Breakeven chapter 9

HEHEHE.

Udah Senin ya? Mianhe..:(

***




"I tell everyone that I'm over you in hopes that it will be true one day. But the day I randomly meet you in the street is the day I realize.. I still love you."

***

Jakarta, November 2013

"Biaaa, lo udah solat ashar?" Tanya Nath dan Adel yang menghampiri meja Sabira. Namun Adel langsung menarik Nath mundur saat mendapati nada suara Abbyan yang duduk di samping Sabira terdengar meninggi. Sabira menoleh lalu menggeleng, "lo duluan aja boleh gak..." Sahut Sabira. Di sisi lain Abbyan tidak menoleh dan menyapa kedua temannya itu sama sekali.

Nath mengangguk cepat, "iya Bi, gue sama Adel duluan ya.." Mereka pun berbalik seiring Sabira mengangguk kecil. Meski sudah mulai berjalan menjauh, Sabira bisa mendengar Adel berkata, "berantem lagi ya?" pada Nath yang jelas jelas membuat hatinya terluka. Ia malu jika harus bertengkar dengan pacarnya dan di lihat oleh sahabat sahabatnya.

Di meja Sabira tergeletak hasil minat bakat yang baru saja dibagikan oleh bagian front office tempat bimbelnya. Ada dua kertas di meja itu, milik Sabira dan juga Abbyan. Di saat saat istirahat seperti ini, Abbyan yang biasanya duduk terpisah jauh dari Sabira sering menghampiri pacarnya untuk sekedar ngobrol. Mereka sudah tidak punya banyak waktu untuk bermain sejak kelas 12 apalagi saat kelas bimbel intensif mereka dimulai.

Tidak ada masalah dalam nilai Abbyan menuju fakultas kedokteran seperti yang telah direncanakannya, tapi masalah hati Abbyan masih saja menjadi fokus Sabira. Abbyan masih belum benar benar ingin menjadi seorang dokter.

"Sumpah, aku berusaha.. Tapi aku butuh waktu.. Tapi duh, kenapa sih.. Rasanya gak cocok aja gitu apa yang aku akan pelajari nantinya." Keluh Abbyan dengan wajah muram.
"Aby.. By kamu ngerti kan kenapa aku khawatir dengan ini.. Kedokteran itu bukan cuman masalah pinter, tapi apakah kamu mau nolong orang atau enggak. Tes minat bakat kamu aja menunjukkan kamu sama sekali gak tertarik jadi dokter, jadi kenapa sih kamu gak jujur aja sama orang tua kamu?"
Abbyan menghela napas, "kita udah bicarain ini berkali kali, Sabira. Kamu tahu cita cita Ayahku itu jadi dokter tapi berakhir jadi diplomat dan aku gak bisa nolak keinginan dia begitu aja. Apalagi Ayah udah tua dan dia pengen anaknya bisa ngerawat dia-"
"Kan ada aku, By.. Aku bakal jadi dokter, aku akan rawat orang tua kamu." Ujar Sabira.
"Emangnya kita bakal bareng bareng terus?" Tanya Abbyan sambil memalingkan pandangannya.

Sabira terdiam. Ia dan Abbyan sudah berpacaran hampir 4 tahun dan tidak pernah putus. Menurut Sabira, ia tidak ingin lagi memulai dengan orang lain karena hubungannya dengan Abbyan sudah kelewat nyaman. Tapi belakangan ini Abbyan selalu pesimis dan menganggap bahwa hubungan mereka akan berhenti di tengah jalan.

"Aku cuman berharap orang orang ngerti kalo aku butuh waktu untuk bisa serius dan menyukai ini. Bukannya aku gak usaha, kamu juga tau kok aku usaha. Tapi feelnya sampe sekarang belum dapet aja. Ayah pasti seneng kalo kamu jadi Dokter, tapi kalo kita pisah? Sabar lah, Sabira.. Jangan terlalu panik."
"Kok kamu gitu sih, By?"
"Ya aku ngomong realitanya aja."
Sabira mengigit bibirnya, "aku juga ngomong realita tentang kamu yang gak mencintai-"
"Di dunia ini gak semua orang bisa mencintai pekerjaannya kayak kamu, Sabira. Kamu satu dari seribu orang yang beruntung. Dan aku adalah 999 orang lainnya yang gak beruntung dan harus menjalani hidup yang sama sekali gak aku cintai. Udah deh, masalah otomotif dan menciptakan sesuatu lewat teknik biarkan jadi hobiku atau jadi kesukaanku semata. Gakpapa aku begini..." Suara Abbyan mulai bergetar. Sabira meraih tangan pacarnya itu.

"Apa aku salah kalo aku khawatir? Aku bukannya gak lihat usaha kamu, tapi dari apa yang ada di depan mata dan belakangan ini kamu ngeluh terus.. Gimana gak aku pesimis? Aku kan juga begini karena kamu minta aku selalu dukung kamu.."
Abbyan menggeleng, "tapi kamu seolah olah selalu meragukan aku, Sabira.."
"Bukannya meragukan, Abbyan...."
"Aku gakpapa kok, lama lama juga aku akan bisa ikhlas..."
"Kamu bisa bilang gakpapa, tapi aku bisa ngerasain kamu kenapa kenapa, By.. Jangan sampe kamu terjebak.. Aku udah liat Mas Majid hancur..."
"Ya kalo kamu sayang sama aku, kamu harusnya dukung aku dong, Bi! Udah deh!" Abbyan membentak Sabira lalu melepaskan tangan Sabira dan meninggalkan gadis itu. Gadis itu hanya terduduk sambil melihat Abbyan keluar dari ruangan les mereka dengan wajah merah karena marah.

Sabira bukannya tidak ingin mendukung Abbyan...

Ia selalu berusaha mendukung dan membantu Abbyan supaya bisa mulai menyukai apa yang ia pilih. Tapi menolong orang, bakti sosial dan berbicara manis pada orang lain sama sekali bukanlah Abbyan Mauza Xavier. Sabira hanya tidak ingin orang yang ia cintai harus terjebak pada sesuatu yang tidak ia cintai. Kalaupun dia tidak bisa memperjuangkan keinginannya untuk masuk jurusan teknik, setidaknya ia bisa mulai belajar menyukai kedokteran. Karena Sabira tahu menjadi seorang dokter bukan hanya masalah pintar atau tidaknya seseorang, tapi apakah dia bisa mencintai pekerjaannya atau tidak. Tapi Abbyan tidak pernah mengerti.

Awalnya Abbyan tidak sekasar ini. Ia masih mau berusaha apalagi Sabira juga ingin menjadi dokter. Tapi belakangan, terlalu sering Sabira menangis hanya untuk menyelamatkan masa depan Abbyan. Ia sendiri masih kelabakan untuk masuk PTN.

Ia hanya ingin Abbyan bisa belajar bertanggung jawab dan menyukai apa yang ia pilih supaya ia bisa mencintai apa yang akan dia kerjakan. Karena Sabira tidak ingin melihat orang yang ia sayangi harus hancur untuk kedua kalinya...

***

Jatinangor, 2016

Majid salah tingkah.

Ia duduk di hadapan Abbyan, mantan pacar adiknya setelah bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Majid memang kabur dari rumah karena ia tidak bisa menjalankan keinginan orang tuanya untuk menjadi seorang dokter. Jiwanya adalah sebagai pembisnis. Akhirnya Majid berusaha bekerja selama beberapa tahun dan awal tahun 2016 ini berhasil mendirikan cafe miliknya sendiri.

Sementara itu Abbyan hanya bisa melongo mendengar setiap patah kata yang keluar dari mulut Majid. Cowok itu memang terlihat kikuk dan tidak nyaman, tapi satu pertanyaan Abbyan tentang kabar Majid seakan akan menjawab segala pertanyaannya selama lima tahun belakangan ini. Majid akhirnya menceritakan kenapa ia meninggalkan keluarganya dan menghilang selama lima tahun.

Dari awal Majid tidak pernah menyukai ide sebagai dokter, namun saat Ayahnya sangat berharap akan putra sulungnya yang menjadi dokter, Majid pun tidak bisa melawan. Apalagi adik adiknya masih sangat kecil, ia tidak ingin adik-adiknya harus menjalani hidup yang tidak mereka sukai. Dari bangku SMA, Majid lebih tertarik pada dunia bisnis. Ia ingin mengambil kelas IPS tapi tidak dibolehkan. Akhirnya ia pun berjuang di kelas IPA dan berusaha masuk ke fakultas kedokteran beberapa Universitas Negeri. Namun karena ditolak, akhirnya Majid berkuliah di universitas swasta.

Majid berusaha keras, namun cintanya memang bukan di dunia kedokteran. Karena nilai IPKnya yang berantakan, Majid dimarahi habis-habisan dan berimbas pada ucapan Ayahnya yang melarang Sabira, adik pertamanya untuk menjadi seorang dokter. Padahal Majid tahu betul, Sabira sangat ingin menjadi dokter sejak ia aktif di dunia PMR.

Alih alih berusaha lagi, Majid memutuskan untuk pergi dari rumah dan berusaha bekerja untuk kemudian mendirikan usahanya sendiri. Karena ia mencintai apa yang ia lakukan, ia akhirnya bisa mendirikan cafe miliknya sendiri yang sudah ada di beberapa titik di kawasan Bandung.

Majid menghela napas, "selama ini saya gak pernah ketemu sama adik adik saya.. Kecuali Kila. Saya sering ketemu dia dan nanya gimana kabar rumah. Kalo ketemu Bia bisa kacau, dia orangnya terlalu panik dan khawatir, bakal ribet."
"Hahaha emang gitu karakternya." Abbyan tertawa kecil, "gimana Mas rasanya memperjuangkan mimpi Mas?"
"Saya senang, By.. Tapi kadang saya berharap bisa kembali ke 5 tahun yang lalu. Walau bagaimana pun saya hidup di dunia karena orang tua saya, saya menyesal kenapa tidak berusaha lebih keras dan terlalu  banyak mengeluh. Padahal bisnis bisa jadi sampingan seorang dokter."

Seakan akan mendengar cerita tentang dirinya sendiri, Abbyan langsung menyambar perkataan Majid. "Kalo saya mengeluhnya pas jaman SMA, jadi pas di kuliah sudah mulai bisa menerima keadaan kalo hidup saya akan berhubungan dengan manusia, bukan mesin."

"Kamu ikhlas ada disini sekarang, By?" Tanya Majid pelan.
Abbyan mengerutkan dahinya, "kamu ikhlas?"
"Kalo boleh jujur, awalnya saya gak ikhlas. Apalagi Sabira ninggalin saya, untuk alasan yang tidak pernah saya tahu. Mungkin sampai awal tahun ini saya masih berpikir bagaimana kalo dulu saya ambil teknik, apa saja! Yang penting teknik! Mungkin saya akan lebih bahagia lagi.."

"Kadang dalam hidup ini kita harus mau berkorban, By.. Kita tidak bisa memiliki segalanya." Ujar Majid. "Saya.. Untuk mengikuti apa yang saya cintai, saya kehilangan keluarga dan juga pacar saya. Namanya Okky. Saya meninggalkan Okky begitu saja, saya hanya bilang dia tidak akan bisa hidup dengan saya, karena saat itu saya cuman lulusan SMA dan belum tentu bisa berbisnis."

"Okky.. Okky akhirnya menyerah, walau akhirnya bertahan dan mencari saya." Majid tersenyum kecil, "tapi saya yakin, Okky bisa bahagia kalau dia bisa melepaskan saya. Seninya hidup adalah naik dan turun, datang dan pergi, menerima dan memberi, mengejar dan melepaskan.. Semua harus seimbang, menurut saya. Jadi walaupun sebenarnya saya kehilangan banyak hal, saya yakin hal hal baik akan tetap datang untuk menggantikan yang sudah tidak lagi ada.."

"Mas Majid gak kangen rumah?"
"Kangen.. Ibu akhirnya mengangkat telpon saya dan minta saya pulang. Setiap tahun saya masih telpon Ibu, tapi saya gak berani telpon Ayah. Saya ingin berusaha lebih keras supaya bisa pulang.. Ayah akan tetap marah, tapi setidaknya, saya membawakan berita yang baik untuknya -dan gak setengah setengah."

"Kenapa memilih pergi, Mas? Bukannya itu namanya kabur?"
"Saya menghilang, karena saya tahu saya tidak bisa memiliki semuanya dalam satu genggaman. Saya cukup egois untuk menukarkan orang orang yang saya cintai dengan apa yang saya cintai. Tapi kamu hebat.. Kamu bisa bertahan untuk sesuatu yang gak kamu cintai demi orang orang yang berharga di hidup kamu."

Abbyan jadi terbawa suasana dan mulai berbicara, "dua tahun saya ditinggalkan Bia tanpa alasan, sekalinya dia datang.. Dia bilang saya tidak mencintai hidup saya, Mas. Makanya Bia ragu, apa saya bisa mencintainya atau tidak. Mungkin dia sebenarnya tidak mau ikut susah dengan saya."

Majid tersenyum kecil, "terkadang saat kita merasa kita adalah korban, justru kita yang telah menjadi penjahat dalam ceritanya. Apa kamu gak sadar?"

***

Sam mengetuk pintu kamar Sabira sambil menenteng dua kaleng minuman bersoda. Bagaikan sebuah kebiasaan, Sam akan melakukan itu setiap kali bertemu dengan Sabira. Beberapa saat kemudian gadis dengan sweater tosca keluar dari kamar tersebut sambil berusaha tersenyum untuk menyembunyikan raut wajahnya yang kelelahan. Ia lelah bukan hanya disebabkan oleh perjalanan panjang hari ini, namun ia menenggelamkan wajahnya di antara bantal dan menangis seketika iPod-nya mulai memutarkan lagu lagu mellow.

"Dia pegang tangan aku." Ujar Sabira ketika Sam dan dirinya sudah duduk di kursi balkon asrama. Sam menoleh lalu menggerutu, "saya aja belum pernah."
Sabira tertawa kecil, "makasih ya Samuel, kamu udah membuat sedemikian rupa biar aku bisa ngobrol sama dia lagi. Tapi kayaknya gak bisa deh. Sekedar jadi temen aja sulit, gimana aku harus ngebahas yang lalu dan minta maaf?"
"Semua juga butuh waktu, dulu juga kamu ninggalin dia ada prosesnya kan? Butuh waktu kan? Saya gak mau kamu yang punya kesempatan malah menyia-nyiakannya seperti itu."
"Tapi akhirnya tadi aku bilang sih.. Alasan aku kenapa ninggalin dia."

Sam menoleh ke arah Sabira, "terus dia bilang apa? Itu kan nyakitin banget -menurut saya sih. Apalagi alasan kamu takut dia gak bisa mencintai kamu karena dia gak mencintai kehidupannya sendiri."
"Sebenernya aku cuman takut sih... Aku takut dia gagal di depan mataku. Aku sayang dia dan aku gak mau lihat orang yang aku sayang gagal lagi. Aku egois ya?"
Sam mengangguk, "sangat."
"Kamu juga egois kali!" Seru Sabira kesal. "Kamu juga memaksa cewek itu buat menerima kamu, padahal kamu tau dia gak bisa sayang sama kamu lebih dari sahabat!"
"Berisik!" Sam mencubit pipi Sabira. "Kamu masih sayang sama dia?" Tanya Sam pelan.
Sabira hanya diam sambil mengangguk kecil.
"But if there's no way to go back..."
"Kamu juga masih sayang sama cewek itu?"
"Selalu." Jawab Sam yakin, "karena dia sahabat saya. Saya ingin memiliki dia karena saya takut kehilangan dia, taunya dia malah ninggalin saya karena saya sendiri."
"Hmmm.."

Sam berbisik, "Sabira.."
"Apa?"
"Kalo ternyata, pada akhirnya, kamu gak berjodoh sama dia...."
"Kok tiba tiba udah gak berjodoh aja? Aku aja gak tahu apa tujuan Tuhan dan alam semesta ini mempertemukan aku sama dia lagi pas aku lagi berusaha menghilangkan bayangan dia."
"Makanya aku tanya pake kalo." Jawab Sam kesal.
"Lho?" Sabira tersentak kaget, "kamu bilang aku tadi?"


Sam tidak menggubris pertanyaan Sabira. Ia langsung berkata, "ada kemungkinan gak kamu jadi pacar aku?"

***

Abbyan sampai di asrama sekitar pukul 12 malam. Jelas ia terkena sanksi oleh kepala asrama karena pulang terlambat. Tapi percakapannya dengan Majid hari ini membuatnya berpikir, ia seharusnya bicara dengan Sabira dan meluruskan semuanya.

Ia merasa bersalah mengingat dirinya menjadi beban pikiran untuk Sabira. Abbyan sering kali mengeluh, membuat perencanaan masa depan, lalu mengeluh lagi dan membuat Sabira kecewa. Ditambah Abbyan yang dulu sering berlaku kasar pada Sabira jelas menjadi salah satu faktor untuk gadis itu ingin meninggalkan Abbyan. Apalagi pada saat kerenggangan hubungan mereka, Sabira juga sedang panik karena ia harus mendapatkan FK di PTN.

Abbyan merasa bersalah. Ia yang menyebabkan dirinya sendiri dicampakkan oleh gadis yang ia sayangi. Tapi.. Tapi tunggu. Sabira juga bersalah.

Tidak seharusnya Sabira memutuskannya sebelah pihak. Kenapa Sabira tidak bicara baik baik dengannya? Apakah hubungan mereka dari SMP tidak cukup untuk membuat Sabira dan Abbyan bisa bertahan?

Abbyan harus bicara dengan Sabira! Tapi.. Tapi Sam...

Menurut pengelihatan Abbyan, ia yakin betul Samuel Althavano, ketua BEM UNPAD yang seharusnya akan lengser semester depan itu benar benar menyukai Sabira. Menurutnya kata tertarik tidak lagi cukup mengingat percakapannya dan Sam sekitar jam 7 malam tadi di parkiran asrama. Sam jelas jelas mengincar Sabira dan entah dari mana ia bisa menyadari bahwa Abbyan bisa jadi penghalang untuknya.

Abbyan pun memutar otak untuk berbaikan dengan Sabira dan berusaha menyingkirkan Sam. Tapi ia tidak yakin kalau Sabira tidak tertarik juga pada Sam mengingat cara bicara Sabira seolah-olah Abbyan adalah orang asing untuknya. Beberapa saat kemudian Abbyan menyerah berpikir dan bersiap untuk tidur sementara Rayen dan Arul tampaknya sudah tidur duluan. Abbyan mengaktifkan alarm di handphonenya lalu bergegas masuk ke dalam selimut abu-abu yang berada di tempat tidurnya. Namun saat ia ingin memejamkan matanya, pintu kamarnya terketuk beberapa kali. Bulu kuduk Abbyan berdiri.

"Rul, buka woy sana, ngantuk gue." Sahut Abbyan sambil melemparkan guling ke arah Arul. Cowok itu bergerak gerak menolak, "bersik, Xavier!"

Pintu kamar tersebut terus di ketuk sampai akhirnya Abbyan bangkit dari tidurnya dan melirik jam dindingnya. Pukul 1 lebih 35 menit, siapa sih berisik amat buset?

Abbyan pun berjalan ke arah pintu lalu membukanya dengan lunglai. Seketika ia pun kaget saat mendapati seseorang yang tidak ingin ia temui malah berdiri di depan kamarnya dengan 2 koper dan satu tas jinjing. 

"Mas Abyyyyyyyy! Yara dateng lhooooo, kemaleman nih, parah keretanya."


Abbyan mengerutkan dahinya, gimana caranya gue baikan sama Sabira kalo cewek ini muncul?!



To be continued...

Tidak ada komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.