Breakeven chapter 6
"A broken heart is the worst. It's like having broken ribs; nobody can see it, but it hurts everytime you breathe.”
***
Jakarta, Februari 2013
"Tapi kamu tau kan aku gak mau jadi dokter, Bi? Aku sedang berusaha menyukainya, so please, jangan terlalu nuntut." Nada Abbyan mendadak berubah seperti setengah membentak dan tentu saja membuat Sabira yang duduk di hadapannya terpaku seketika. Cheese burger di tangan Sabira pun langsung ia taruh kembali di nampan yang ada di hadapannya.
Wajah Abbyan berubah menjadi merah padam, ia tampak kesal dan ini bukan kali pertamanya Sabira membuat Abbyan kesal karena topik yang sama; dokter. Sudah berkali-kali Abbyan berusaha menyembunyikan keraguannya untuk menjadi seorang dokter begitu pula sudah berkali kali Sabira merasakan hal tersebut dan menceramahi pacarnya itu. Hal itu jelas membuat Abbyan tidak nyaman dan belakangan sering sekali membentak Sabira.
“Aku cuman berusaha.. Membantu kamu. Ngerti gak sih?” Tanya Sabira agak kesal.
Abbyan mendengus pelan, “kamu menceramahi aku, Bia. Bukannya ngebantuin!”
“Yang kamu lihat di hadapanmu itu aku, seorang siswi yang banting tulang cari jalan untuk masuk kedokteran tanpa menyusahkan orang tua. Aku cari beasiswa untuk masuk UI bahkan dari hari pertama aku masuk SMA. Sedangkan kamu?” Suara Sabira mulai bergetar, “kamu seorang siswa yang didukung oleh orang tuanya untuk masuk jurusan Kedokteran. Kamu bisa masuk universitas mana saja tanpa harus terbebani masalah biaya dan izin orang tua. Apakah aku berlebihan kalo aku berharap kamu jauh lebih tulus menjalani semua ini?”
Abbyan hanya terdiam sambil melihat pacarnya yang mulai menangis di hadapannya. Dengan tangannya yang bergetar dan air matanya yang mulai menetes, Sabira meraih cheese burgernya lalu menggigit sedikit demi sedikit. Sambil mengunyah, ia bergumam, “aku sayang kamu, karena itu aku gak mau orang yang aku sayangi menjalani hidup yang enggak dia cintai. Gimana dia mau cinta sama aku kalo dia sendiri gak bisa mencintai kehidupannya?”
Abbyan berpaling lalu bergumam dan tersenyum lebar, “aku juga sayang kamu..”
***
“Oh kamu kelahiran Januari 1996?”
Sabira mengangguk kecil sembari membuka botol kemasan susu kedelai yang di bawa oleh Sam tadi untuknya. “Kalo kamu kelahiran 95 ya?”
“Saya 95 akhir, tapi masuk SD nya agak lebih cepat. Saya bulan November.”
“Aku gak perlu manggil kamu oppa dong ya? Hahaha, itu panggilan ke kakak laki-laki kalo di Korea. Maklum, anak kostan suka nonton drama Korea.”
Sam tertawa kecil, “adik saya juga suka nonton. Tapi kami jarang ketemu.”
“Lho? Kenapa jarang ketemu? Aku juga jarang ketemu sama Kila karena dia tinggal sama Ayah dan Bunda, aku ngekost di Depok.”
“Hm.. Mama dan Papa bercerai, pernikahan beda Agama. Jadi, ya begitu….”
Sabira menghentikan langkahnya, “maaf gak bermaksud-“
“Saya ikut Papa, kami menganut Kristen. Tapi Mama dan Gigi Muslim.”
“Oh… Kamu bukan Islam ya….” Sabira bergumam kecil.
Sam tertawa, “haha kenapa? Kamu gak mau pacaran beda agama?”
“Pertanyaan macam apa ini, Sam? Hahahaha. Keluargaku juga begitu, tapi Ayah masuk Islam saat menikahi Bunda. Tapi keluarga Ayah masih Kristiani, jadi buatku it’s not a big deal.”
Sam tidak menanggapi pernyataan Sabira, ia lalu berjalan dan diikuti oleh Sabira. Mereka berjalan menuju Asrama dengan botol minuman yang berada di tangan masing-masing. Sabira lalu berdehem, “kamu punya kakak?”
Sam menggeleng lalu tertawa kecil, "saya seneng kamu mulai ngomong lagi, sepanjang hari ini kamu diam terus. Kamu udah baik-baik aja?"
"Aku..." Sabira tertawa tiba-tiba, "gak tahu baik-baik saja itu seperti apa."
"Kalo boleh saya tau.. Ada apa antara kamu sama Abbyan?"
Sabira terdiam lalu berdehem, "hmmm oh iya! Aku punya, kakak cowok. But we havent met since 5 years ago. Dia pergi dari rumah dan gak ada kabarnya sama sekali.”
"Aku..." Sabira tertawa tiba-tiba, "gak tahu baik-baik saja itu seperti apa."
"Kalo boleh saya tau.. Ada apa antara kamu sama Abbyan?"
Sabira terdiam lalu berdehem, "hmmm oh iya! Aku punya, kakak cowok. But we havent met since 5 years ago. Dia pergi dari rumah dan gak ada kabarnya sama sekali.”
“Ohiya?" Sam terkejut Sabira tidak menanggapi pertanyaannya. Ia lalu bertanya, "kenapa?” Suara Sam terdengar cukup penasaran. Sabira pun melirik ke arah kanannya dan mendapati sebuah kursi taman yang kosong. Ia pun berjalan menuju kursi itu dan duduk di sana sementara Sam mengikuti dari belakang.
“Mas Majid gak mau jadi dokter, impiannya itu jadi pengusaha. Tapi Ayahku seorang lulusan farmasi, dia pengen anaknya jadi dokter. Kamu tahu bagaimana cerita orang yang dipaksa jadi seorang dokter? Di semester kedua nilai Mas Majid gak tertolong, padahal Ayah bela-belain menyekolahkan Mas Majid di universitas swasta, asal itu jurusan kedokteran. Pada dasarnya Mas Majid gak suka kedokteran, jadi dia gak menikmati kehidupannya, mengecewakan orang tuanya dan kehilangan keluarganya. Dia bahkan ninggalin Mba Okky gitu aja. Mereka udah pacaran 4 tahun.”
Sam meletakkan tangan kanannya di lengan Sabira lalu berkata, “kamu gak pernah ketemu sama dia?”
“Aku sudah mencari Mas Majid, tapi dia gak ada kabarnya…. Dan itu salah satu alasan kenapa aku berpisah sama Abbyan. Sudah dua tahun kami tidak pernah berhubungan lagi, aku yang memutuskannya sepihak. Aku selalu menanggap itu yang terbaik untuk dia, tapi sebenarnya aku cuman mau menyelamatkan diriku sendiri. Aku tidak mau kehilangan lagi.”
“Jadi itu yang membuat kamu sampai pingsan saat ketemu lagi sama Abbyan?”
Sabira tertawa kecil, “lebay kan ya? Hahaha selama ini aku merasa aku sudah melakukan yang terbaik. Tapi sebenarnya aku hanya orang jahat, aku menyakiti dia. Aku pengen minta maaf.. Tapi aku gak bisa…”
Sam tersenyum kecil, “kadang saking kita menyayangi seseorang, kita sampai lupa dan berakhir tidak peduli pada perasaannya untuk kita. Yang kita tahu hanya bagaimana perasaan kita tersampaikan pada orang yang kita sayangi..”
***
Marah.
Entah untuk alasan apa, Abbyan marah setengah mati melihat Sabira berjalan dengan Sam. Kenapa Sam terlihat seperti ingin mendekati Sabira? Apa sih yang membuat laki-laki itu tertarik pada mantannya? Abbyan menutup pintu kamar asramanya kencang-kencang bak sedang kesetanan. Untungnya Rayen dan Arul sedang tidak ada di kamar. Abbyan pun membuka tasnya dan melemparkan segala barangnya; binder, dompet, wifi, iPhone dan handphone cadangannya.
Untuk beberapa alasan khusus Abbyan memiliki dua handphone yang sebenarnya tidak terlalu penting, tapi ia melakukannya demi keamanan dunianya. Untuk urusan dengan orang orang terdekat, ia selalu memakai iPhone-nya. Namun kalau bicara tentang teman kampus yang tidak terlalu dekat, teman teman SMP-SMA, bahkan Yara sekalipun ia tempatkan di handphone keduanya. Abbyan melakukan itu supaya ia mempunyai alasan tersendiri apabila terlambat membalas pesan atau tidak mengangkat telpon.
Ia tidak suka kalau Yara mengiriminya chat setiap hari. Abbyan adalah tipe cowok yang mudah bosan, ia tidak bisa terus menerus berhubungan dengan satu orang. Ia butuh jeda dan hal hal pendukung lainnya supaya hubungannya tidak terasa hambar.
Namun kali ini Abbyan hilang kendali, ia membuka aplikasi linenya dan mengetik dengan cepat. Ia butuh pelampiasan.
***
Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, 2015
"Itu cakep yaa cakep.."
"Ih siapa tuh namanya?"
"Nayara, anak home schooling tuh. Tapi asli Purwokerto."
"Pindahan Jakarta ke Purwokerto kan pas SMA-nya?"
"Dia mentor grupnya sama siapa?"
"Panggilnya Yara, jangan Nayara. Dia gak terlalu suka."
"Manis sih, tapi jutek gak?"
Yara menghela napas cukup panjang setiap kali mendengar kakak kakak tingkat bahkan teman seangkatannya yang terus membicarakannya. Bagi Yara, menjadi pusat perhatian dan disukai oleh banyak orang adalah hal yang biasa walau sebenarnya Yara tidak terlalu menyukai hal itu.
Siang ini ketika makan jam makan siang, ada segerombolan kakak tingkat yang berdiri dekat dengan kelompok Yara. Semua teman teman sekelompok Yara sudah mulai merasa bahwa Yara sedang diincar oleh kakak tingkat mereka. Benar saja, beberapa saat setelah Yara selesai makan, kakak kakak itu mulai mendekati Yara. Yara yang tidak nyaman pun mengeluarkan gestur tanda penolakan.
"Kamu sukanya dipanggil Yara yah?" Tanya seorang kakak tingkat Yara yang berdiri di samping Yara. Yara hanya tersenyum kecil.
Kakak tingkat itu berseru, "tuhkan Ren, gue udah bilang sukanya dipanggil Yara!" lalu cowok yang bernama Reno itu maju mendekati Yara lalu menyodorkan handphonenya, "kalo gitu minta linenya Yara dong..."
"Sorry kak, saya jarang buka line."
"Masa sih 2015 jarang buka line? Idiiiih.."
"Jangan nolak gitu dong, Yaraaaaaaa!" Suara salah satu kakak tingkat itu terdengar lebih agresif.
"Duh, kampung! Berisik lo semua!" Tiba-tiba seorang cowok dari kerumunan mereka pun maju dan menarik mundur teman temannya satu persatu. Bak kesatria di kala perang, cowok itu menyelamatkan seorang gadis yang tidak berdaya. Mereka tampak adu mulut beberapa saat sampai akhirnya menyerah dan meninggalkan cowok itu sendirian.
"Maaf Nayara, teman teman saya emang kampung. Saya Abbyan, panggil saja Aby." Suaranya yang tegas membuat bulu kuduk Yara pun merinding. Yara tersenyum kecil.
"Gakpapa kok Mas Aby, mereka pasti cuman bercanda."
"Enggak, mereka emang suka sama kamu, tapi bisa jadi kamu cuman dijadiin mainan. Hati-hati ya, Nayara."
Abbyan lalu tersenyum dan berbalik meninggalkan Yara. Sementara gadis itu terpaku sambil melihat kepergian sang kesatrianya hari ini. Belum pernah Yara melihat seorang cowok yang melindunginya dari cowok cowok yang menggodanya, dan hebatnya cowok ini bahkan tidak mencoba untuk mengambil kesempatan mendapatkan perhatian lebih dari Yara.
Cowok bernama Abbyan itu berjalan semakin menjauh, namun Yara terus memperhatikan punggungnya yang terlihat gagah dari belakang. Ia tidak sadar kalau sejak pertemuan tidak terduga itu, ia bisa jatuh cinta untuk pertama kalinya...
Dering handphonenya membuat Yara tersadar dari lamunannya. Ia melirik handphonenya dan langsung menjerit ketika mendapati sebuah nama muncul di layar handphonenya.
"Kesatriaku!"
***
Abbyan memperhatikan layar handphonenya sambil berpikir keras.
Salah. Ini semua jelas jelas salah.
Yara selalu menyambut semua hal yang Abbyan lakukan padanya. Meskipun Abbyan telah memperlakukannya dengan kasar, Yara akan selalu memaafkan dan membuat Abbyan semakin merasa tersiksa. Namun dipikir berapa kalipun, Abbyan tidak pernah bisa jatuh cinta pada Yara. Padahal apa kurangnya gadis itu?
Setelah membalas beberapa kali, Abbyan merasa hampa. Bukan ini yang ia mau. Apa gunanya ia berlari ke Yara kalau hatinya ingin bicara dengan Sabira? Jelas saja ia tidak bisa mencintai Yara karena perasaan dalam hatinya untuk Sabira belum selesai. Hatinya jelas jelas masih penasaran, ia belum tau apa alasan Sabira meninggalkannya.
Namun untuk bicara dengan Sabira memerlukan tenaga yang luar biasa besar. Abbyan bisa saja kembali pada Sabira. Tapi Abbyan tidak menginginkan itu terjadi. Untuk apa ia kembali pada orang yang telah meninggalkannya begitu saja?
Abbyan menunduk kesal. Bagaimana mungkin Abbyan bisa membiarkan orang yang mencintainya sengsara karena hatinya yang masih saja dendam sakit hati pada seseorang yang dulu ia cintai?
***
"Hai kamu..." Suara Sam terdengar lirih. "Maaf, aku udah lama gak lihat wajah kamu. Kamu apa kabar?" Tanya Sam sambil duduk di kursi meja belajarnya dan memandang sebuah foto.
"Aku mau bilang.. Aku ketemu cewek kaya kamu. Ini bener bener kaya kamu. Dia ceroboh, dia sering jatoh, tapi dia punya rambut pendek yang selalu aku mau dari kamu tapi gak pernah kamu bolehin... Hahaha.."
Sam menghela napas, "kamu sekarang dimana? Kenapa gak ada satupun e-mailku yang kamu jawab?"
"Aku baik-baik saja.. Tapi sampai sekarang aku belum menemukan gadis yang kamu bilang; gadis yang pantas untuk aku cintai selain kamu...."
Tiba-tiba air mata Sam jatuh setetes demi setetes, "aku.. Aku salah. Aku tau aku egois, cuman mikirin perasaanku. Aku tau kamu udah usaha untuk sayang sama aku juga. Maafin aku, maaf untuk gak sempet minta maaf dan memperbaiki semuanya..."
"Tapi gadis ini juga merasakan hal yang sama denganku.. Aku ingin tau.. Apa menurut kamu.. Aku boleh membantu dia memperbaiki hubungannya dengan mantannya? Maksudku, aku gak mau ikut campur. Aku cuman gak mau dia merasakan apa yang aku rasakan..."
Tangan Sam bergetar lalu ia benar-benar mulai menangis, "karena aku tahu bagaimana rasanya hidup dalam penyesalan terdalam.. Saat kita telah melakukan kesalahan besar namun tidak sempat meminta maaf untuk mencoba memperbaikinya.."
To be continued...
Bikin penasaran lho... sepertinya harus baca dari awal :D
BalasHapusahahaha selamat membaca mba;)
Hapus