Unexpected Feelings #1 : Couldn't More Than This
Entah
siapa yang menarik diri –entah siapa yang memilih untuk tidak lagi terlalu
terlibat antara satu dan yang lainnya. Tapi satu hal yang aku tahu pasti; aku
berada di masa ketika orang terdekatku berubah menjadi orang yang tidak aku
kenal sama sekali. Mungkin aku yang terlalu berlebihan, atau memang dunianya
menjadi terlalu besar untuk sekedar datang ke dunia kecilku yang berantakan,
atau bahkan duniaku terlalu kecil untuk menempati bagian terdekat dari inti
kota di dunianya.
Sebelum aku benar – benar tersadar,
aku sudah berdiri di bagian terjauh di dalam dunianya. Seperti mempelajari Cultural Studies dengan fakta bahwa hegemoni sedang terjadi di mana
mana; ketika kelompok dominan akan mempergunakan media sebagai alat untuk
mempengaruhi secara paksa kelompok yang lemah. Aku berubah menjadi seseorang
yang tidak mengerti situasi menjadi seseorang yang lebih mawas diri. Tatkala ia
sibuk dengan dunianya, yang aku lakukan hanya duduk di duniaku, memperhatikannya
lewat media dan mencoba menyerap fakta bahwa dia terlalu sibuk hanya untuk
menanyakan kabar.
Padahal aku selalu bertanya
tentangnya, tapi tampaknya aku tidak lagi cukup penting untuk sekedar
mendapatkan pertanyaan sapaan bahkan sekedar basa – basi belaka. Ada kalanya di
mana ia sadar rasa rindu ini, ia mencoba untuk menarikku masuk ke dunianya,
tapi terkadang dia tidak cukup memberiku ruang untuk mengerti dunianya.
Dunianya terlalu luas untuk sekedar
menerimaku, atau duniaku terlalu kecil untuk kehidupannya?
Pertanyaan itu terus muncul apalagi
ketika setiap hari aku berhakhir menjadi seseorang yang menunggu; menunggu
kabar, menunggu update-an Instagram, menunggu untuk sekedar tahu dia di mana.
Aku tahu dia sibuk, tapi sekedar
untuk bicara, apa terlalu sibuk?
Jika iya, apakah terlalu sulit untuk
bicara dan memberi pengertian?
Lalu suatu malam kami bicara di
telpon, rasanya hanya satu dua kali dia benar benar melakukan interaksi sosial
itu. Selebihnya kami berubah menjadi sebuah interview antar artis dan
wartawannya; bahkan sang artis terlalu sibuk untuk sekedar bertanya apa tujuan
dari pertanyaan pertanyaan yang ia dapat.
Mungkin jika kita bicara tentang Expectacy Violations Theory, kita akan
menemukan fakta bahwa ada masanya di mana manusia ingin melakukan afiliasi
(pendekatan dengan sesama) dan membutuhkan personal
space jauh lebih besar daripada biasanya. Setiap malamnya sebelum aku
tertidur, aku berusaha meyakini bahwa dunianya yang menjadi besar membutuhkan personal space yang jauh lebih besar
daripada biasanya. Aku mencoba mengerti, dan mencoba, dan mencoba.
Okay, tampaknya dia jahat. Tapi dia
tidak sejahat yang kamu bayangkan. Dia akan ada pada saat di mana aku benar
benar membutuhkannya. Dia tidak lagi mengurusi masalah masalah kecilku –bahkan
aku cenderung sudah bisa menyelesaikan masalahku sendiri tanpa harus bergantung
dengannya.
Dia dan segala kesibukannya adalah
kebahagiaan yang tidak bisa aku ungkapkan.
Melihatnya bisa melakukan banyak hal
yang belum bisa aku lakukan, melihatnya menyelesaikan segala pekerjaannya,
melihatnya bisa profesional antara aku dan pekerjaannya, melihatnya bisa
membagi waktunya untuk tetap berfokus pada pendidikannya namun masih melakukan
banyak hal hal menyenangkan…
Dia butuh ruang jauh lebih besar
untuk segala hal baru di hidupnya.
Ketika orang mempunyai kegiatan baru
dalam hidupnya, ia akan mulai menyusun prioritas dalam kesehariannya. Dan aku
menjadi nomer kesekian setelah pekerjaan, keluarga dan teman – temannya yang
lain. Itu bukan sesuatu yang harus dikeluhkan, karena nyatanya dia bukan
prioritasku lagi. Tapi aku masih selalu
berusaha untuk memberikan waktu yang sama padanya.
Hanya saja dia bukan lagi lelaki
yang ku kenal.
Malam itu akhirnya aku bisa bicara
lebih lama daripada 3 minggu sebelumnya. Aku bicara, berusaha membagi duniaku
yang tidak lagi dia pedulikan, berusaha memahami dunianya yang tidak bisa aku
pahami seutuhnya. Tapi rasanya berbeda, dia bukan dia.
Pernahkah kamu ada di saat di mana
kamu seharusnya sebegitu bahagianya bisa bicara dengan seseorang yang sangat
penting untukmu namun dia berubah menjadi orang yang tidak kamu kenali sama
sekali?
Jika tidak pernah, kamu beruntung.
Mungkin belum.
Jika pernah, ya, aku pun sedang
merasakannya.
Dia mungkin lelaki yang sama, tapi
dia bukan lagi dia yang sama.
Aku merasa asing, seasing itu untuk
bicara dengannya.
Lalu banyak rasa kecewa bermunculan.
Dia bahkan tidak peduli apa yang aku lakukan kala aku selalu memberikan dia
perhatian yang sama. Dia bahkan tidak lagi membagi dunianya bahkan ketika aku
memberikan porsi yang sama dalam hidupku.
Berbicara dengannya berubah menjadi
sebuah ketakutan, sebuah paksaan karena tidak ingin ada jarak lebih jauh lagi.
Berbicara dengannya tidak lagi semenyenangkan dulu, tidak tahu bagaimana
responnya nanti, tidak lagi mendengar celotehnya yang sama.
Dia asing.
Dia asing di duniaku yang masih
sama.
Dia asing bahkan di dunianya.
Dia asing untuk sekedar tahu di mana
lokasiku di dunianya.
Dia asing bagiku.
Memang ada kalanya kamu harus
menerima personal space yang
terbangun dalam dunia seseorang. Namun ketika sebuah perubahan terjadi terlalu
tiba – tiba, bahkan terjadi di saat kamu tidak sempat mengantisipasinya, siapa
yang lebih terluka?
Dia yang berubah atau kamu yang
masih bertahan pada kebiasaan lama?
Aku masih ingat malam itu aku
berkata, “couldn’t miss you more than this.”
“Unch!” Ucapnya secara tiba – tiba,
seakan akan sadar bahwa memang untuknya.
Aku sedikit mengeluh, maaf, “makanya
jangan terlalu sibuk.”
“Hahaha.” Dia tertawa kecil, “tunggu
Juni ya.”
Faktanya, ini bulan Juni dan dia
tidak kembali.
June 1st 2017
-->
Rindu
itu nyata, tapi kamu menjadi fana.
Masihkah ada harapan kamu menjadi nyata, ah..
BalasHapusHAHAHAHA:"
Hapus