mengerti bahwa perhatian yang kita berikan lebih dari sekedar
sahabat.”
“Lalu
kenapa kamu tidak mengatakannya pada Adam?” Tanya Cameron. Entah kenapa
tiba-tiba saja nama itu terlintas di benaknya. Megan tertawa.
“Aku
sudah mengatakannya ketika aku yakin aku harus berjuang untuk seseorang. Aku tidak
bisa memendam perasaan ini lebih lama dan pergi sebelum perasaan ini
tersampaikan.”
Cameron
tersenyum masam. “Jadi dia menyukaimu dan dia putus dengan Kenzie karena kamu?”
“Bukan
begitu, bodoh. Sok tahu!” Seru Megan sambil meninju bahu Cameron. Cameron
mengusap usap bahunya seperti ia baru saja di tinju oleh petinju hebat. Megan
mengerang.
“Kamu
ganteng tapi kurang peka.”
“Lalu
apa yang harus aku lakukan?” Erang Cameron.
“Tidak
ada. Yang jelas Adam tidak memutuskan Kenzie karena aku.”
“Lalu
bagaimana perasaanmu sekarang, Meg?”
“Sudah
pasti untuk seseorang.”
“Siapa?”
Tanya Cameron hati hati.
Megan
bangkit dan berjalan. “Aku tidak pernah menyangka aku akan menyukainya. Dia menyebalkan
dan bahkan tak pantas menggantikan posisi Adam. Tapi, aku percaya dia bisa
menjagaku dan menyayangiku..”
Megan
berbalik lalu tersenyum kecil. Cameron bangkit dari duduknya, jantungnya
berdegup berjuta juta kali lebih kencang daripada biasanya. Megan pun sama. Mereka
berdua berjalan menghampiri satu sama lain sampai akhirnya Cameron meraih
tangan Megan dan menggenggamnya erat.
“Dia
itu kamu.” Ujar Megan sambil tenggelam ke dalam pelukan Cameron.
***
Apakah
Adam salah?
Pertanyaan
itu terus berputar putar di kepala Adam. Apa ia salah mengiyakan kemauan
Greyson untuk meninggalkan sahabatnya? Apa dia salah membuat semuanya jadi jauh
lebih berantakan setelah ia memutuskan Mackenzie?
Ia
sendiri bingung harus berbuat apa tapi ia sadar, Maddi mulai merasakan
kerenggangan itu. Selama berminggu minggu Adam menghindar, lama kelamaan Maddi
pun sadar persahabatannya tak serekat dulu.
Mungkin
semuanya wajar mengingat Maddi sudah punya pacar, tapi rasanya aneh ketika Adam
tidak ada di sampingnya. Berbeda dengan Adam yang tidak memilih keduanya, Maddi
sendiri bingung harus memilih siapa. Pacarnya atau sahabatnya?
Lamunan
Adam siang ini membawanya ke hari dimana ia dan Mackenzie resmi putus. Hatinya
tercabik cabik mengingat itu tapi ia harus mengabaikan perasaannya. Mungkin awalnya
sakit, tapi semuanya lebih baik. Daripada nanti jauh lebih menyakitkan dari
ini?
Adam
ingat betul hari itu Mackenzie tiba-tiba berbalik dengan tatapan yang tidak
bisa ia artikan. Dengan senyum yang entah menggambarkan perasaan apa. Air mata
sudah ia hapus, matanya tak lagi berkaca kaca. Ia tampak tegar dan siap
berjalan sendirian.
“Berani
memilih harus berani juga untuk menjalankan apapun resikonya. Karena hidup itu
bukan film yang bisa seenaknya kamu jalankan lalu ketika kamu tidak suka
tinggal kamu berhentikan…”
***
Seminggu
kemudian…
Rasanya
aneh.
Maddi
terus memutar mutar bolpoinnya tanpa memperhatikan pelajaran Kewirausahaan di
kelas Miss Ika. Maddi terus berpikir apa yang sebenarnya terjadi di
sekelilingnya ketika ia sibuk dengan Greyson. Maddi terus bertanya tanya kenapa
ia tidak sadar bahwa banyak yang datang dan pergi seiring dengan berjalannya
hari?
Ia
bertengkar dengan Vald karena Greyson. Adam dan Mackenzie sudah putus dan entah
kenapa Mackenzie jadi semakin jauh dengan Maddi. Kelas menjadi lebih hening dan
tiba tiba saja Megan dan Cameron jadian. Semuanya tidak terlalu kelihatan aneh
ketika Maddi sibuk dengan Greyson. Tapi saat ia sendirian..
Perbedaan
mulai terlihat dan Maddi tidak pernah siap menghadapinya.
Ia
tidak tahu harus bicara pada siapa mengenai Adam yang menjauhinya. Ia juga
tidak tahu harus bertanya pada siapa bagaimana caranya membuat hubungannya
dengan Vald lebih baik. Ia juga bingung harus bersikap apa pada Mackenzie yang
semakin dingin padanya.
Ia
tak tahu. Ia merasa sendirian.
Kelas
berakhir dengan cepat. Greyson hari ini ada kerja kelompok sementara Megan
pulang dengan Cameron. Adam sendiri langsung hilang dari pandangannya beberapa
detik setelah bell pulang berbunyi. Maddi menghela napas satu dua sambil
berjalan keluar dari gerbang Vanda Sinathrya.
Ia
berjalan lunglai. Ia bingung harus memulai memperbaiki semuanya darimana. Semua
nama yang ada di kepalanya terus terngiang tanpa henti. Maddi benci semua ini.
Maddi benci berada jauh dari Adam. Maddi benci bertengkar dengan Vald. Maddi
benci diperlakukan dingin oleh Mackenzie.
“Aw!”
Seru Maddi ketika ia terpeleset karena menginjak tali sepatunya sendiri. Lututnya
sedikit berdarah dan ia langsung meringis. Dari kejauhan Mackenzie yang sedang
pulang bersama sepupunya dan Tiffany, temannya sekaligus mantan pacar Greyson langsung
menoleh dan refles menghampiri Maddi.
Mackenzie
mengulurkan tangannya lalu membantu Maddi bangun. Tanpa melihat siapa yang
membantu, Maddi langsung meraih tangan itu dan bangun sambil merintih
kesakitan. Ia sibuk memperhatikan lututnya sambil dipapah oleh orang yang
menolongnya menuju kursi di depan Pos Satpam Vanda Sinathrya.
Mackenzie
langsung mengeluarkan tisu basah dan tisu kering dari tas pink milik sepupunya
yang ia pinjam. Ia meninggalkan Tiffany dan sepupunya yang baru kelas 1 SMP untuk menolong
Maddi tanpa basa basi. Sepupunya, Olivia berjalan menuju gerbang sekolah lalu
menatap Mackenzie dan mengangguk memperbolehkan Mackenzie membantu temannya
dulu.
“Aku
perhatikan sejak tadi kamu melamun terus. Mukamu pucat sekali, Madd. Sini biar
darahnya berhenti..” Kata Mackenzie pelan. Menyadari itu adalah suara
Mackenzie, Maddi langsung mengigit bibirnya dan membiarkan Mackenzie
membersihkan lukanya.
Mackenzie
mengeluarkan hansaplast dari tasnya lalu memasangkannya di lulut Maddi. Maddi mengerang
kecil saat Mackenzie tak sengaja menekan lukanya. Mackenzie tertawa kecil.
“Maaf
Madd, aku tidak sengaja…”
“Tidak
apa apa. Tas yang bagus, tapi kenapa namanya Olivia?” Tanya Maddi asal bicara.
Mackenzie tertawa lagi.
“Ini
milik sepupuku. Dia kelas 1 SMP, baru masuk ke Vanda Sinathrya. Aku meminjam
tasnya karena tasku baru saja kemarin dicuci dan belum kering. Kamu baik baik
saja?”
Maddi
tersenyum lalu mengangguk. “Iya, terima kasih, Ken..”
“Sama-sama..
Lain kali jangan melamun terus. Ikat dulu tali sepatumu.”
Sambil
mengikat tali sepatu, Maddi terus berpikir apa sekarang saja ia bertanya pada
Mackenzie kenapa gadis itu menjauhinya? Tapi rasanya tidak etis sekali setelah
Mackenzie menolong, Maddi malah membicarakan itu.
Ia
terus bepikir dan berpikir. Ingin rasanya ia bilang tapi ia tidak mau bilang. Mulutnya
seperti terkunci. Tapi ia menguatkan tekadnya karena kalau bukan sekarang,
kapan lagi bisa berdua dengan Mackenzie?
Kesempatan tak selalu datang dua kali.
“Eum..
Zie.. Maaf kalau ini tidak sopan. Sebelumnya terima kasih sudah menolongku.”
“Sama-sama
Maddi. Kita kan teman, jadi harus saling membantu.”
“Iya,
benar sekali. Tapi.. Ada yang ingin aku tanyakan.”
Mackenzie
menghela napas. Ia tak selalu menghindari hari ini terjadi. Ia menghindari
duduk berdua dengan Maddi supaya tak bicara rahasia Adam atau marah padanya
karena ia yang membuat hubungannya hancur. Ia tidak mau Maddi bertanya tentang
mengapa ia dan Adam putus. Ia takut salah bicara, ia takut malah melukai hati
Maddi.
“Ke…
Kenapa kamu menjauhiku?”
Karena
hati yang terlukai oleh orang yang kita percaya rasanya sangat menyakitkan
daripada perasaan apapun yang ada di dunia ini.
***
Mackenzie
tak ingin menjawab.
Ia
berusaha mencari cara mengalihkan pembicaraan tapi mata Maddi terlihat sangat
berharap padanya. Mackenzie berusaha menguatkan hatinya. Ia tidak bisa
menghindar lagi. Ia harus bicara pada Maddi tapi tidak boleh membuka rahasia
Adam. Karena bagaimanapun, rahasia orang yang disayangi tidak boleh diberi tahu
kepada siapapun.
“Aku..
Cemburu padamu.”
Maddi
menatap Mackenzie heran. “Cemburu? Apa maksudmu?”
“Adam
selalu mengelu elukan namamu. Dia selalu membicarakan kamu. Seperti kamu yang
paling baik di dunia ini. Mungkin memang benar kamu lebih baik daripada aku.
Tapi rasanya.. Aku kan pacarnya, Madd. Kamu mengertikan persaanku?”
Oh
dear…. Maddi terenyuh mendengar pengakuan Mackenzie. Jadi selama ini Adam
selalu membicarakannya? Ia tidak percaya bahwa orang yang ia sukai sebenarnya
menyukai dirinya juga. Sejenak perasaan senang terlintas dipikiran Maddi dan
langsung terhapus ketika hatinya mengingatkan Maddi pada janjinya sendiri.
Adam
hanya sahabat. Perasaan itu adalah masa lalu.
“Maafkan
aku…”
“Bukan
salahmu.” Sahut Mackenzie cepat cepat. “Aku saja yang tidak bisa mengerti kalau
kamu adalah sahabat dekat Adam. Adam pasti selalu membicarakan kamu. Lagian kenapa
aku harus cemburu? Kamu juga sudah punya Greyson…”
Mackenzie
tertawa terpaksa sementara Maddi menggigit bibirnya. Ia harus bicara.
“Tapi
dulu aku memang menyukainya…”
Mackenzie
tersentak. “Aku tahu, aku sudah merasakannya.”
“Dan
aku juga tahu Adam pernah menyukaiku…”
Mackenzie
berdehem, ia tak mau berkomentar apapun. Ia sudah tahu mereka berdua sama sama
menyukai. Kenapa sih harus menyeret Mackenzie masuk jika akhirnya ia harus
disakiti seperti ini? Mackenzie mengurungkan niatnya untuk bertanya. Itu terdengar
sangat egois, ia memilih menunggu Maddi menjelaskannya.
“Kami
berdua ternyata sama sama suka di waktu yang sama. Tapi karena tidak ada
respon, aku pergi dan dia juga pergi, Zie. Kami berdua sama sama menyayangi
pengisi hati baru kami…”
“Aku
mengerti..”
“Tapi..
Memang ada perasaan yang mengganjal antara aku dan Adam. Adam belum tahu
perasaanku yang sebenarnya. Aku belum mengungkapkannya secara jelas. Hatiku masih
tertahan janji memberi tahunya tentang perasaanku padanya.”
“Lalu
kenapa kamu malah bersama Greyson?” Suara Mackenzie tercekat.
“Terkadang
perasaan itu ada yang dengan menyatakannya saja sudah lega dan bahagia, Zie. Walaupun
punya perasaan yang sama, tidak selalu harus memiliki.”
Mackenzie
terdiam. “Jadi kalaupun kamu sudah bilang dan Adam masih menyukai kamu, kamu
tidak akan meninggalkan Greyson?”
“Tidak.
Aku sudah memilih untuk hanya bicara. Adam pasti mengerti.”
“Bukannya
itu membuatnya sakit?”
“Lebih
baik sakit sekarang daripada setelah sekian lama baru bicara. Pasti jauh lebih
sakit.”
“Bukannya
itu menyakiti orang yang kamu sayangi?”
“Aku
menyakiti Adam demi kebaikan Adam. Hidup terus berjalan, aku sudah punya pacar
dan aku tidak mau meninggalkannya karena Adam. Kalau bicara tentang hati pasti
rumit, Zie. Tergantung perasaanmu. Yang terpenting kamu harus bisa menerima apa
yang kamu pilih.”
“Maafkan
aku, Mad…”
“Aku
yang harusnya minta maaf membuatmu merasa tidak nyaman dengan Adam. Tapi sungguh,
walaupun aku masih menyimpan perasaan untuk mengungkapkan padanya, aku tidak
pernah berniat mengambil dia dari kamu.”
“Lalu
kenapa dia meninggalkan aku?”
***
Kejadian
siang ini di depan Pos Satpam Vanda Sinathrya cukup membuat Maddi lega. Mackenzie
akan kembali seperti semula dan Maddi tinggal membereskan masalah Vald dan
Adam. Vald… Vald… Apa kabar gadis itu?
Ia
berharap hidupnya seperti film yang sering ia tonton. Mudah dan tidak
membuatnya bingung. Mudah dan tidak membuatnya lelah untuk menjalaninya. Mudah dan
tidak membuatnya harus berjuang lebih ekstra. Mudah dan bisa dihentikan ketika
kita tidak mau menjalaninya.
Tiba
tiba Taylor mengetuk pintu kamar Maddi cepat. Ia tidak bisa sabar dan Maddi
tahu itu.
“Ada
apa, Tay?” Tanya Maddi ketika sudah membuka pintunya. Maddi langsung terduduk
lemas ketika melihat seseorang yang datang bersama Taylor ke depan kamarnya.
Gadis itu tersenyum kecil sambil menyodorkan kotak makan berwarna pink.
“Pancake?”
Tanya gadis itu sambil tersenyum.
Dan
Maddi merasa hidupnya jauh lebih baik daripada film manapun.
***
“Jadi
Greyson menyuruh Adam menjauhiku?” Tanya Maddi dengan ekspresi wajah yang tidak
bisa dijelaskan. Hatinya kaget, senang dan juga tercabik cabik. Kaget dengan
alasannya, senang karena dia tahu bukan dia yang membuat Adam menjauh dan
tercabik karena Greyson yang melakukannya.
Vald
mengangguk lalu menyuapkan pancake ke dalam mulutnya. Maddi tak tahu harus
bicara apa. Hari ini penuh dengan kejutan. Setelah berbaikan dengan Mackenzie,
Vald datang ke rumahnya, sama sama minta maaf, bisa curhat lagi dan…
Ia
tahu kalau sahabatnya menjauhinya karena diminta oleh pacarnya. Persis seperti
film.
“Greyson
sepertinya cemburu sekali dengan kamu.”
“Tapi
dia.. Dia bahkan tidak perduli dan menanyakan keadaanku setelah hari itu aku
bicara denganmu, Vald. Astaga..”
“Greyson
benar benar egois, tapi aku tahu alasannya. Dia sangat menyayangi kamu.”
“Tapi
kenapa dia harus memisahkan aku dengan Adam?”
“Adam..
Adam sangat menyayangimu sampai rela melakukan itu. Adam bilang ia juga merasa
tersiksa harus melakukan itu Maddi…”
Maddi
kalut. Ia tidak tahu harus bicara apa. Dari semua hal yang pernah Greyson
lakukan, ini benar benar membuatnya kecewa. Greyson tidak pernah bilang ia
cemburu pada Adam. Dia tidak pernah melarangnya dekat dengan Adam. Kenapa ia
tidak bilang saja? Kenapa ia harus melakukan ini?
Apa
ia tidak sadar bahwa dirinya dan Adam sama sama berharganya di mata Maddi?
***
Greyson
sedang sibuk memainkan game-nya ketika iPhone nya berdering. Wajah gadis itu langsung
memenuhi layar iPhone nya. Greyson langsung menekan pilihan answer dan
tersenyum kecil.
“Hai,
Mad…”
Maddi
tidak menjawab, ia malah terisak. Greyson panik mendengar isakan Maddi. Apa
yang terjadi pada gadisnya?
“Madd? Maddi kamu kenapa?!”
Tanya Greyson panik.
Maddi menghela nafas. “Aku mau kita putus, Greys.”
THREE CHAPTERS TO GO! Yeaaaaay! Apa Maddi-Greys bakal putus? To be continued..
hi Lice!
BalasHapusYayoiK is comeback!
I'm glad that Vald and Maddi are finally make it up...
tapi mana prosesnya? proses permintaan maaf dari kedua belah pihak secara lebih detail, maksudku... *halah*
and... bahasanya udah mulai santai, that's good.
POV-nya udah mulai seimbang... tapi ada yang kurang panjang...
yeay! three chapters to go! ingeeet, ada yg gantung di awal chapter!
keep up the great work, Lice! you did it very well so far...
wah kamu readers tetap yaaaaaaa, di outline aku gak nulis pake prosesnya jadi gitu deeeeh, oke see ya!^^
Hapushehehe tapi aku nggak komen di awal2 chapter soalnya mau liat dulu gmn perkembangannya kamu ke depan... tanpa kukomentar juga tetep bagus kan? ;;)
BalasHapusokaaay, mungkin bagian itu bisa kuimajinasikan sendiri...
well shall we meet again at the end of this fic Lice? :)
eaaaaaaaa amin amin makasih lho:} yes, see ya!^^
Hapus