Since You've Been Gone chapter 2

Siapa yang menyangka dari sebuah patah hati sederhana bisa merubah segalanya?

***


Dengan wajah muram Jessi menuju kamarnya. Ia membawa secangkir susu hangat yang menjadi minuman favoritnya selama ini. Tapi semuanya kini berbeda, secangkir susu hangat tidak lagi manis seperti biasanya.padahal apa yang ada di dalam cangkir itu sama.mungkin begitu, semuanya sama tapi rasanya berbeda. Iya, semuanya berbeda semenjak putusnya Jessi dengan Refal.

Tak pernah terpikir oleh Jessi bahwa hari harinya akan semuram itu, hari hari yang penuh kebingungan. Ia pun menghela nafas panjang, matanya fokus menatap frame berisi fotonya bersama Refal. Ia tersenyum kecil dengan mata berkaca melihat wajah Refal di foto itu. Melihat senyum bahagia refal yang dulu.ia teringat akan Refal, pria jutek yang berubah menjadi sangat ceria ketika bersamanya. Jessi pun masih ingat momen di dalam foto itu. Foto yang di ambil tepat saat hari anniversary mereka, saat Refal membawa boneka teddy kecil kesukaan Jessi.
Boneka teddy yang masih menemani tidur Jessi di hari harinya tanpa Refal.

Jessi tersenyum kecil setiap melihat boneka itu. Boneka teddy yang akan terus menemani tidur jessi setiap malam, bahkan ketika mereka tidak lagi bersama. Jessi tidak pernah menghilangkan kenangan itu.kenangan 5 tahun bersama Refal. Semua kenangan bahagia sedih konyol yang dijalani mereka semenjak dulu. Ya, Jessi tidak pernah menghilangkan kenangan dan semua kebiasaan itu.semuanya tidak dibungkus rapih melainkan masih terbuka jelas di depan mata Jessi.

“Karena setiap dia inget elo, dia selalu ngerasa patah hati, Jess..”

Kalimat itu terus terngiang di kepala Jessi sedari di sekolah sampai sekarang dimana ia terbaring di kamarnya. Sulit bagi Jessi untuk tidak memikirkan perkataan Reva, sahabat Refal. Terlambat bagi Jessi untuk membayangkan apa yang akan terjadi setelah kejadian di sore hari saat ia mengakhiri semuanya.atau mungkin bukan terlambat, Jessi tahu yang akan terjadi. Tetapi tidak mungkin jika Jessi terus bersama Refal dan begitupun juga ia tidak mau kalau Refal pergi dari kehidupannya.

“Gue juga gak bisa, Va.. Bukan cuma dia yang patah hati disini, gue juga..” Ujar Jessi menangis saat itu. “Tapi, disaat gue mau belajar untuk tetap berteman baik, kenapa dia gak bisa, Va? Aduh, Jessica Alesia... Masa elo masih nangis aja sih...” Cecarnya pada diri sendiri. Sementara Reva menatapnya sambil tersenyum.

"Wajar lo patah hati. Siapa yang gak bakal patah hati, sih?"

***

Pagi itu hawa mentari terik cerah sejalan dengan raut wajah munafik Jessi yang selalu tersenyum dalam kondisi apapun. Sialnya, ini menjadi sejarah pertama bagi Jessi berangkat terlambat ke sekolah.

Ia turun dari mobil Fortunernya dengan langkah tergesa gesa. Rambutnya yang lurus terurai menjadi sedikit berantakan tak beraturan.sampai di depan gerbang sekolah Bina Mulya di atas jam 6.50 pagi menjadi peristiwa pertama kali bagi kehidupan Jessi.

“Pak Darto, buka gerbangnya dong, Pak.. Kan telat 1 menit doang.” Ujar Jessi merengek dengan nafas kelelahan.
“Tidak bisa,1 menit juga melanggar. Tunggu Bu Rastih sebentar lagi!” Tegas Pak Darto, salah satu satpam yang cukup galak di sekolah Bina Mulya.
“Sial!” keluh Jessi dalam hati.

Bagi para siswa di sekolah Bina Mulya, terlambat menjadi hal menakutkan tersendiri. Berdiri di luar sekolah selama 30 menit sembari di ceramahi bukanlah sanksi yang enak untuk dijalani. Membayangkan akan hal itu membuat Jessi menggerutu kesal, semangatnya di pagi hari perlahan hilang.

Tapi senyum di wajah Jessi kembali muncul ketika si “raja telat” baru tiba di sekolah. Raja telat, we know the answer right? Siapa lagi kalau bukan Refal? Julukan itu sangat cocok diberikan pada Refal mengingat sering sekali ia datang terlambat.

Dari kejauhan Jessi melihat tubuhnya yang tegap tinggi berjalan sangat santai seolah tidak ada beban sama sekali. Saat pandangan mereka saling bertemu, Jessi memberi senyum tipis pada Refal. Tapi Refal membalasnya dengan diam. Raut wajah Refal sangatlah datar. Bahkan siapapun yang melihat kejadian itu akan tahu bahwa ada jarak di antara mereka, seperti jeda yang kaku.tidak ada lagi kenangan 5 tahun bersama. Saat itu hanyalah mereka, dua orang yang tidak saling mengenal atau lebih tepatnya hanya satu yang mengenal.seperti piring terpecah belah menjadi dua dan tidak bisa dipersatukan.

Sembari menunggu Bu Rastih datang, momen itu menjadi sangat kaku diantara mereka berdua. Keduanya sama-sama diam mengatur jarak berdiri dengan tatapan yang saling menjauh. Lantas sekarang, dimana kenangan 5 tahun mereka yang dulu?

“Bu Rastih tidak ada, kalian masuk saja lansung ke jam pertama.” Tutur Pak Darto sembari membuka gerbang. Mendengar kabar itu sontak membuat Jessi kegirangan.
“Makasih pak!” Jawab Jessi dengan senyumnya yang manis membuat matanya begitu sipit.

Koridor sekolah cukup sepi, semua murid telah masuk di kelas masing-masing. Saat itu dengan ketuk langkah yang sama Jessi berjalan tepat di belakang Refal. Besar sekali kemauan Jessi untuk menyapa Refal lagi dan lagi. Karena memang itu kebiasaan yang sering dilakukan Jessi semenjak kejadian sebulan yang lalu saat semuanya berakhir. Tapi apakah kebiasaan baru itu manis? Jelas tidak. Kebiasaan itu hanya dibalas dengan jawaban seadanya oleh Refal. Dijawab dengan diam, dengan kaku dan berjarak. Tapi itulah namanya kebiasaan. Tidak perduli apa yang akan di dapat, tidak perduli apa jawabannya, tidak perduli akan seperti apa. Karena kebiasaan pasti dilakukan berkali kali dan untuk kesekian kalinya saat itu Jessi menyapa Refal lagi tanpa ragu.

“Refal...” Sapa Jessi dengan senyumnya yang khas.
“Kenapa?” Tanya Refal.
“Hari ini aku terlambat datang ke sekolah... Kamu gak kaget?”
“Gak terlalu.” Jawab Refal singkat seperti biasa dengan langkah menjauh.

Di balik perasaan kecewa untuk kesekian kalinya, Jessi tetap menyembunyikan perasaan itu dengan tersenyum saat melihat Refal yang pergi menjauh. Ia tersenyum manis seolah tidak ada yang terjadi. Tapi jauh di dalam hati setiap manusia, siapa yang bisa tidak merasa kehilangan? Apa lagi 5 tahun bersama Refal dengan ragam cerita yang mengisi hari hari Jessi penuh warna, siapa yang rela kehilangan itu semua? Tentu bukanlah Jessi.

***

“Ajarin gue nomer ini dong..” Pinta Jessi menyodorkan bukunya pada Jason.
“Ini gampang banget.. Beneran lo gak ngerti?” Tanya Jason heran.
“Ngerti sih.. Abis lo dari tadi asik sendiri aja.” Ujar Jessi sembari menarik bukunya kembali.
“Mau diperhatiin ya?” Jason tertawa, tawanya begitu manis dibalik kacamata tebalnya dengan gaya rambut trendy dan perawakannya yang tampan.

Jason Hans Pratama adalah mantan Ketua OSIS di sekolah Bina Mulya. Reputasinya di sekolah tidak perlu dipertanyakan lagi. Ia dikenal sebagai cowok ganteng, aktif dan smart. Terlalu sempurna sehingga tak heran Jason selalu menjadi bahan pembicaraan oleh cewek cewek di sekolah Bina Mulya.

Jason merupakan sahabat Jessi sejak menginjak bangku SMA. Mereka sangat dekat dan begitu akrab, bahkan karena itu sempat beredar gossip Jessi selingkuh dengan Jason pada masa Jessi putus dari Refal. Tapi seiring berjalannya waktu semua mengerti bahwa Jason dan Jessi hanyalah sahabat dekat. Mereka tidak mungkin lebih dari sahabat.

Jason selalu hadir di setiap cerita Jessi, terutama cerita Jessi akan hubungannya dengan Refal. Sebulan yang lalu jason sangat kaget dan cukup kecewa ketika ia tahu sahabatnya Jessi tak lagi bersama Refal. Bagaimanapun juga Refal adalah orang yang paling tepat untuk Jessi. Bagaimana Jason tak kecewa ketika sahabatnya menyia-nyiakan orang yang tepat?

Sekalipun Refal dikenal jutek dan sangat malas, tetap Refal lah yang paling bisa membuat hari Jessi sangat berwarna. Tapi sebagai sahabat, Jason berusaha mengerti akan keputusan Jessi. Sampai sekarang, Jason masih terus hadir di setiap cerita Jessi.

“Apaan sih, Jason.” Bantah Jessi sembari memukul pelan pundak Jason.
“Lo kenapa telat hari ini? Tumben banget.” Tanya Jason penasaran. 
“Gak tau, padahal semalem gue..” ucap Jessi bingung.
“Mikirin Refal lagi, kan?” 
Jessi menggeleng “gue juga gak tau.. mungkin iya. Karena biarpun dia di deket gue, dia udah beda banget, dia udah gak kaya dulu.” Keluh Jessi, matanya terpaku menatap kosong tanpa arti.
“Itu karena statusnya udah gak kaya dulu, Jess....”

Jessi hanya diam, perkataan terakhir Jason tidak di jawab olehnya. Ia fokus memikirkan Refal sampai tidak memikirkan pelajaran yang berlansung di kelas saat itu. Apa yang dipikirkan Jessi membuatnya kembali terisak. Saat itu pelajaran matematika telah berakhir. Jessi berjalan meninggalkan ruangan matematika dengan mata sedikit sembab. Menyadari hal itu, ia buru buru menuju toilet sekolah untuk membenahi matanya.

Ia berkaca melihat rupanya sendiri. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Apakah keputusannya salah? Apa Refal tidak bisa kembali seperti dulu? Haruskah ada status itu? Tapi semua pertanyaan itu belum terjawab atau mungkin tidak akan terjawab. Seolah hanya waktu yang terus mengulur dan memperbesar rasa sakit Jessi dan Refal. Seolah tidak ada kunci penyelesaian dari masalah cinta yang aneh.semuanya membingungkan. 

Jessi keluar dari toilet sekolah, berjalan menyusuri koridor yang biasa ia lewati bersama Refal dulu. Setiap bel pelajaran berbunyi, setiap koridor dan tangga pasti ramai dipenuhi para siswa yang akan moving ke kelas selanjutnya. Kebetulan koridor yang Jessi lewati saat itu cukup sepi sehingga membuat Jessi tidak perlu memasang wajah semunafik mungkin untuk menutupi bekas tangisannya sendiri.

Mata Jessi sibuk memperhatikan sekitarnya. Langkah gadis manis bermata sipit itu sedikit bersemangat ketika ia melihat jadwal dan mengetahui saatnya giliran pelajaran Biologi. Pelajaran favoritnya sejak SMP. Ia tiba di kelas Biologi dengan antusias, duduk di deretan tengah baris paling depan. Pelajaran belum dimulai saat itu. Jessi pun menunggu dengan mata yang terfokus membaca buku catatan Biologinya. 

Disisi lain Refal masih berjalan di koridor dengan langkah pelan. Ia segan memasuki ruangan Biologi karena ia tahu akan ada Jessi di ruangan itu. Setiap langkah demi langkah yang mengarah pada Jessi hanya akan menambah rasa sakit bagi Refal. Karena antara terlalu mencintai dan sakit hati itu berbeda tipis. Lalu ketika semuanya berakhir, yang terlalu mencintai pasti yang akan lebih sakit hati, bukan?

To be continued....

***

By: Stefani Putri
March 18th, 2015

Tidak ada komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.