We Are Liars chapter 6 [FINAL CHAPTER]
Terima kasih untuk semua orang yang telah membaca mini series dari gue dan Fifi! Hihihi walau ada banyak gangguan dalam menulisnya but we did it! Yang pengen nulis project lucu bareng gue e-mail yuk ke rizkirahmadania@yahoo.com mumpung dalam 3 bulan ke depan gue langi ngejer menulis yang banyak sebelum kelas 3 SMA hahaha:p
And yap, last chapter.....
***
"Linda ngeliat Ilham sama Saras nonton kemarin, Ra. Pegangan tangan. Gak ngerti maksudnya apa." Kalimat Linda terus menerus mengisi pikiran Aurora. Aurora tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara dirinya dan Ilham.
Ia tidak pernah bisa menebak apa yang Ilham inginkan. Mood Ilham selalu berubah ubah. Kadang ia bisa sangat manis, kadang juga ia bisa sangat cuek. Lima bulan sudah ia berpacaran dengan Ilham tapi tidak pernah sedikitpun ia merasa sakit hati kecuali belakangan ini.
Bukan salah Alvin jika ia kembali secara tiba tiba dan menginginkan Aurora ketika dirinya bersama Ilham. Bukan salah Ilham juga yang sudah ada di samping Aurora saat Alvin baru sadar perasaannya pada gadis itu. Tapi Aurora tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang ia lakukan bersama Ilham?
Mereka berdua saling berusaha menyayangi padahal semakin sering mereka bersama, rasa sakit yang malah terus terusan ada. Aurora tidak pernah bertengkar dengan Ilham. Ia tidak masalah jika Ilham tidak ada, begitupun sebaliknya. Awalnya ia mengira itu adalah bentuk saling mengerti, tapi tiba tiba berujung hambar ketika semua perhatian yang mereka berikan satu sama lain mulai terasa palsu.
Aurora tahu betul ia memaksa dirinya untuk mencintai Ilham yang terlebih dahulu menyatakan cinta. Ia selalu berpikir bahwa Ilham benar benar mempunyai perasaan untuknya. Tapi hatinya tidak sebodoh itu. Ia tahu Ilham sedang berpura pura.
Bersama Ilham, rasa bahagia yang ada tidak sebahagia saat bersama Alvin. Ilham bisa menjadi teman cerita, tertawa, bersedih bahkan tempatnya jika sedang emosi. Tapi Ilham tidak bisa membuat Aurora rela menangis demi kebahagiaannya.
Semakin lama Aurora sadar apa yang ia rasakan juga dirasakan oleh Ilham. Lalu apa yang sebenarnya mereka berdua pertahankan selama ini? Untuk apa mereka saling berhubungan jika mereka tidak saling mencintai?
***
AURORA ADHIWINATA'S POV
Alvin terus menerus berusaha menghubungiku ketika Ilham sedang duduk di hadapanku. Aku membiarkan handphone-ku tergeletak di meja sembari terus memandangi Ilham yang berusaha mengelak setiap aku tanya perasaannya.
Hubungan ini memang diawali dari rasa patah hati satu sama lain. Jadi apa yang sebenarnya kami pertahankan selama ini?
"Kamu kenapa pergi sama Saras?" Tanyaku berusaha menahan emosiku. Demi Tuhan tidak ada air mata yang ingin jatuh, aku hanya kesal karena tidak mengerti apa yang Ilham lakukan. Bukannya dia sudah bersamaku? Jadi untuk apa bersama Saras?
Ilham menghela nafas, "handphone kamu bunyi terus, Neng..."
"Kenapa kamu pergi sama Saras? Aku gak cukup, Ham?" Tanyaku tidak menggubris ucapannya. Handphoneku kembali berbunyi. Aku ingin sekali menjawab telpon dari Alvin tapi.....
Tangan Ilham bergerak cepat meraih handphoneku. Ia tertawa kecil, "ngapain kamu telponan sama Alvin? Kamu bilang kamu udah lupain dia?"
"A... Aku cuman temenan. Ngomongin tugas." Jawabku berusaha mengelak.
Ilham mendengus pelan, "bukan sekali ini kan dia telpon kamu?"
"Selama ini kamu gak pernah marah kalo aku masih berhubungan sama Alvin!" Seruku agak kesal. Ilham mengerutkan dahinya.
"Lalu untuk apa kamu marah kalo aku pergi sama Saras?" Tanya Ilham tidak kalah kesal. Nada suaranya meninggi. Aku mengigit bibirku.
"Kurasa aku punya hak mengingat kamu di bioskop itu pegangan tangan sama cewek lain. Aku ini apa, Ham? Cuman pacar? Hati kamu untuk siapa sebenarnya?" Cecarku sambil meremas remas jemariku.
Ilham menghela nafas, "kamu pikir aku sebodoh itu percaya kamu cuman ngurusin tugas sama Alvin? Aku kenal kamu dari dulu, kamu sayang banget sama Alvin, kan? Sampai sekarang kan? Aku gak bakal masalahin ini kalo kamu gak masalahin Saras!"
Aku menatap mata Ilham dalam dalam, "kamu cemburu, Ham?"
Wajah Ilham yang semula mengeras tampak agak terkejut. Ia melirik kanan kiri sembari mengangguk beberapa kali. Aku hapal betul tabiat Ilham jika sedang berbohong. Ia bergumam, "hmm, cemburu."
Saat itu juga aku tahu Ilham tidak cemburu sama sekali.
Ilham hanya terpancing amarahku yang sengaja kubuat untuk mengetahui apa yang sebenarnya ia rasakan. Ilham tidak benar benar cemburu. Ia hanya cemburu untuk mengerjakan perannya sebagai pacar.
"Ham, ini gak bener... Ini sama sekali gak bener. Apa ini yang kamu sebut pacaran?"
***
RAMADHANA ILHAM SATRIA'S POV
Saras terus menerus memohon untukku kembali padanya tapi aku terus menggeleng. Aku tidak bisa kembali padanya ada ataupun tidak ada Aurora. Aku bisa saja meninggalkan Aurora demi Saras kembali padanya, tapi apa itu tidak terlalu egois?
Saras menangis cukup kencang sore itu di dalam mobilku. Aku benar benar bingung apa yang harus kulakukan. Aku tidak merasa apa yang kulakukan bersama Saras beberapa saat belakangan ini adalah kesalahan mengingat aku sudah bersama Aurora. Tapi aku merasa telah berlaku bodoh kembali pada sesuatu yang sudah kutinggalkan.
Walau aku sangat menyayangi Saras, namun pergi dari Aurora demi gadis ini adalah sebuah kejahatan. Aku yang mengajak Aurora pacaran supaya aku bisa melupakan Saras. Bila aku meninggalkan Aurora demi Saras, itu benar benar keterlaluan.
Aku menghela nafas. Aku tidak bisa berbohong, aku sendiri tidak benar benar mencintai Saras. Aku bingung apa yang selama ini kami berdua jalani. Aku tidak cemburu, aku tidak pernah marah, aku tidak pernah kecewa padanya. Aku hanya berpura pura bahagia dan membahagiakannya.
Aku merasa sedang berbohong besar.
"Kamu gak bener bener sayang sama Aurora, Ham.. Kamu sayangnya sama aku.."
"Tapi aku gak bisa gitu aja ninggalin Aurora, Ras.. Ada ataupun gak ada kamu lagi, aku sudah meminta hati Aurora hari itu dan tidak mungkin kutinggalkan begitu saja. Aurora begitu baik..."
Aku tercekat pada kata baik yang kulontarkan. Aurora begitu baik, tapi apa dia tulus mencintaiku?
Aku melakukan banyak kepura puraan bersamanya dan aku bisa merasakan banyak hal yang dia sembunyikan dariku. Hubungan ini benar benar suatu kebodohan. Apa yang sebenarnya kami berdua lakukan?
Lima bulan yang lalu hati Aurora sedang berduka karena Alvin lagi lagi memilih gadis lain menjadi pacarnya ketimbang Aurora. Lima bulan yang lalu hatiku sedang gundah gulana melihat Saras mempunyai pacar baru yaitu Haekal.
Kami berdua sama sama sedang patah hati sehingga terbawa suasana dan jadilah status ini mengikat kami. Tapi status saja tidak bisa menjamin perasaan bisa tumbuh. Selamanya aku akan menganggap Aurora Adhiwinata adalah teman curhatku, bukan pacarku. Kuyakin hal yang sama juga dirasakan oleh Aurora.
Kami berdua saling bilang sayang. Kami berdua sama sama berperan sebagai pacar. Tapi rasanya begitu hambar dan tidak ada emosi diantara kami meski jantungku memang berdegup kencang saat kugenggam jemarinya. Tapi ini semua sangat hambar...
Lalu apa yang sebenarnya dilakukan oleh kedua pembohong ini?
***
Aku tersenyum kecil. "Aku kira cuman aku yang menyadari semua ini..."
Kalimatku berhasil membuat Aurora mengerutkan dahinya lalu matanya mulai berkaca kaca, "maksud kamu?"
"Gak perlu berbohong lagi, Ra... Maafkan aku..."
Aurora mulai menangis. Setetes demi setetes air mata mulai membasahi pipinya. "Ham...."
"Gak usah pura pura lagi..." Jawabku sambil tersenyum.
***
AURORA ADHIWINATA'S POV
"Jadi kamu gak mau nerima aku karena Ilham, Ra? Aku sayang sama kamu, Aurora! Masa kamu gak mau ngasih aku kesempatan?" Tanya Alvin kesal saat aku menolak cintanya. Aku mulai menangis tapi aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak bisa menerima Alvin.
"Kenapa kamu gak mau sama aku, Ra? Bukannya kamu sayang sama aku? Apa selama ini semuanya hanya kebohongan belaka?"
Aku mulai kesal, "kenapa kamu datang saat aku udah sama yang lain sih, Vin?"
"Aku tahu kamu gak sebahagia itu sama Ilham! Aku mau kamu bahagia sama aku, Ra!"
"Tapi aku gak bisa, Vin.. Maafin aku.."
"Kenapa? Bukannya selama ini kamu nungguin aku? Semudah itu kamu lupain aku?"
Aku menggeram, entah apa yang ada di kepala si bodoh ini. "Aku sadar status gak selalu menunjukkan kebahagiaan. Status tidak berarti sebuah rasa. Aku ingin kebahagiaan yang sesungguhnya dari kamu, Vin! Bukan cuman status seperti apa yang Ilham berikan.."
Alvin mendengus, "jadi kamu sadar kan selama ini kamu cuman terbutakan oleh status?"
"Aku sadar Vin.. Status bukanlah segalanya. Rasanya seperti pembohong ketika punya status tanpa rasa.. Aku gak mau kamu kayak gitu, Vin. Aku gak mau nyia nyiain perasaanku.."
"Aku bangga sama kamu, Ra..." Ujar Alvin sembari memelukku yang menangis. Kurasa ini saatnya aku untuk mengakhiri segalanya.
Kebohongan kita tidak bisa dilanjutkan lagi, Ham..
***
"Kita berdua sama sama terluka sehingga terbawa perasaan ini." Ujarku sambil terisak. Ilham mengangguk pelan sembari menggenggam jemariku.
"Dan salahku terbawa suasana saat itu. Kamu begitu manis, Ra. Aku berharap kamu bisa membuatku melupakan Saras, tapi aku tidak bisa. Bahkan ketika Saras kembali pun, aku mempertahankan kamu bukan karena cinta, tapi aku tidak mau berlaku jahat dengan meninggalkan kamu begitu saja..." Jelas Ilham dengan tenang.
Aku tersenyum kecil, "aku sadar Ham.. Selama ini kita berdua hanya pura mencintai padahal tidak tahu makna mencinta. Kita terpatok pada sebuah status yang kita harapkan mendatangkan kebahagiaan."
"Dan tidak ada kebahagiaan yang datang.. Semuanya hanya kebohongan.. Maafkan aku Ra menyeretmu kesini..." Ujar Ilham sembari melepas genggaman tangannya. Dengan cepat aku menggenggam tangan Ilham lalu tersenyum.
"Ini juga salahku karena ikut terbawa suasana dengan kamu. Aku sekarang sadar kalo status bukanlah segalanya. Kebohongan ini cukup membuatku lebih menghargai perasaan."
Ilham tertawa, "jadi kita putus ya?"
"Putus? Emangnya pernah pacaran?" Tanyaku sambil ikut tertawa dengannya.
Kami berdua saling tertawa sambil berusaha menutup luka satu sama lain. Kali ini aku mengerti bahwa sebuah pertemuan tidak selalu menghasilkan sesuatu yang bahagia. Sebuah pertemuan selalu punya perpisahan yang menghasilkan makna. Entah itu manis ataupun tidak, pada saatnya nanti kamu tersadar, kamu akan bersyukur pada Tuhan bahwa kamu telah melewati segala kebodohan yang ada.
Kembali kepada Alvin tidak menjanjikan kebahagiaan kepadaku dan kembali pada Saras juga bukan pilihan sebenarnya untuk seorang Ilham. Kami berdua hanyalah dua orang yang patah hati dan berusaha membohongi diri untuk mencintai padahal belum siap sama sekali.
Seperti orang patah hati pada umumnya, mereka berusaha untuk pergi dan berpura pura bahagia, padahal hatinya tidak pernah berpaling dan tetap setia....
THE END
***
By: Rizki Rahmadania Putri
March 21st, 2015
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}