If This Was a Movie chapter 25
Karena gak semua orang mengerti kenapa hujan itu punya arti yang luar biasa dalam hidup. Karena gak semua orang mengerti kenapa hujan selalu buat hati orang orang yang menunggunya datang merasa tenang.
Dan karena gak semua orang bisa menghangatkan hujan.
***
Jakarta, Mei 2013
Setelah
melewati hari hari penuh perjuangan demi Ujian Nasional, hari menuju pengumuman
kelulusan pun semakin dekat. Selama beberapa bulan terakhir kelas 3-IPA 2 benar
benar berubah drastis. Mereka lebih sering berada dalam kelas untuk belajar
bersama dan berdiskusi tentang Universitas tujuan mereka.
Tapi
semuanya menjadi lebih berbeda ketika Maddi, Adam dan Greyson tak bicara dengan
waktu yang cukup lama. Walaupun Maddi masih mau buka mulut pada Adam, tapi ia
tak mau bercerita apapun apalagi berkeluh kesah. Maddi menyimpan rapat semuanya
sendirian.
Mackenzie
berhasil melupakan Adam seutuhnya, sementara Adam masih menyimpan perasaan
penasarannya pada Maddi. Tapi Maddi tak kunjung bicara dan Adam tak punya waktu
yang tepat untuk bicara. Walaupun waktu yang tepat harus diciptakan, tapi
dengan keadaan Maddi yang penuh rahasia seperti ini membuat Adam tak bisa bertindak
apa apa.
Bukannya
Adam tidak mau berusaha untuk kembali seperti biasa dengan Maddi, tapi gadis
itu selalu menghindar dan menutup diri. Ia masih bertahan duduk sebangku dengan
Greyson dan tetap saja mereka tak pernah bicara.
Apa
sih yang sebenarnya Maddi mau?
Adam
selalu merasa kesal sendiri melihat gadisnya jadi jauh dengan semua orang
semenjak putus dengan Greyson. Entah karena hatinya sudah capek karena pernah
disakiti oleh orang yang benar benar ia percaya atau karena ada alasan
tersendiri. Yang jelas, Adam ingin melakukan apapun demi Maddi.
Megan
juga berusaha mendekati Maddi tapi gadis itu hanya tersenyum ketika ditanya apa
yang ia rasakan sekarang. Hanya pada Cameron lah sikap Maddi tak berubah.
Mungkin karena dari awal mereka jarang bercerita tentang hati, jadi Maddi masih
bisa bersikap lebih manusiawi pada Cameron.
Taman
Vanda Sinathrya sudah cukup sepi saat Vald baru turun dari Swift putihnya dan
menghampiri Adam yang memintanya untuk bertemu. Semenjak sibuk dengan Ujian
Nasional, mereka berdua tak pernah membicarakan tentang Maddi lagi.
“Hai,
Dam! Aku dengar kamu dapat jalur undangan dari Universitas Indonesia jurusan
Kedokteran ya? Selamat ya!” Seru Vald membuka pembicaraan. Adam menoleh lalu
tersipu malu.
“Makasih,
Vald. Aku juga gak nyangka bakal dapet kesana. Oh iya, kamu jadi menetap di New
York?” Tanya Adam sambil bergeser memberikan ruang untuk Vald duduk. Gadis itu
menghela nafas lalu duduk di samping Adam.
“Ya
begitulah, sebulan setelah kelulusan nanti aku akan berangkat ke New York.
Sebenarnya aku belum siap untuk semua hal itu. Vanda Sinathrya penuh dengan
kenangan, Dam..”
“Aku
mengerti, tapi kita kan gak bisa di SMA
selamanya. Iya gak?” Goda Adam.
“Nice
trick hahaha. So what’s up?”
Adam
menggeleng. “There’s nothing I can do. How about you?”
“Eum..
Ya.. Kamu tahu, Maddi seperti batu. Dia tidak akan bicara jika dia tidak mau.”
“Sekarang
dia sedang sibuk sendiri mengurusi cover di YouTube dan menyanyi dari panggung
ke panggung. Dia tak punya banyak waktu lagi dengan kami, kita –aku.” Ujar Adam
dengan menekankan kata aku.
“Aku
sudah berusaha untuk membujuknya bercerita, setidaknya meringankan sedikit
bebannya. Tapi dia tidak mau. Dia masih bungkam. Bagaimana dengan Grey?”
Adam
tertawa terbahak. “Aku tak pernah bicara lagi dengan dia setelah kejadian itu.”
“Astaga, itu gila! Kamu tak
boleh melakukan itu! Itu sungguh tidak baik, Dam.”
“I know, but I don’t hate him
anyway. Aku hanya menghindar daripada terjadi salah paham lagi.”
“Dia sepertinya masih menyayangi
Maddi..” Ujar Vald lirih.
“Tak ada seorang pun yang bisa
melupakan Maddi dengan mudahnya.”
Vald berdehem. “Seperti kamu,
begitu?”
“Ya…” Adam tertawa. “Begitulah…”
“Well,
aku menyerah dan akan memantau Maddi saja. Dia sudah cukup dewasa untuk
memilih. Dia tau apa yang terbaik. Pada saatnya, dia juga akan bercerita pada
kita.”
“Tapi
bukannya dengan begitu kita tidak bisa membantunya?”
“Kita
bisa, dengan berdoa untuk kebaikannya dan selalu siap jika sewaktu waktu dia
butuh kita. Bukannya sahabat harus saling mengerti dan menghargai pilihan
sahabatnya tersebut?”
***
“Kamu
masih tidak mau bicara dengan Greyson?” Tanya Taylor ketika Maddi sedang sibuk
dengan proses editing covernya. Maddi menghela nafas lalu menoleh.
“Dia
tidak mau bicara denganku.”
“Tapi
kamu mau dan kamu harus.”
“Kenapa
harus?” Erang Maddi.
“Astaga,
Maddi.. Kamu sudah cukup dewasa untuk menanggapi ini semua. Kamu tidak bisa
begini terus. Kamu masih sayang padanya, kan?”
“Selalu
dan aku tidak bisa berhenti memikirkannya.”
“Kurasa
dia juga begitu, Madd.”
Maddi
bangkit dan meninggalkan pekerjaannya. Ia lalu duduk di samping Taylor dan
mengerang sekali lagi. “Tapi bagaimana bisa aku bicara? Aku ingin semuanya
kembali, Tay..”
“Kalau
begitu kau harus berjuang untuknya.”
“Kenapa
selalu aku yang berjuang?”
“Astaga
Maddi, dalam hubungan harus ada seseorang yang selalu berani untuk mengalah.
Jangan gengsi ataupun terlalu berhitung. Ikhlas saja, toh demi kebaikanmu
juga…”
“Tapi
sudah setengah tahun aku tidak bicara dengannya. Semua penuh dengan bahasa
isyarat.”
“Bicaralah
saat Prom Night nanti, pastikan dia datang. Jika dia memang untukmu, dia pasti
akan kembali padamu. Kamu sadar sudah berapa kebaikan kamu abaikan setelah kamu
melepaskannya?”
Maddi
terdiam lalu mengangguk. Ia teringat banyak hal yang ia acuhkan karena sakit
hatinya. Megan, Mackenzie, Vald, Cameron dan Adam. Adam, iya Adam. Adam selalu
mencoba untuk memperbaiki hubungan kami dan meringankan bebanku. Tapi aku tak
bisa bicara. Rasanya sakit sekali untuk mengingat hal itu kembali.
“Adam
pasti sedih…” Ujar Maddi lirih.
“Sudah
pasti dan sangat pasti. Dia sangat menyayangi kamu, Maddi.”
“Tapi
ketika melihat wajahnya, aku berpikir aku harus bilang aku dulu menyukainya.
Setelah aku melakukan itu, pasti kami akan seperti biasa lagi. Tapi tidak bisa. Rasanya berat
sekali. Seperti ada Greyson yang menghalangi, padahal ia tak disitu lagi.”
“Kalo
kamu sayang sama Greyson, utarakan, perjuangkan dan berusahalah untuk tinggal.
Setelah semua perjuangan yang kamu lakukan, percayalah pasti ada kebaikan yang
akan datang.”
“Tapi
Tay…. Aku bingung bagaimana menjelaskan padanya kalau aku ingin dia kembali.”
Maddi
memutar kedua matanya sementara Taylor yang sedang memainkan iPhone-nya terus
bergumam. Ia lalu tersenyum kecil ketika sebuah rencana terbesit di pikirannya.
“Selalu
ada cara untuk mengungkapkan ketika mulut tak sanggup berkata.”
***
Greyson baru turun dari panggung
café tempatnya bernyanyi ketika seorang gadis berambut coklat panjang berjalan
menghampirinya. Samar samar Greyson mengenal gadis itu tapi ia tak berani untuk
menyapa, ia takut itu akan melukai hatinya.
Sudah berbulan bulan lamanya,
Greyson tak bicara pada gadis itu. Mereka memang duduk di bangku yang sama,
tapi rasanya mereka ada pada dimensi yang berbeda. Greyson selalu ingin mencoba
berbicara dengannya lagi, tapi ia tak bisa setiap kali menatap mata gadis itu.
Gadis itu berjalan semakin dekat
lalu ia tersenyum kecil.
“Hai, Greys.. Main, yuk?”
Ajaknya dengan suara sedikit gemetaran. Greyson langsung mengangguk cepat dan mengambil
jaketnya. Ia berharap semoga ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah ia
lakukan tempo hari.
***
Greyson
mempersilahkan Maddi duduk dengan senyuman paling canggung yang ia miliki.
Mereka berdua memutuskan makan malam di
Café Latuperssia tempat mereka dulu biasanya pergi. Maddi melambai pada pelayan
lalu seorang gadis kurus dengan baju seragam kerja Café Latuperssia menghampiri
mereka.
“Selamat
malam, selamat datang di CafĂ© Latuperssia. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya
sang pelayan ramah. Ia lalu memberikan menu makanan pada Maddi tapi Maddi
menolak.
“Saya
minta satu Spaghetti Chicken Oriental dan Jus Alpukat untuk cowok ini. Untuk
saya…” Belum sempat Maddi berbicara, Greyson sudah tertawa.
“Satu
Chicken Corn Soup dan Chocolate Blast buat cewek ini.”
Mereka
saling bertatapan lalu tertawa. Pelayan mengangguk pasti setelah menulis
pesanan mereka berdua lalu meninggalkan meja itu. Seiring dengan perginya
pelayan itu, Maddi dan Greyson semakin sibuk dengan pikirannya masing masing.
Maddi
tak bisa berpikir jernih. Ia tak tahu harus bicara apa padahal Greyson sudah
ada di depannya. Apa yang harus ia
katakan untuk memecahkan keheningan ini? Maddi tak bisa bicara. Ia terus
menerawang jauh.
Greyson
sendiri sibuk memutar mutarkan garpu yang ada di depannya. Otaknya tak bisa
menemukan kalimat apa yang harus ia keluarkan. Ia sangat kaget atas kehadirkan
Maddi tadi. Tapi ia juga senang karena Maddi mau menemuinya.
Maddi
mengumpat kesal. Ia bingung kenapa cowok yang duduk di hadapannya tak kunjung
bicara. Sementara Greyson menggerutu dalam hati. Ia kesal kenapa Maddi tak
memancingnya untuk bicara lagi.
Semuanya
terasa berubah dan jauh lebih dingin padahal mereka berdua berada di tempat
yang punya kenangan cukup banyak selama ini.
Beberapa
detik kemudian hati Maddi tak bisa menunggu lagi. Hatinya langsung menyuruh
gadis itu untuk bicara. Maddi berdehem lalu ia tertawa kecil.
“Kamu
apa kabar?” Tanya Greyson sebelum sempat Maddi berbicara. Maddi tersenyum kecil
mengetahui Greyson yang bicara terlebih dahulu.
“Aku
baik. Kamu?”
“Sama..”
Dia mengangguk ramah. “Maaf ya selama perjalanan menuju Ujian Nasional hubungan
kita jadi sangat dingin.”
Pipi
Maddi memerah. Ia menggeleng. “Tidak apa apa. Itu bukan salahmu, itu salahku.”
“Tidak,
itu salahku, Madd..”
“Salah
kita berdua. Adil kan?” Tanya Maddi. Mereka berdua lalu tertawa. Sang pelayan
datang membawa satu gelas Jus Alpukat dan Chocolate Blast ke hadapan mereka
berdua. Greyson langsung meneguk Jus Alpukatnya sampai tersisa setengah gelas.
Maddi tertawa.
“Kamu
haus banget ya, Greys?” Tanya Maddi sambil tertawa renyah.
“Iya,
Madd.. Aku belum sempat minum setelah manggung tadi.”
“Oh
iya, sorry tiba-tiba menculikmu.”
“No
problem, Mia-Maddi.” Ujar Greyson lalu disertai senyuman kecil.
“Mia-Maddi?
Sudah lama sekali….”
Greyson
tak menanggapi kata kata Maddi. Ia sadar ia salah mengucapkan panggilan itu.
Maddi pasti tak nyaman sekarang. “Jadi sudah dapat universitas?”
“Sudah..”
Sahut Maddi sambil mengaduk aduk Chocolate Blastnya. “Hubungan Internasional di
Universitas Indonesia. Kamu jadi ambil jurusan apa?”
Greyson
menggeleng. “Belum tahu pasti. Selamat ya masuk lewat jalur undangan…”
“Terima
kasih, Grey.” Jawab Maddi. “Well, sebentar lagi prom night. Kamu akan datang?”
Tanya Maddi canggung. Maddi berharap Greyson bilang iya. Tentu saja, Maddi
sudah menyiapkan banyak hal untuk Greyson. Tapi tiba tiba Greyson memutar bola
matanya lalu menggeleng.
“Aku
tidak tahu.”
Maddi
menghela nafas kecewa. “Yah.. Kok kamu tidak tahu?”
“Entahlah.
Mungkin datang, mungkin tidak. Aku tidak bisa berjanji.”
“Datanglah,
aku akan menunggu kamu.”
Greyson
tersentak kaget. Ia tak menyangka Maddi akan berbicara seperti itu. Apa di hati
gadis itu masih ada dirinya?
“Kamu
menungguku?”
Maddi
mengangguk pasti. “Sampai kamu datang.”
Pelayan
datang lagi dan membawa makan malam mereka berdua. Maddi langsung menyantap
Chicken Corn Soup nya sementara Greyson terus menerawang jauh keluar sana. Ia
tersenyum kecil saat menyadari sesuatu terjadi di luar. Hujan, kesukaan
Madeleine Jane.
“Madd..
Hujan.” Ujar Greyson.
“Iya,
hujan air.” Jawab Maddi sama seperti jawaban Greyson satu tahun yang lalu.
Setelah
itu mereka berdua tidak bicara dan lagi-lagi Maddi ingin menangis. Ia sudah
berusaha sampai saat ini, tapi kenapa selalu ada batasan antara Maddi dan
Greyson? Ia benar benar merindukan Greyson yang dulu.
“Greyson…
Apa kamu merindukan kita yang dulu?” Tanya Maddi pelan. Greyson yang sedang
minum langsung tersedak sampai batuk batuk. Ia kaget bukan main.
“Greys,
are you ok?” Tanya Maddi memastikan.
Setelah
batuknya mereda Greyson berdehem. “Eum, I’m ok.”
“Well..
Do you miss the old us?”
“Kenapa
kamu bertanya begitu?”
Maddi
menarik napas kecewa. “Karena sejak kamu pergi, hujan tak lagi terasa hangat,
Greys…”
***
Jakarta, 19 July 2013
Adam
berlari mendekati Maddi. Beberapa minggu yang lalu saat Graduation, mereka
berdua duduk bersebelahan tapi Maddi tak mau bicara. Adam masih bersabar kala
itu tapi sekrang, ia tak bisa memaklumi keadaan hati Maddi lagi.
Ia
tak mau hari hari terakhirnya di Vanda Sinathrya malah seperti ini. Besok
angkatan mereka akan mengadakan Prom Night dan Maddi masih tak mau bicara. Adam
geram, ia harus memulai percakapan ini atau ia dan Maddi tak akan pernah
kembali seperti semula.
“Madd…
Madd… Please, just wait. I need to talk.”
Maddi
menghentikan langkahnya. “Apa?”
“Besok
kita Prom Night, Madd. Acara terakhir kita! Dan kamu masih diam seperti ini..
Ok, aku tak perlu kamu ceritakan seperti dulu. Tapi please kembali lah…”
“Its
too late to come back, Dam.” Jawab Maddi dengan mata berkaca kaca. Adam tak
kuasa melihat gadisnya menangis. Ia lalu memeluk Maddi.
“Hei,
sweetheart.. Kamu kenapa jadi begini? Bicaralah…”
“Aku
tidak bisa.”
“Kenapa
tidak bisa?”
“Biarkan
aku sendiri, Dam. Sampai waktunya film ini
berakhir, kamu pasti tahu kenapa aku melakukan semua ini..”
***
Maddi
menyesal ia datang ke sekolah pagi ini. Kenapa ia harus bertemu Adam?
Maddi
terus menghindari Adam. Ia sengaja melakukan itu supaya tidak menyakiti hati
Adam lagi. Ia tak sanggup bicara pada Adam tentang apa yang ia pendam selama
ini. Ia ingin fokus memperjuangkan perasaannya untuk Greyson.
Disisi
lain Adam sendiri sudah benar benar kosong hatinya tapi ia terus memperhatikan
Maddi. Ia tak bisa melupakan gadis itu sedetikpun walau Maddi telah membuangnya.
Adam hanya ingin menyelesaikan rasa penasarannya, tapi dengan keadaan seperti
ini rasanya mustahil.
Maddi
sadar, ia sangat egois melakukan ini. Mendiamkan Adam selama berbulan bulan
demi menjaga hatinya supaya tak sakit dan kecewa lagi. Tapi kali ini ia benar
benar harus fokus pada Greyson. Ia harus memperjuangkan Greyson walaupun
mungkin hasilnya tak sama dengan yang dulu.
Karena
Maddi mengerti bagaimana sakitnya melihat orang yang kita cintai pergi tanpa
sempat kita perjuangkan…
One chapter left. To be continued....
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}