[FLASH FICTION] I heard your voice
Rasanya asing untuk menyebutkan namamu.
Bukan lagi suatu hal yang tabu bila jarak di antara kita sudah semakin terlihat garis pembatasnya. Tidak lagi bicara tentang warna abu abu, tapi pembatas tersebut mulai menampakkan warna aslinya. Aku menghindari bahasan tentang kamu, tapi dunia dan alam semesta ini jahat sekali. Bahkan melihat orang orang yang lalu lalang mengantre di depan dan belakangku sembari sibuk mengurusi skripsinya saja hanya mengingatkan aku padamu.
Kita melewati 4 kali sesi yang sama, di mana di dua kali akhir semester kamu tidak pernah ada. Kamu selalu hilang bak tenggelam di samudra terdalam, terbawa badai dan entah hilang ke mana arahnya. Namun yang menyakitkannya adalah setiap kali aku bilang bahwa aku baik baik saja, seakan dunia tidak pernah mengizinkanku untuk benar benar merasakan itu. Ada saja yang menyebut namamu, bicara tentang kegiatanmu atau mengumbar kebaikanmu. Celakanya, jika secara langsung maupun tidak langsung kamu berputar putar dalam duniaku hanya membuat aku semakin menyesal akan kepergianmu.
Jika orang bertanya tentang perasaanku kini, berdiri di tengah para mahasiswa yang sedang skripsi sedangkan aku hanya ingin mencetak makalahku dalam bentuk hardcopy, aku merasa kecewa. Bukan kecewa karena antrean ini tidak kunjung selesai saking banyaknya, namun karena mungkin saja di posisi yang sama aku tidak bisa menemani kamu, bahkan kamu tidak ada untuk menemaniku jika waktuku tiba nanti. Tapi dunia ini rasanya seperti program TV komedi dengan penuh kejutan, ada saja hal hal yang membuatku teringat lagi padamu ketika seisi dunia berkata kamu bukanlah orang yang tepat untukku.
Mereka bilang jika kamu menyayangi seseorang sudah sepantasnya kamu rela untuk melihat dia pergi demi kebahagiaannya. Namun kenapa melepaskanmu tidak semudah melepaskan yang sebelum-sebelumnya?
Aku menerima tantangan dunia dengan duduk di hadapanmu dan tertawa bahagia. Aku berusaha menatap matamu dan berkata, "aku bahagia kok walau kamu gak ada." Namun tantangan semakin rumit saat matamu terus berlari tak tentu arah, mencoba mengalihkan seisi jagad raya untuk tidak mempertemukan kita pada percakapan yang sama.
Ku dengar kata orang kita siap melepaskan seseorang bukan hanya perkara bisa mengatakan "aku sudah selesai dengan dia." Tapi ketika kita bisa menatap matanya, mendengar tawanya, masuk dalam celotehannya dan tetap berkata, "ini bukan apa yang aku mau lagi." Aku bersugesti, kamu bukan apa yang aku mau lagi. Sampai suara itu terdengar dan lututku mendadak lemas, kok ada kamu di kampus jam segini?
Temanku yang mengantre di hadapanku langsung menatapku. Kami berdua sama sama bicara lewat mata ke mata. Jelas sekali suara itu adalah suara yang selama ini tidak lagi menelponku tengah malam. Aku masih ingat suara itu, aku masih ingat suara kamu.
Shella berbisik, "itu tadi dia, Mel?"
"Hah?"
"Itu dia?"
"Kenapa?"
"Lo denger suara Daniel kan?"
"Ah.. Gue kira gue doang yang denger."
"Kok ada Daniel? Lo mau ketemu dia?"
"Hah?"
"Lo kangen Daniel ya, Mel?"
Suara itu jelas, jelas sekali. Bahkan rasanya ingin berlari meninggalkan antrean ini untuk melihat kamu, walau hanya sekejap, walau hanya untuk memastikan kamu baik baik saja. Shella menggeleng, "enggak, lo gak ngigau kok. Gue juga denger suaranya.."
Lalu aku berbalik dan terdiam sambil berbisik pada Tuhan dan alam semesta, bila kamu bukanlah orang yang baik dalam hidupku, lalu kenapa seisi duniaku tertuju padamu bahkan saat kita tidak lagi seperti dulu?
Kenapa kita bertemu bila akhirnya dipisahkan?
Apakah mengingat kamu adalah cara terbaik untuk melupakan kamu?
Bukan lagi suatu hal yang tabu bila jarak di antara kita sudah semakin terlihat garis pembatasnya. Tidak lagi bicara tentang warna abu abu, tapi pembatas tersebut mulai menampakkan warna aslinya. Aku menghindari bahasan tentang kamu, tapi dunia dan alam semesta ini jahat sekali. Bahkan melihat orang orang yang lalu lalang mengantre di depan dan belakangku sembari sibuk mengurusi skripsinya saja hanya mengingatkan aku padamu.
Kita melewati 4 kali sesi yang sama, di mana di dua kali akhir semester kamu tidak pernah ada. Kamu selalu hilang bak tenggelam di samudra terdalam, terbawa badai dan entah hilang ke mana arahnya. Namun yang menyakitkannya adalah setiap kali aku bilang bahwa aku baik baik saja, seakan dunia tidak pernah mengizinkanku untuk benar benar merasakan itu. Ada saja yang menyebut namamu, bicara tentang kegiatanmu atau mengumbar kebaikanmu. Celakanya, jika secara langsung maupun tidak langsung kamu berputar putar dalam duniaku hanya membuat aku semakin menyesal akan kepergianmu.
Jika orang bertanya tentang perasaanku kini, berdiri di tengah para mahasiswa yang sedang skripsi sedangkan aku hanya ingin mencetak makalahku dalam bentuk hardcopy, aku merasa kecewa. Bukan kecewa karena antrean ini tidak kunjung selesai saking banyaknya, namun karena mungkin saja di posisi yang sama aku tidak bisa menemani kamu, bahkan kamu tidak ada untuk menemaniku jika waktuku tiba nanti. Tapi dunia ini rasanya seperti program TV komedi dengan penuh kejutan, ada saja hal hal yang membuatku teringat lagi padamu ketika seisi dunia berkata kamu bukanlah orang yang tepat untukku.
Mereka bilang jika kamu menyayangi seseorang sudah sepantasnya kamu rela untuk melihat dia pergi demi kebahagiaannya. Namun kenapa melepaskanmu tidak semudah melepaskan yang sebelum-sebelumnya?
Aku menerima tantangan dunia dengan duduk di hadapanmu dan tertawa bahagia. Aku berusaha menatap matamu dan berkata, "aku bahagia kok walau kamu gak ada." Namun tantangan semakin rumit saat matamu terus berlari tak tentu arah, mencoba mengalihkan seisi jagad raya untuk tidak mempertemukan kita pada percakapan yang sama.
Ku dengar kata orang kita siap melepaskan seseorang bukan hanya perkara bisa mengatakan "aku sudah selesai dengan dia." Tapi ketika kita bisa menatap matanya, mendengar tawanya, masuk dalam celotehannya dan tetap berkata, "ini bukan apa yang aku mau lagi." Aku bersugesti, kamu bukan apa yang aku mau lagi. Sampai suara itu terdengar dan lututku mendadak lemas, kok ada kamu di kampus jam segini?
Temanku yang mengantre di hadapanku langsung menatapku. Kami berdua sama sama bicara lewat mata ke mata. Jelas sekali suara itu adalah suara yang selama ini tidak lagi menelponku tengah malam. Aku masih ingat suara itu, aku masih ingat suara kamu.
Shella berbisik, "itu tadi dia, Mel?"
"Hah?"
"Itu dia?"
"Kenapa?"
"Lo denger suara Daniel kan?"
"Ah.. Gue kira gue doang yang denger."
"Kok ada Daniel? Lo mau ketemu dia?"
"Hah?"
"Lo kangen Daniel ya, Mel?"
Suara itu jelas, jelas sekali. Bahkan rasanya ingin berlari meninggalkan antrean ini untuk melihat kamu, walau hanya sekejap, walau hanya untuk memastikan kamu baik baik saja. Shella menggeleng, "enggak, lo gak ngigau kok. Gue juga denger suaranya.."
Lalu aku berbalik dan terdiam sambil berbisik pada Tuhan dan alam semesta, bila kamu bukanlah orang yang baik dalam hidupku, lalu kenapa seisi duniaku tertuju padamu bahkan saat kita tidak lagi seperti dulu?
Kenapa kita bertemu bila akhirnya dipisahkan?
Apakah mengingat kamu adalah cara terbaik untuk melupakan kamu?
Jakarta, 3 Agustus 2017
Random adalah ketika ada suara kamu,
ketika aku berusaha untuk lupain suara itu.
Jadi keinget ama gebetan saya.. xD
BalasHapusNemu org dirasa pas, tapi gabisa bersama itu sesuatu sih..
Hahahaha, rasanya miris ya udah sayang tapi gak bisa bareng;)
HapusKenapa kita bertemu bila akhirnya dipisahkan?
BalasHapuskarena Tuhan ingin kita saling memantaskan sebelum kembali dipertemukan.
Ya, itu yang saya yakini selama ini. Wkwkwk
Hahahaha itu juga yang saya yakini, semoga saja dia yang baik ya;)
HapusKenapa kita bertemu bila akhirnya dipisahkan?
BalasHapusUhhh dalam banget mbak....
Salam kenal ya mbak..
Hehehehe, salam kenal;)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus