[TEASER] Overlook: Gibran, Lana dan Segala Kepastian
"I'm done."
Matanya terlihat lebih serius daripada siapapun malam itu. Aku tidak lagi membuka mulutku saking bingungnya hati ini akan apa yang terjadi di hadapanku. Kaget, tidak percaya sekaligus kecewa. Kecewa akan semudah itu orang yang telah aku perjuangkan mati matian melemparkan kalimat perpisahan tanpa sempat bertanya pendapatku dan keinginanku.
Gibran tampak sungguh sungguh akan kalimatnya. Jadi aku mengiyakan dan membiarkannya pergi. Malam itu sungguh kelabu, bak langit cerah yang sebelumnya di hiasi ribuan bintang tiba tiba tertutup awan gelap dan badai besar. Gibran dan segala ketidakpastiannya kini telah membuat keputusan; melangkah pergi meninggalkanku tanpa memberi pertanda apapun.
"Tell me, Gib.. Tell me that I'm going to be okay." Ujarku lirih tanpa melihat matanya. Ia menyeruput milkshake coklatnya tanpa bicara apa apa, ia menatapku dan menggeleng. "Enggak Na, gak bisa."
Aku melirik milkshake vanilaku dan menelan ludah, rasanya seperti ingin meneguk sesuatu yang manis supaya bisa merasakan sesuatu karena sekujur tubuhku mati rasa. Namun tanganku tidak bisa bergerak, bahkan air mataku tidak lagi keluar seperti kemarin malam saat menunggunya pulang dan memberi kabar.
"Kenapa, Gib?"
"Udah ya. Udah.. Cukup, Lana. I'm really done with you -with us. Hubungan ini bener bener gak sehat."
Aku begitu sakit, namun aku tidak bisa merasakan apa apa. Saking sakitnya, sampai menangis pun aku tidak bisa. Rasa sesak yang teramat sangat anehnya tidak membunuhku malam itu. Aku menyeruput milkshake vanilaku dan sesuai dugaan lidahku terlalu kelu untuk merasakan sesuatu. Gibran meraih dompetnya dan memanggil pelayan untuk membawakan bill. Sementara aku masih terpaku untuk hubungan 2 tahun yang berakhir begitu saja tanpa bisa aku perjuangkan lagi.
"Kamu.. Kamu gak pernah berubah, Lana." Ujar Gibran sembari mengeluarkan kartu kreditnya dari dompet. "Aku udah sering kasih kamu kesempatan, tapi kamu gak pernah berubah."
"Kamu gak bisa Gib seenaknya datang dan pergi, lalu sekarang kamu datang dan bilang kamu gak bisa sama aku lagi. Aku pakai hati, Gib. Aku punya hati." Ujarku sambil terisak.
"Na, apaan sih. Gak usah lebay!" Sentak Gibran kesal. Jujur, malam itu Gibran cukup kasar, tidak seperti ia yang biasanya. Aku menggeleng, "enggak. Aku gak lebay-"
"Udah, Na.. Mau mempertahankan apalagi dari hubungan yang seperti ini? Jelas jelas kita gak ada ujungnya-"
"Kamu yang gak mau memperjelas ujungnya, Gib." Sergahku. "Kamu lupa kalo dunia ini -duniaku gak selalu tentang kamu. Kapan sih aku gak nurutin keinginan kamu?"
"Kita udah terlalu lama bareng bareng untuk sesuatu yang gak jelas, Na. Kita sama sama nyakitin satu sama lain. Mungkin aku bisa terus ada buat kamu, tapi ketika akhirnya kita udah gak bisa bareng bareng lagi karena aku ketemu orang lain, terus kamu gimana?"
Hubungan tanpa status kami sudah terlalu jauh, ide atas nama kedewasaan di mana kami tidak butuh memberi label pada hubungan ini adalah sebuah bencana. Ketika ekspektasi Gibran yang tidak bisa aku penuhi, ketika perbedaan perbedaan membuat kejenuhan ini semakin terasa, ketika aku tahu bahwa semua ini akhirnya akan berakhir juga.
Gibran dengan segala kekurangannya selalu kuterima dengan lapang dada. Tapi aku dengan segala kekuranganku tidak bisa dengan mudah ia terima. Ketika sebuah hubungan pertemanan melibatkan perasaan, ketika ekspektasi satu sama lain tidak bisa dipenuhi dan ketika melepaskan pelan pelan adalah jalan yang dipilihnya untuk kami.
Aku tahu selama ini Gibran bimbang. Banyak hal yang membuatnya tidak benar benar cocok denganku. Terlebih keinginannya untuk membentukku menjadi pribadi yang lain atas nama kebaikanku -bahkan terkadang aku merasa kehilangan diriku yang dulu. Ketika ia membandingkanku dengan apa yang ia miliki dulu dan ketika aku berusaha memenuhi keinginannya itu.
"Aku sadar kalo selama ini kita salah, Na. Aku capek."
"Kamu capek? Mungkin lebih capek aku.. Coba kamu diposisi aku, menghadapi kamu yang gak pernah jelas? Tapi aku tetep tinggal disini, karena aku mau berjuang untuk kamu."
"Na, emang sesusah itu ya? Toh gak ada akupun kamu bisa kan? Kamu tetep hidup, bahagia dan melakukan segalanya? Gak usah selalu ada aku kan, Na?"
"Terus selama ini kita ngapain Gibran Putra Rayya? Coba jawab."
Gibran menghela napas, "maafin aku Revina Lana Allezia, tapi aku gak bisa lagi. Get a life lah, lakukan hal lain. Kamu bisa kok tanpa aku. I'm done."
Aku kira Gibran akan bertahan, tapi ternyata hatinya sudah memastikan.
Ia memilih untuk menyerah karena aku yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ia memilih menyerah memberiku kesempatan ketika aku sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengannya. Seraya ia ingin beranjak, aku menahannya dan meraih barang barangku. Aku bergegas berdiri dan menghampirinya. Sambil menahan tangis aku berujar, "terima kasih. Jangan sampai kamu gak bahagia. I'm done."
Malam itu untuk pertama kalinya aku tidak membiarkan Gibran pergi meninggalkanku.
Tidak, aku tidak mau lagi ditinggalkan.
Aku yang meninggalkannya.
Tidak, aku tidak mau lagi ditinggalkan.
Aku yang meninggalkannya.
***
on
SEPTEMBER 6th 2017
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}