Overlook episode 1
"Gak perlu tanya orang lain, untuk apa?
Perasaan itu cuman kamu sendiri yang tahu, Na."
***
1. Sign of The Time - Harry Styles
2. Selepas Kau Pergi - La Luna
3. Ruang Rindu - Letto
Jakarta, 27 Februari 2017
"Semua orang sekarang
jualan kue ya?" Tanyaku dengan nada sarkastik sambil beranjak dari sofa di
kamar kakakku. Ko Gerry hanya berdehem mengiyakan seraya berlalu mencomot roti yang Mama siapkan untuk kami, lalu kembali membereskan MacBook abu-abunya.
Punya keluarga berbasis workaholic seperti ini membuatku tidak asing lagi dengan pemandangan rumah yang sudah sangat sepi sebelum jam 8 pagi. Mama yang seorang pekerja kantoran dan papa yang punya usaha kontraktor bangunan pun biasanya berangkat bersamaan. Demikian juga dengan Ko Gerry yang baru kembali dari Australia sekitar dua atau tiga tahun yang lalu juga punya jam kerja yang sama. Hanya aku selama 2 tahun bekerja di Event Organizer tidak pernah berangkat sepagi ini kecuali ada event yang harus didatangi.
Punya keluarga berbasis workaholic seperti ini membuatku tidak asing lagi dengan pemandangan rumah yang sudah sangat sepi sebelum jam 8 pagi. Mama yang seorang pekerja kantoran dan papa yang punya usaha kontraktor bangunan pun biasanya berangkat bersamaan. Demikian juga dengan Ko Gerry yang baru kembali dari Australia sekitar dua atau tiga tahun yang lalu juga punya jam kerja yang sama. Hanya aku selama 2 tahun bekerja di Event Organizer tidak pernah berangkat sepagi ini kecuali ada event yang harus didatangi.
Tapi karena ini masih
terbilang awal tahun 2017 dan aku ingin sebuah perubahan, aku berani keluar dari
zona nyamanku dan melamar di beberapa perusahaan PR Consultant. Awalnya Ko
Gerry menawarkan untuk bekerja di kantornya apalagi saat itu ia baru saja menjabat
sebagai Creative Director, tapi mama dan papa selalu mengajarkanku untuk
berusaha lebih dulu sebelum akhirnya meminta bantuan orang lain.
Akhirnya aku diterima
sebagai salah satu PR starter di perusahaan PR Consultant baru milik salah satu
alumni kampusku. Walau perusahaan itu bukan perusahaan multinasional seperti
tempat kerja Ko Gerry, tapi ini merupakan pencapaian yang cukup besar untukku
melangkah ke dunia perhumasan yang selama ini aku idam idamkan.
Ko Gerry mengernyitkan
dahinya sambil melihatku yang berdiri asyik memandanginya.
"lu serem deh, De lama
- lama. Jangan naksir gue, ini Koko lu sendiri!" Serunya dengan pede.
Aku menggeleng dan berakhir
manyun. Ini salah satu kenapa aku tidak pernah mau memuji Ko Gerry; dia super
pede!
"Hari ini pulang kerja
jam berapa, De?" Tanya Ko Gerry sembari meraih jasnya.
Aku mengingat ingat kata-kata
Kak Andrea, orang yang menghubungiku untuk memberikan kabar kelulusanku,
"hmm.. 5 deh kayanya, kenapa?" Tanyaku.
"Makan yuk! Kita ke
daerah Barat aja."
"Ada apaan nih? Aku
baru kerja sehari, Ko. Belum dapet gaji-" Belum sempat aku melanjutkan
kalimatku, Ko Gerry langsung memotongnya begitu saja.
"Luna pulang,
De." Ujarnya sambil menatapku dalam dalam.
Dari tatapan matanya aku
bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia benar-benar tidak mudah untuk
ditebak, namun bukan berarti ia tidak bisa menunjukkan perasaannya.
Namun begitulah keluarga
kami, betapa cara kami memberi tahu perasaan akan diri kepada orang lain bukan
dengan berujar namun dengan bertindak.
Luna adalah tokoh dari
"Cinta Belum Kelar" milik seorang Pratama Gerardo Wijaya sejak ia
duduk di kelas 3 SMA. Sekarang sudah sampai 10 tahun sejak cerita itu dimulai
dan aku tahu untuk Ko Gerry yang tidak pernah pacaran, pasti sulit untuk
menentukan perasaannya. Apalagi Luna adalah seorang Kristiani... Which
is why, it was a really big problem for him -for us actually karena
meski mama dan papa mengerti akan perbedaan tersebut, tapi bukan berarti mereka
akan memahami dan menerima konsepnya.
"Oh.. Yaudah, let's
talk later." Sahutku sambil meraih handuk yang aku gantungkan di kursi
komputer milik Ko Gerry.
Ia mengangguk pelan, "I'll
pick you up. Sekalian lewat dari Jakpus."
Aku mengacungkan jempolku
lalu berlari ke bawah untuk bergegas ke kamar mandi. Ketika memasuki kamar
mandi, aku menatap cermin yang ada di dinding dan tersenyum kecil pada bayanganku
sendiri.
Luna..Luna.. Betapa
beruntungnya gadis itu, bahkan setelah 7 tahun mereka berpisah, orang yang ia
cintai masih saja mengingatnya.
Luna dan Ko Gerry adalah
sebagian kecil dari cerita cinta tanpa status yang terhalang benteng agama.
Kalau bicara tentang benteng, bukan hanya Ko Gerry saja yang pernah
merasakannya. Tapi aku...
Aku juga?
Aku merasakan diriku
mempertanyakan hal tersebut pada diri sendiri dalam hati. Seakan akan ingatanku
kosong dan hilang begitu saja, padahal aku tahu rasanya tidak akan pernah
hilang bahkan sampai sekarang. Karena ia selalu ada di sekitarku, namun tidak
lagi masuk ke dalam orbitku.
Sudahlah, it was
over.
***
Kantor ini benar benar
cantik!
Itu adalah kalimat pertama
yang selalu aku ucapkan setiap kali datang ke kantorku. Sebuat kantor PR
Consultant yang didesain secara aesthetic dengan permainan
warna nude yang kental.
Hari ini aku mengenakan
setelan kantor berwarna hitam dengan kemeja pink di dalamnya. Menurut e-mail
yang aku dapatkan kemarin, aku akan duduk di salah satu ruangan baru di lantai
3, lantai teratas dari ruko ini. Belum ada penghuninya, masih kosong sembari
mengumpulkan staff lainnya.
Kenapa aku mau bekerja di
perusahaan starter seperti ini?
Mungkin karena bidang yang
ditawarkan benar benar cocok untukku, yaitu Public Relations. Selain itu
seluruh tim utama dari PR Consultant ini merupakan alumni dari kampusku dan aku
mengenalnya cukup baik. Lagi pula selain bekerja disini, aku masih menjadi
pekerja paruh waktu sebagai konseptor acara di Event Organizer-ku yang dulu.
Hitung - hitung cari pengalaman kerja di PR Consultant.
Aku pernah dengar dari
dosenku dulu, di kala semua orang mengantuk, ia akan membuka cerita
pengalamannya yang menginspirasi. Ia pernah bilang bahwa untuk menjadi seorang
PR yang hebat dibutuhkan jam terbang yang tinggi dan memulai dari PR Consultant
akan jauh lebih baik daripada di PR Perusahaan. Selain PR Consultant mengurusi
banyak klien dan juga mengenal cara kerja eksternal, PR Perusahaan hanya
mengurusi satu produk dan hasil kerja kita pun bisa jadi objektif karena hanya
produk tersebut yang citranya dinaikkan.
Long story short..
Aku bekerja di PR
Consultant juga karena teringat janjiku dengan mantanku. Kami berada di jurusan
yang sama dan kami selalu menyemangati satu sama lain, hanya saja dia adalah
kakak tingkatku yang beda setahun. Aku bertemu dengannya saat kami menghadiri
salah satu seminar PR di kampus kami. Kalo diingat ingat lagi itu benar benar cheesy, but I really grateful to meet him. Karena pada saat itu aku sempat
ingin menyerah dengan PR, karena belajar PR itu tidak hanya sekedar it's
about reputations, tapi aku juga harus mengerti produk, mengerti
pasar, mengerti design dan jelas aku harus berurusan dengan media. Jadi kalo
ada yang bilang mau jadi PR karena suka ngomong, mending pikir ulang deh!
Mantanku itu namanya
Gibran, Gibran Putra Rayya. Orangnya aktif di kampus dan termasuk jajaran anak
pintar. Satu hal yang membuatku yakin untuk bersamanya adalah Gibran bukan anak
anak hits yang kerjaannya nongkrong for
nothing, but he did meet someone for
something. Mungkin kalau waktu itu cowokku bukan Gibran, aku tidak akan
merintis karierku di Event Organizer sejak semester 3.
Pada masanya, Gibran
mendapatkan nilai 9/10 dari Mamaku. Mama suka dengan cara Gibran yang sangat
bekerja keras dan mau berusaha untuk sesuatu yang ia capai. Tapi Mama...
Mama...
Lamunanku buyar seketika
saat Kak Andrea memasuki ruanganku sambil tersenyum lebar. Ia membawakan satu
pot kaktus kecil dan meletakkannya di depan MacBook-ku. Ia bergumam,
"hmm.. Gimana, Revina? Suka ruangannya?"
"Cantik banget, Kak.
Tapi sorry aku La-"
"Lana. Iya, Revina
Lana Allezia Wijaya, kan?" Tanyanya sambil tertawa lebar. "Sorry,
aku suka lupa nama orang. Karena ngurus administrasi, yang diinget nama
depannya."
Aku ikut tertawa, agak
canggung but well, that's how you have to act, right? Ketawa
aja dulu, lucu atau enggaknya ya belakangan. Namanya juga lagi di lingkungan
sosial, buat apa sih terlalu strict sama lucu atau enggak? Kecuali emang bener
bener tidak bisa ditolerir lagi ya..
"Kak, aku seruangan
sama siapa?" Tanyaku sambil memindahkan posisi kaktus kecil itu.
"Masa aku sendirian di lantai 3. Bukannya takut sih.. Eh ya.. Ya
takut." Sambungku sambil berusaha menutupi rasa malu.
Kak Andrea tertawa
lagi, entah memang dia suka tertawa atau tawa ini sarkastik, tapi ia
berujar, "tenang aja dalam beberapa hari ada yang masuk juga, kok. Tapi
teman sekantor kamu kebetulan sakit beberapa hari yang lalu dan di rawat. Jadi
dia gak bisa langsung masuk hari ini. By
the way Kakak sudah e-mail list klien kita dan calon klien berpotensial.
Coba kamu cek dulu klien mana yang kira kira bisa kamu handle-"
"Lho, aku langsung
handle sendiri? Emang boleh kak?" Tanyaku heran.
"Enggak, nanti kamu
sama dia." Menunjuk kubikel kosong yang ada di sampingku, "nanti dia
yang temenin kamu. Sampai dia masuk beberapa hari nanti, tugas kamu bantu
administratif klien aja ya sambil re-check
yang mana yang bisa kamu handle. Itu
yang aku kirim ada tanggal meetingnya
kok, over all mulai Kamis dan Jumat
ini. Oh iya, hari ini tolong sortir perusahaan yang kira kira bisa kita approach buat
kerja sama dengan kita. Aku tunggu sebelum jam makan siang ya. Harusnya sih
kamu kerjainnya sama dia, tapi dia kan gak ada.. So I trusted you. Have a nice day, Rev-"
"Lana, Kak."
Kataku memotong kalimatnya.
"Revina Lana. Hahaha. Have a nice day."
"Yeah, you too."
Aku mengangguk kecil lalu
menghela nafas panjang seraya membuka akun e-mailku. Aku melihat ada dua file
yang dikirim oleh Kak Andrea dan langsung membuka salah satunya. Baru ada 5
klien yang sudah resmi masuk untuk bulan Maret dan statusnya masih pending yang berarti belum ada pertemuan
dan karyawan yang mengambil projectnya. Lalu aku membuka file satunya lagi dan
menemukan diriku mengutuk hari pertamaku dengan umpatan kasar yang sering aku
lontarkan. Hampir ada 200 nama perusahaan dan aku harus melakukan recheck sebelum memilihnya dan.. Ini
sudah jam 9 pagi? Oh well oh well.. Good luck, Revina Lana.
***
Dari seberang telpon, Sarah
ribut setengah mati saat aku bilang Ko Gerry akan menjemputku karena ia ingin
bercerita tentang Luna. Menurut Sarah, ia sangat tertarik dengan kelanjutan
cerita Koko karena sangat mirip dengan kisahku dan Gibran. Oh wait, have I told you about my super busy bestfriend? Namanya
Sarah Esterlita Theo, dia seagama denganku dan Vihara tempat kita beribadah
sama. Ah, haven't I told you? Aku
seorang Buddhist dan cowok yang tiba-tiba mampir lagi di kepalaku karena
kepulangan "cinta belum kelar"-nya Koko adalah seorang Muslim. See? Yes, that's why.
Back to the busiest women on earth, Sarah Esterlita Theo.. Dia merupakan sahabatku sejak duduk di
bangku kelas 1 SMA dan sekarang bekerja di Kementrian Luar Negeri. Kesibukan
Sarah selain mengurusi dunia (yang aku sendiri tidak pernah mengerti jobdesk nya dia apa saja, karena dia
sering pergi kunjungan ke beberapa negara dan berakhir seperti kerja sembari travelling. How lucky she is!), ia
menjadi human diary-ku. Walau mungkin
tidak sesering dulu saat kita masih menjadi pelajar dan mahasiswa, tapi Sarah
masih jadi yang terbaik dari yang baik.
"Sar udah dong lebay
ah, drama banget deh lo." Ujarku sambil merapikan Macbook-ku. Aku melirik
jam tanganku dan waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore.
Ketika Ko Gerry bilang ia
dalam perjalanan kesini satu setengah jam yang lalu, I know exactly what he was doing. Dia pasti masih duduk di kubikel
kerjanya, sambil membuka beberapa video YouTube
dan baru saja berniat mematikan MacBook-nya. Bukan Gerry jika dia bisa menutup
hari kerjanya tanpa menonton video YouTube terlebih dahulu.
"Abis gue udah lama
banget nunggu-nunggu kelanjutan ini. It's
been.. 7 years gak sih?" Tanya Sarah sambil tertawa.
"He'euh."
Gumamku, "I mean after 7 years dan Koko masih inget dia.. How lucky she is, isn’t she?"
"Are you talking about 'you're not so lucky as Luna, Na?" Tanya
Sarah dengan nada suara berbeda, rasanya ia terdengar lebih hati-hati.
"Hm.. I don't know, Sar. Tapi hari ini tiba-tiba
gue inget Gibran lagi, padahal gue biasanya gak kayak gini."
"Oke.. Ini inget dalam
artian?"
"Kangen, Sar.. Dan
berharap dia ada lagi."
Sarah terdengar menghela
napas dari jauh, "katanya udah memaafkan.. Udah melupakan.."
"Yes I am.." Ujarku sambil memainkan case MacBook-ku. "But I miss him.. Today."
"Mungkin lo harus
nunggu 7 tahun dulu biar bisa ketemu lagi sama Gibran. Apa tuh kata Koko di
chat tadi? Satu kantor yaa?" Tanya Sarah sambil tertawa.
"Ye jangan sampe lo
mikir gue bakal sekantor juga sama Gibran. Besok gue gantung diri kali!"
Sergahku sambil ikutan tertawa.
"Ya.. Yaudahlah, Na..
Udah cukup, katanya mau lupain. Kok masih bahas Gibran?"
"Kan elu bawel yang
dari tadi inget-ingetin cerita Koko sama kayak gue!" Seruku kesal,
yang disebrang sana tertawa terbahak-bahak.
Handphone-ku bergetar tanda chat
masuk, aku melihat selintas dan nama Pratama Gerardo Wijaya muncul di
layarku.
Pratama Gerardo Wijaya
Cepet de, laper gw.
"Eh, bos besar udah
jemput gue nih."
"Siap siap kuping lu
panas yeee! Live report dong!" Seru Sarah sambil masih tertawa.
"Gila ya lu, masa Koko
gue galau dan gue mainan HP? Bisa disantet gue."
"Hahaha, Minggu ibadah
kan?" Tanya Sarah pelan, "abis itu belanja yuk!"
Aku menggeram kesal,
"haduh Sarah Theo! Lupa ya temen lu ini baru merintis idup? Seenak jidat,
dah! Udah ah. Talk to you later,
bawel."
Klik.
Oke, ready to listen the galau part
of Gerardo Wijaya.
***
Setelah mendengar Ko Gerry
yang mengeluh akan video super gak penting yang dia tonton selama 15 menit
tentang bagaimana membahagiakan diri (which
is menurut dia sama sekali gak penting ada orang yang membuat video
tutorial membahagiakan diri, and as you
can expected, I, Revina Lana Allezia declare that ocehan Koko sama gak
pentingnya seperti video video itu) akhirnya kami duduk di Fish Streat Tanjung
Duren dengan fish and chips masing
masing. Hari ini Koko tidak lagi memesan Thai Tea seperti dua minggu yang lalu,
tapi hanya es teh tawar. Sementara aku memesan Thai Tea seperti biasanya walau
aku tahu rasa Dumdum jauh lebih enak.
Koko memulai percakapan
seriusnya dengan "eh lucu banget deh.." yang berakhir tidak selucu
yang dibayangkan. Aku tahu betapa dilemanya ia saat ini, menyimpan perasaan
yang belum selesai namun bisa dipastikan tidak bisa dibawa ke manapun. Terlebih
baginya perasaan Ko Gerry untuk Luna tidak sebesar itu untuk membuatnya
menerobos benteng yang ada di antara mereka.
Aku sudah sering bilang
pada Ko Gerry saat aku SMA. Perjalanannya dan Luna sudah terlalu jauh, durasi
hubungan tanpa status ini sudah terlalu lama, tapi sialnya, doa seorang kakak
mungkin selalu lebih dulu dikabulkan oleh Tuhan karena saat kuliah aku bertemu
dengan Gibran ketika Ko Gerry sendiri melewatkan berkali-kali kesempatan untuk
memperjelas apa yang terjadi dengannya dan Luna.
Sampai akhirnya beberapa
tahun lalu kakakku ini kembali jatuh hati pada gadis Kristiani yang bekerja
dengannya di Melbourne, Australia. Namun berbeda dengan Luna, kali ini Ko Gerry
duluan yang terlihat jatuh hati lebih dahsyat dan mungkin itu alasannya untuk
berpikir meminang Anastasha Maria sebagai istrinya. Sebenarnya di umur Ko Gerry
yang 27 tahun, karier yang bagus dan juga masih mengurusi toko bunga milik Papa,
tidak ada alasan lagi untuk menunda pernikahan saat menemukan yang terbaik
menurutnya, tapi kembali lagi segala yang kita anggap baik belum tentu baik di
mata orang tua kita, dan berpegang pada ajaran agama kami, kami percaya bahwa
restu orang tua adalah salah satu cara mendapatkan kebahagiaan seutuhnya.
Tapi Ko Gerry beruntung, mama
tampaknya bisa merelakan anaknya menikah dengan orang yang tidak seiman asalkan
Ko Gerry tetap percaya pada apa yang selama ini ia pegang dan sejauh ini
Natasha tampaknya tidak keberatan ketika mereka menikah berbeda agama. Hanya
saja suatu hari Ko Gerry memutuskan Natasha begitu saja dan kembali ke
Indonesia. Hari itu yang Koko katakan padaku hanya satu, "aku belum bisa
melepaskannya."
Sampai saat ini Koko merasa
ia tidak bisa bahagia sebelum tahu kehidupan Luna. Padahal kita semua tahu
Aluna Serena Luna sudah melanglang buana di perusahaan multinasional dan
bekerja di Singapura. Sudah tidak ada alasan lagi untuk Ko Gerry sebenarnya
merasa bertanggung jawab, namun ia merasa hubungan Luna dan dirinya memang
belum selesai, sehingga ketika Luna pulang, Gerry ingin memastikan bahwa Luna
baik-baik saja sebelum ia mengejar kepentingan dirinya.
Karena itu cara Gerry
mencintai Luna -mencintai sesuatu yang hampir, dan belum pernah benar benar
cukup untuk menjadi pasti.
Setelah 1 jam mendengar Ko
Gerry bercerita, aku bergumam, "hmm.. Jadi lo mau memperjelas setelah 7
tahun ini, Ko?"
"Iya.. Gue inget
Gibran, de. Maksud gue.. Gibran hebat, dia memperjelas hubungan kalian sebelum
pergi. Sehingga akhirnya lo bisa bebas dan bahagia, sehingga akhirnya dia juga
gak merasa terkekang dan sengsara-"
"Huh..Bebas..Bahagia.."
Ko Gerry menaikkan kedua
alisnya, "Lho? Lana belum lupain Gibran? Bukannya katanya udah? Bukannya
udah beberapa kali pacaran?"
"Ko.. Pernah gak sih..
Lo ngerasa ada sesuatu yang mengganjal padahal hubungan lo udah selesai? Lo
berharap bisa putar ulang waktu dan bicara satu dua hal sama dia? Lo berharap
kalau itu terjadi semua perasaan berat hati ini akan hilang?"
"Na.."
"Kami masih sama-sama
aktif lihat insta story masing
masing, nge-like foto, ngucapin ulang
tahun. Rasanya dia ada di galaxy yang sama dengan gue, tapi dia gak lagi di
orbit yang sama. Rasanya..Rasanya.. Rasanya gue gak bisa ngerasain apa
apa."
"Kan.. Ini yang selama
ini gue selalu pertanyakan dari lo. Lo selalu bilang lo udah maafin Gibran lah,
lo udah lupain Gibran lah.. Tapi masih aja peduli kayak dulu, walau gak
ditunjukin ke orangnya. Masih aja ribet gimana cara ngucapin kalo dia ulang
tahun, padahal katanya udah temenan aja.."
"Ih, kok lo jadi ceramahin
gue, Ko? Harusnya gue yang bawel-"
"De.. Gue tanya ya
sama lo, apa lo udah rela liat dia ada di galaksi lo tapi gak lagi masuk ke
orbit yang sama kaya lo?"
Aku tertawa kecil,
"apaan deh Ko.. Gue udah biasa kok kaya gini."
"Biasa bukan berarti
rela ya, De.. You know the difference."
Kami berdua sama sama
terdiam untuk beberapa saat. Ko Gerry sibuk membalas pesan pesan yang ada di
handphonenya, sementara aku mengaduk aduk Thai Tea-ku. Tiba-tiba sebuah
pertanyaan muncul di kepalaku. Aku terkesiap, "Ko! Gimana rasanya satu
kantor sama Luna?"
"Pengen gantung diri,
De."
"Lebay, ah.. Gak mau
jawaban lebay, Ko.."
"Awas jangan nanya
nanya, kalo lu yang sekantor sama Gibran gimana coba?"
"Gak mungkin
kali.." Jawabku kesal. "Dia gak mungkin satu lingkup lagi sama aku..
Jangan lagi deh aku capek-"
"Tapi kalo sampe
kejadian, lo mau gimana?"
Skakmat.
Aku memilih diam sementara
Ko Gerry tertawa lebar, "nah kan.. Lu juga mau gantung diri kan? Gimana
coba rasanya harus ada di tempat yang sama, untuk kerjaan, bareng sama orang
yang selama ini lo rindukan tapi gak mungkin bisa lo gapai? It was grateful untuk lihat dia lagi.. But it was terrible karena lo gak bisa
melakukan apa apa selain berdoa Tuhan mengizinkan lagi dengan caranya."
To be continued..
***
happy birthday, H.
Kayaknya nanti Gibran partnernya Lana deh:')
BalasHapusBtw, Kak Ti I'm so proud of you. Tulisan yang sekarang berubah jadi lebih baik. Sukaaaak❤❤
Keep writing, Kak Ti! And good luck for your life:)
Haii!! Terima kasih banyak yaa, terus baca!! Your support means sooo much for meee❤❤
Hapus