[FLASH FICTION] Menunggu Tanpa Ditunggu
I can't understand him.
Satu-satunya hal yang terlintas di benakku kala aku melihat sikapnya beberapa hari belakangan ini. Bukan, bahkan bukan lagi hari sebagai hitungannya. Sudah hampir tiga bulan, waktu yang cukup panjang untuk memaklumi keadaan seperti ini. Aku tahu kesibukannya sebagai seorang pekerja di media massa bukanlah hal yang mudah, aku sudah tahu konsekuensinya. Tapi tunggu, bagaimana jika hanya kamu yang mengerti dia tapi dia tidak mengeluarkan usaha sedikitpun untuk mengerti kamu?
Dengan kesibukanku yang sama padatnya di perusahaan agensi periklanan yang cukup ternama di Jakarta membuatku mencoba maklum kepada keadaanku dan Dion yang seperti ini. Di usia hubungan kami yang sedang memasuki tahun ketiga, sudah sewajarnya jika kami merasa lebih dewasa untuk menyikapi kejadian kejadian seperti tidak bisa pergi karena ada lembur, meeting mendadak yang membuat reservasi di restoran kesukaan kami hangus atau bahkan weekend yang berakhir dengan sebuah pesan, "aku capek banget, kita ketemu besok aja ya, atau kamu yang samperin aku ke kantor."
Aku mencoba mengerti Dion yang sedang menuju puncak kariernya. Aku mencoba mengerti hidupnya yang bahkan di hari Sabtu dan Minggu, ketika biasanya sebuah pesan manis serta mobilnya yang sudah menungguku di depan pagar adalah obat rindu setelah seminggu yang sangat hectic, ketika Dion tidak lagi menelpon setiap malamnya. Dulu Dion masih menyempatkan diri untuk sekedar menelponku 30 sampai 1 jam, sekedar menanyakan kabar dan bertukar cerita. Setelah itu ia lebih memilih dengan chat, durasinya pun semakin lama semakin terbatas. Dari 1 jam, 30 menit, 15 menit, 5 menit dan Dion pun berakhir dengan hilang seharian.
I've tried to understand him.
Aku menunggunya sampai pulang ke rumah, aku menunggu bahkan hanya sekedar untuk tahu apakah ia makan siang dengan baik atau tidak. Aku menunggu kabar, hanya kabar dan aku tidak menuntut apa-apa lagi. Tapi memberikan kabar mungkin hal yang berat untuk Dion Cakra Wijaksana, sehingga ia selalu berdalih, "aku mungkin buka HP, tapi aku gak bisa balesin chat kamu."
Aku mengerti tentang kesibukannya, karena aku pun sibuk. Tapi belakangan, kenapa hanya aku yang berusaha? Kenapa aku duduk termenung jam 2 malam dan bertanya-tanya apakah dia masih bangun atau benar benar tenggelam dalam pekerjaannya sampai membalasku saja tidak bisa? Apakah handphonenya rusak? Atau tidak ada sinyal di kantornya?
Dion dan dunianya... Terlalu luas, terlalu rumit, tidak bisa aku mengerti. Meskipun aku mencoba mengerti, tapi Dion tidak membuatnya menjadi mudah. Aku sering terjaga untuk menunggu pesannya namun ia tidak kunjung datang juga. Aku kehilangannya bahkan ketika aku sangat membutuhkannya. Seringkali aku merasa sendirian lalu berakhir dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh nan sarkastik yang kutujukan pada diriku sendiri, "sejak kapan untuk bahagia saja aku harus menunggu kehadiran orang lain?"
Dion dan dunianya... Jelas jelas ingin aku pahami. Setiap aku meminta untuk dikabari jika terlalu sibuk, Dion berdalih bahwa aku sudah tahu kesibukannya, lalu kenapa aku masih saja bertanya? Dion ingin aku pahami, tapi terkadang Dion sendiri yang tidak bisa dipahami.
Dion dan dunianya... Membuatku frustasi. Membuatku mencoba mengerti sesuatu yang ingin dimengerti, namun diriku sendiri tidak pernah dimengerti olehnya. Membuatku menunggu sesuatu yang kurasa layak untuk ditunggu, namun diriku sendiri tidak pernah ditunggu olehnya.
I've been thinking about this...
Mungkin aku terlalu membutuhkan Dion karena terbiasa dengannya... Tapi Dion tidak terlalu membutuhkanku karena untuk seorang Dion Cakra Wijaksana, aku, Marcella Savira Jacinda, bukanlah bagian besar dalam hidupnya?
Lalu apa gunanya menunggu sesuatu yang tidak ingin ditunggu?
Satu-satunya hal yang terlintas di benakku kala aku melihat sikapnya beberapa hari belakangan ini. Bukan, bahkan bukan lagi hari sebagai hitungannya. Sudah hampir tiga bulan, waktu yang cukup panjang untuk memaklumi keadaan seperti ini. Aku tahu kesibukannya sebagai seorang pekerja di media massa bukanlah hal yang mudah, aku sudah tahu konsekuensinya. Tapi tunggu, bagaimana jika hanya kamu yang mengerti dia tapi dia tidak mengeluarkan usaha sedikitpun untuk mengerti kamu?
Dengan kesibukanku yang sama padatnya di perusahaan agensi periklanan yang cukup ternama di Jakarta membuatku mencoba maklum kepada keadaanku dan Dion yang seperti ini. Di usia hubungan kami yang sedang memasuki tahun ketiga, sudah sewajarnya jika kami merasa lebih dewasa untuk menyikapi kejadian kejadian seperti tidak bisa pergi karena ada lembur, meeting mendadak yang membuat reservasi di restoran kesukaan kami hangus atau bahkan weekend yang berakhir dengan sebuah pesan, "aku capek banget, kita ketemu besok aja ya, atau kamu yang samperin aku ke kantor."
Aku mencoba mengerti Dion yang sedang menuju puncak kariernya. Aku mencoba mengerti hidupnya yang bahkan di hari Sabtu dan Minggu, ketika biasanya sebuah pesan manis serta mobilnya yang sudah menungguku di depan pagar adalah obat rindu setelah seminggu yang sangat hectic, ketika Dion tidak lagi menelpon setiap malamnya. Dulu Dion masih menyempatkan diri untuk sekedar menelponku 30 sampai 1 jam, sekedar menanyakan kabar dan bertukar cerita. Setelah itu ia lebih memilih dengan chat, durasinya pun semakin lama semakin terbatas. Dari 1 jam, 30 menit, 15 menit, 5 menit dan Dion pun berakhir dengan hilang seharian.
I've tried to understand him.
Aku menunggunya sampai pulang ke rumah, aku menunggu bahkan hanya sekedar untuk tahu apakah ia makan siang dengan baik atau tidak. Aku menunggu kabar, hanya kabar dan aku tidak menuntut apa-apa lagi. Tapi memberikan kabar mungkin hal yang berat untuk Dion Cakra Wijaksana, sehingga ia selalu berdalih, "aku mungkin buka HP, tapi aku gak bisa balesin chat kamu."
Aku mengerti tentang kesibukannya, karena aku pun sibuk. Tapi belakangan, kenapa hanya aku yang berusaha? Kenapa aku duduk termenung jam 2 malam dan bertanya-tanya apakah dia masih bangun atau benar benar tenggelam dalam pekerjaannya sampai membalasku saja tidak bisa? Apakah handphonenya rusak? Atau tidak ada sinyal di kantornya?
Dion dan dunianya... Terlalu luas, terlalu rumit, tidak bisa aku mengerti. Meskipun aku mencoba mengerti, tapi Dion tidak membuatnya menjadi mudah. Aku sering terjaga untuk menunggu pesannya namun ia tidak kunjung datang juga. Aku kehilangannya bahkan ketika aku sangat membutuhkannya. Seringkali aku merasa sendirian lalu berakhir dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh nan sarkastik yang kutujukan pada diriku sendiri, "sejak kapan untuk bahagia saja aku harus menunggu kehadiran orang lain?"
Dion dan dunianya... Jelas jelas ingin aku pahami. Setiap aku meminta untuk dikabari jika terlalu sibuk, Dion berdalih bahwa aku sudah tahu kesibukannya, lalu kenapa aku masih saja bertanya? Dion ingin aku pahami, tapi terkadang Dion sendiri yang tidak bisa dipahami.
Dion dan dunianya... Membuatku frustasi. Membuatku mencoba mengerti sesuatu yang ingin dimengerti, namun diriku sendiri tidak pernah dimengerti olehnya. Membuatku menunggu sesuatu yang kurasa layak untuk ditunggu, namun diriku sendiri tidak pernah ditunggu olehnya.
I've been thinking about this...
Mungkin aku terlalu membutuhkan Dion karena terbiasa dengannya... Tapi Dion tidak terlalu membutuhkanku karena untuk seorang Dion Cakra Wijaksana, aku, Marcella Savira Jacinda, bukanlah bagian besar dalam hidupnya?
Lalu apa gunanya menunggu sesuatu yang tidak ingin ditunggu?
Jakarta, 22 Mei 2017
I've been listening this song since you've been gone;
Dia Tak Cinta Kamu - Gloria Jessica
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}