[SHORT STORY] Almost
My internet connection already died a few days ago.
I wrote it via mobile phone.... and Im giving up.
***
Kaca mata hitam itu membingkai kedua mata coklat tua-mu dan memantulkan bayangan diriku. Andai kamu tahu betapa sering aku berharap untuk benar benar ada dalam pandanganmu sampai akhirnya aku semuanya takkan mungkin terjadi.
"Nadanya udah bener belum?” Tanyamu sambil mengecek ulang kertas partitur lagu yang semakin lama semakin lusuh.
Aku mengangguk yakin. “Hampir benar.” Ujarku ragu.
Aku mengangguk yakin. “Hampir benar.” Ujarku ragu.
Dahimu merengut lagi, seperti biasa. Aku lupa kapan terakhir kali kamu benar benar tersenyum padaku. Setiap kali kita bertemu hanya pertengkaran yang ada, tak pernah ada lagi canda maupun tegur sapa saat kita berpapasan.
Kamu menghela nafas, “kok bisa sih hampir? Yang bener dong. Ri.” Protesmu sambil mencoret coret partitur.
Aku mendengus, “kamu bisa kan ngomongnya baik baik? Dengan kamu marah juga gak bakal selesai sekarang.” Sahutku kesal.
Aku sudah lama selalu menyimpan segala kekesalanku dan tak pernah berani mengungkapkannya padamu. Aku terlalu takut untuk terlihat marah di depanmu. Kujaga setiap ucapanku agar tak pernah ada salah paham antara kita.
“Terserah.” Katamu sambil berbalik meninggalkanku. Kurasakan air mata mulai menggenang dan aku tak lagi bisa menahan seperti hari hari sebelumnya.
Aku menangis.
***
Aku sering memperhatikan kamu setiap kali kamu melewati kelasku. Aku tahu kamu juga suka bermain gitar seperti aku. Aku tahu petikan dahsyatmu mampu membuatmu dicintai oleh pendengarmu.
Aku selalu berharap jika suatu hari nanti bisa menjadi patner duetmu.
Beberapa bulan setelah kamu tampil pertama kali di pentas seni, aku begitu senang ketika Kak Arsya memintaku menjadi patner-mu dalam band akustiknya.
Kamu begitu tertutup dan aku begitu mudah bicara pada orang lain jadi terkadang kita tak sejalan. Tapi setiap kali kita mulai bermain, hanya dengan satu tatapan saja kamu tau apa mauku dan begitu juga sebaliknya.
Banyak panggung yang sudah kita singgahi tentu saja membuat frekuensi bertemu pun semakin sering. Aku senang setiap kali kita saling tersenyum. Aku selalu menunggu kamu bertanya apa yang aku rasakan setiap kali kita berselisih paham. Aku selalu suka hari – hariku denganmu.
Di luar sana banyak yang mencemooh kedekatanku denganmu. Mereka bilang kenapa harus kamu yang jadi special di mataku? Masih banyak orang lain yang jauh lebih baik daripada kamu. Mereka memang benar, tapi entah kenapa mataku tertuju padamu.
Dengan segala kelebihan dan kekuranganmu, kamu selalu berhasil menjadi yang paling istimewa tanpa harus meminta apalagi berusaha. Aku selalu berharap kamu sadar bahwa aku disini dengan segala upayaku untuk membuatmu percaya bahwa cinta tak selamanya membuat sengsara.
Tapi hatimu terlalu beku.
Kamu sudah berhenti percaya cinta.
Kamu sudah berhenti percaya cinta.
***
Kak Arsya dan teman teman lain sudah siap dengan pakaiannya masing masing ketika aku baru sampai dengan baju casualku. Rambutku tak serapih biasanya dan aku hanya mengenakan blouse pink tua dengan jeans biru tua. Tak lupa ku pakai kalung berantai perunggu dengan bandul A yang merupakan kalung keberuntunganku.
Semua mata menatapku sambil tertawa kecuali kamu. Aku ingat kamu bertepuk tangan sambil bergumam, “istimewa…”
“Istimewa kenapa, Than? Ariana cantik ya?” Goda Kak Arsya sambil tertawa. Wajahmu merona memerah. Aku hanya tersenyum kecil menutupi maluku.
Kak Dennis tertawa kecil, “Ri cantik kan, Than? Bilang dong cantik….”
Kak Dennis tertawa kecil, “Ri cantik kan, Than? Bilang dong cantik….”
Aku ingat betul matamu bertemu dengan mataku. Kita sama sama tersenyum malu lalu kamu mengangguk dan berbisik, “iya.. Ariana cantik…”
Pipiku merona memerah. Aku senang sekali, Than.
***
Latihan band selalu membuatku lelah karena jemariku terkadang terlalu lemah untuk bermain gitar selama berjam jam. Mereka akan mati rasa lalu beberapa saat kemudian mulai berdarah dan meninggalkan bekas luka. Tapi aku selalu suka bermain gitar bersamamu. Karena selalu ada kebahagiaan disela sela perjuangan kita.
Kali ini kamu salah kunci dan aku hanya mentapmu dalam. Kamu yang sadar sedang diperhatikan pun menghentikan permainan gitarmu.
“Hah? Apa Ri?”
“Itu.. Nathan salah tadi.” Ujarku sambil tertawa kecil. Nathan terdiam beberapa lama.
“Hah? Apa Ri?”
“Itu.. Nathan salah tadi.” Ujarku sambil tertawa kecil. Nathan terdiam beberapa lama.
Kupikir dia akan marah atau mood-nya akan berubah. Tapi senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia menatap mataku dalam dalam.
“Iya, maaf ya..”
***
Pertunjukkan akan dimulai 30 menit lagi tapi kamu belum bangun sejak tadi. Aku sudah berusaha membangunkanmu sejak jam 4 pagi tapi hingga jam 7 tak ada kabar darimu. Kubuka room chat kita berdua dan seketika menelan ludah kecewa. Kamu sudah membaca puluhan pesanku tapi tak ada satupun yang kamu balas.
Sudah 20 kali aku menelpon ponselmu dan tak ada jawaban darimu. Apa yang terjadi padamu? Apa kamu sakit lagi? Kenapa tidak ada kabar?
“Sorry, ini…. salah…. sa….ya. Saya ke…. tiduran.” Ujar seseorang dengan nafas satu dua. Aku menoleh lalu menemukan kamu dengan wajah super kusut dan jaket biru dongker yang melapisi kaus oblongmu. Aku mendengus kesal.
“Sorry, ini…. salah…. sa….ya. Saya ke…. tiduran.” Ujar seseorang dengan nafas satu dua. Aku menoleh lalu menemukan kamu dengan wajah super kusut dan jaket biru dongker yang melapisi kaus oblongmu. Aku mendengus kesal.
“Kamu pasti belum mandi kan?” Tanyaku penuh keyakinan. Kamu terkekeh, “masih ada waktu buat make up kan?”
“15 menit cukup ya? 30 menit lagi naik panggung…” Ujarku agak kesal. Kamu mengangguk mengiyakan lalu berlari menuju ruang make up. Aku menoleh lalu berteriak, “Nathan mau makan apa?”
“15 menit cukup ya? 30 menit lagi naik panggung…” Ujarku agak kesal. Kamu mengangguk mengiyakan lalu berlari menuju ruang make up. Aku menoleh lalu berteriak, “Nathan mau makan apa?”
“Apa saja aku mau!” Serumu sambil terus berjalan. Aku tertawa kecil, “temui aku di backstage ya! Aku mau buat sarapan untukmu!”
“Apapun terserah kamu!”
“Aku buat pancake ya, Than?” Tanyaku memastikan.
“Apapun terserah kamu!”
“Aku buat pancake ya, Than?” Tanyaku memastikan.
Kamu menoleh lalu tersenyum, “baiklah..” lalu pundakmu menghilang dibalik kerumunan.
***
“Apa ini?” Tanyamu ketika kusodorkan kotak berisi makanan. Aku tertawa kecil.
“Ini hasil masakanku…” Kamu mengerang, “aku gak mau ngerepotin kamu..”
“Udah ah, cobain. Harus enak! Kamu pasti suka!”
Kamu menatapku menyelidik, “kamu nggak ngasih pelet kan, Ri?”
“Ya enggak lah!” Kedua bola mataku kuputar lalu kami tertawa bersama.
“Ini hasil masakanku…” Kamu mengerang, “aku gak mau ngerepotin kamu..”
“Udah ah, cobain. Harus enak! Kamu pasti suka!”
Kamu menatapku menyelidik, “kamu nggak ngasih pelet kan, Ri?”
“Ya enggak lah!” Kedua bola mataku kuputar lalu kami tertawa bersama.
***
Selama ujian semester band akustik-ku dan kamu sudah berkomitmen untuk beristirahat. Selama 2 minggu aku tak bicara pada kamu kecuali lewat line atau hanya bertegur sapa ketika berpapasan. Rasanya tidak enak sekali. Aku selalu merindukan hariku bersama kamu.
“Kenapa sih sering banget ngirim foto makanan?” Tanyamu saat bertemu denganku. Aku tertawa kecil, aku memang mengirimu banyak sekali foto makanan. Aku berusaha mencari cara supaya bisa bicara denganmu. Supaya tahu banyak hal tentangmu.
Jujur saja, kamu terlalu semu untukku mengerti. Kamu tertutup dan terlalu banyak hal yang ingin kuketahui darimu. Selain band favoritmu dan ketidaksukaanmu pada makanan pedas, tak banyak lagi yang ku ketahui. Aku ingin tahu banyak tentangmu.
“Enggakpapa.. Cuman pengen pamer aja hahaha.”
Kamu mencibirku, “jangan pamer aja! Bagi bagi kek.”
“Nathan maunya aku masakin apa sih….” Tanyaku sambil tertawa disambut oleh mimik wajahmu yang kaget sekaligus agak malu. Aku tertawa kecil.
Kamu mencibirku, “jangan pamer aja! Bagi bagi kek.”
“Nathan maunya aku masakin apa sih….” Tanyaku sambil tertawa disambut oleh mimik wajahmu yang kaget sekaligus agak malu. Aku tertawa kecil.
“Enggak usah, aku gak mau ngerepotin kamu, Ri…”
“Hmm.. Sekarang Nathan udah makan?”
“Hmm.. Sekarang Nathan udah makan?”
Kamu yang sedari tadi memainkan ponselnya pun bergumam, “hmm. Udah ay..”
“Hah? Ay?” Tanyaku kaget. Kamu segera mematikan ponselmu lalu menaruhnya di kantong jaket. “Hah? Iya? Iya udah makan.. Makan soup.” Aku mengigit bibirku.
“Ay? Ay maksudnya apa ya…” Tanyaku heran.
Kamu memutar bola matamu lalu mengigit bibir, gugup. Iya, kamu sangat gugup! Aku tahu itu.
“Ay.. Ayam, Ri! Kamu ayam! Udah deh, aku pergi ya!” Serumu tergesa gesa. Aku sedikit kecewa mendengar jawabanmu. Tapi aku juga senang, kamu gugup, kamu panik…
Mungkin ada peluang meluluhkan hatimu?
***
“Ini enak banget, Ri.. Makasih ya…” Katamu sambil menyodorkan kotak makananku. Aku tersenyum sumeringah dan mulai berpikir makanan apalagi yang bisa kubuatkan untukmu. Namun lagi lagi kamu tak pernah membiarkanku terbang untuk waktu yang lama. Padahal kamu sendiri yang memberiku sayap itu…
“Tapi lain kali gak usah ngasih makanan lagi deh, males nyuci kotaknya.”
Tapi kamu sendiri yang selalu mematahkannya. Terima kasih, Nathan..
***
Aku tak bisa tidur.
Aku terus menerus berpikir tentang apa yang terjadi beberapa saat belakangan ini. ada saat dimana kamu begitu dekat denganku namun beberapa saat kemudian kamu menarik diri. Aku seperti mengenalmu tetapi tak mengenalmu.
Posisiku rumit sekali dan itu semua karenamu, kau tahu kan?
Kadang kamu membuatku merasa bahwa hanya denganmu saja –tanpa status pacaran, persahabatan atau hanya teman, aku bisa bahagia. Aku tak butuh sandaran, aku hanya butuh kamu sebagai pelengkap hidupku.
Kamu tak pernah bisa benar benar jadi sandaranku karena kamu juga menyandarkan dirimu padaku. Itu yang membuatku merasa kamu adalah pelengkapku dan semanis apapun duniaku, itu takkan semanis jika bersamamu.
Hari itu mereka kembali membuka ponselku dan menemukan setumpukan foto-mu di galeriku. Aku panik bukan main saat kamu mulai menarikan jarimu di atas layar ponselku, tapi pada akhirnya aku berhenti berpikir keras. Mungkin sudah saatnya kamu tahu.
Wajahmu begitu serius dan kamu tak bicara apapun. Aku pun berusaha mencairkan suasana dengan berusaha bicara banyak denganmu. Aku coba bertanya dan kamu beberapa kali menjawab lagi.
Aku tahu betul sore itu di teras rumahku kamu sedang berusaha keras mencari tahu apakah aku menyukaimu atau tidak. Apakah semua perhatianku hanya untukmu atau tidak. Apakah aku hanya menganggapmu teman atau lebih daripada itu.
Aku berharap kamu bertanya, bukan hanya mencari tahu sendiri. Karena jika kamu bertanya, aku sudah siap menjawabnya..
Bahwa walaupun kita baru dekat beberapa bulan ini, walaupun kita belum begitu mengenal satu sama lain, tapi kamu istimewa dan berhasil mendapatkan perhatianku di peringkat utama.
Kamu adalah semangatku.
***
Aku cukup terpukul ketika kamu memutuskan untuk keluar dari band. Aku berusaha keras menahanmu, aku tidak mau kamu pergi. Aku tidak mau gitaris lain selain kamu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan betapa berartinya kamu. Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan..
Dan aku tak perduli apa yang orang lain pikirkan..
Aku hanya ingin kamu tahu, kamu pantas dicintai.
Cinta tidak selamanya menyakitkan.
Dan ada seseorang yang selalu ada untuk kamu.
Itu aku.
***
Setelah semua hal yang kita lakukan, kadang aku ingin menangis jika ingat kini kamu begitu dingin padaku. Kita berdua berubah menjadi mesin pemain gitar yang bisa bicara pada siapa saja kecuali pada satu sama lain.
Seakan sia sia jika pada akhirnya kita tak lagi bicara. Terasa begitu menyedihkan jika aku melihat kamu bicara dengan yang lain, aku bicara dengan yang lain, tapi kita tak bicara pada satu sama lain.
Aku tahu kamu benci padaku.
Kamu benci aku berlaku manis padamu. Kamu benci aku begitu perhatian padamu. Tapi kamu tak pernah sadar kalau kamu memberikan ruang padaku untuk melakukan semua itu. Kamu pikir aku terlalu dalam tapi aku tak sedalam itu.
Kamu selalu meminta lebih dari apa yang aku berikan tanpa menghargai setiap usahaku. Kamu memintaku untuk tak semanis itu saat apa yang kuberikan masih di level standar, level pertemanan, bahkan masih jauh dari rasa tertarik. Kamu tidak pernah menghargai setiap hal yang kulakukan untukmu. Kamu selalu melihatku dari sisi yang tak kamu sukai.
Kamu tahu aku mulai membencimu.
Rasa muak ini menyeruak setiap kali bertemu denganmu. Aku tak ingin kamu tak ada, tapi aku sendiri tak mampu berada di sekitarmu dalam jangka waktu lama. Aku ingin terus menangis dan menangis.
Entah siapa yang salah, entah siapa yang bodoh.
Mungkin ini salahku tertarik jauh ke dalam duniamu atau salahmu membuka pintu bagiku untuk memasuki duniamu. Tapi jika kamu tahu kenapa aku melakukan semua ini.. Aku hanya ingin kamu tahu, di luar dirimu, ada orang orang yang menyayangimu.
Mereka ada dan mereka nyata.
Mereka ingin membahagiakanmu. Kamu tahu alasannya apa?
Iya, Nathan. Cinta.
***
Musik yang dulu menyatukan kita kini menjadi hamparan hambar yang membuat semua terasa hanya atas nama pekerjaan, Tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi Ariana-Nathan yang seperti dulu. Semuanya telah berubah.
Aku terus berpikir bahwa setiap langkah yang kita lalui tak pernah benar benar berhenti pada pijakannya. Semuanya hampir sampai, tapi kamu tidak membiarkannya sampai. Semuanya hampir lenyap, tapi kamu tidak membiarkannya lenyap.
Setiap kulihat matamu, aku selalu ingin menangis. Aku ingin kita kembali lagi, aku ingin merubah caraku meyakinkan dirimu akan cinta. Aku ingin membuatmu nyaman lagi.
Jika boleh.. Jika kau mau..
Tapi aku tak mau lagi jika diantara kita hanya aku yang mempertahankan, sementara kamu terus menerus berusaha untuk meninggalkan.
Kenapa? Kenapa kamu begini Nathan?
Kenapa kamu tidak melihat apa yang ada di hadapanmu?
Kenapa kamu tidak mensyukuri itu?
Kenapa manusia tak pernah puas?
Kenapa, Nathan?
Kak Arsya mengetuk ngetuk mic saat personel lain –dan juga Nathan, sudah siap pada posisinya. Aku memandangmu. Aku ingin pergi, aku ingin lari, aku ingin tak perduli.. Tapi semuanya sulit.
"Tadi hampir bagus.. Semoga ini bisa lebih bagus." Ujar Kak Dennis yang disambut oleh tawa renyah darimu.
"Hampir tak pernah cukup." Sahutmu.
Aku mendesis, "kamu gak pernah bersyukur, sih."
"Lho? Kalo gak sempurna mana bagus penampilan kita?" Tanyamu ketus. Aku menaikkan kedua pundakku.
"Iya kamu yang tahu mana yang sempurna. Kamu yang akan selalu bisa membuat semua yang hampir jadi sempurna. Iya Nathan, iya aku tahu."
Kak Arsya melerai kami, "hei hei.. Jangan bertengkar.."
"Apa sih maumu?" Tanyamu padaku dengan kesal. Aku menggeleng.
"Semuanya hampir, Nathan. Tapi kamu gak pernah membuatnya sempurna."
Kamu menghela nafas, "hampir gak selamanya harus jadi sempurna untuk beberapa kasus.."
"Terserah." Sahutku ketus. "Ayo main!"
Musik pun mulai berdentang dan Kak Arsya mulai bernyanyi. Aku meringis menahan tangis.
Aku ingin pergi. Aku ingin lari. Tapi sejauh apapun aku berlari, aku selalu ingin kembali padamu. Padahal kamu sendiri tak pernah menginginkanku.
Bukan, aku yakin. Bukan tidak ingin. Kamu hampir menginginkanku.
Tapi kamu takut.
Tapi kamu takut.
Iya, kan, Nathan?
Remember..
Almost is never enough, dear.
Cirebon, Noveber 1st 2014 from 11pm-11,39pm
Almost is Never Enough – Ariana & Nathan
Do you think of me the way I think of you?
Almost is Never Enough – Ariana & Nathan
Do you think of me the way I think of you?
kaget ketika liat judulnya short story.
BalasHapuskalo begini short story gimana long story yaaaak?
short story means cerpen kak kalo disini hahaha
Hapus