Overlook episode 5
Is there any real situation of "let's start over as a friend"
for those who was loving too deep and for those who was trying so hard
but unfortunately it didn't work well as it planned?
I was wondering why we couldn't be one.
***
1. Should've Been Us - Alex G (cover)
2. Terjebak Nostalgia - Raisa
I used to had nightmare.
Ceritanya akan selalu tentang kilasan balik mengapa Gibran datang dan akhirnya memilih pergi. 2 tahun bersamanya bukan waktu yang terbilang singkat untuk hubungan tanpa status, tapi aku bertahan dan Gibran tampaknya juga kuat - kuat saja. Jadi aku tidak pernah mempermasalahkan pembatas di antara kami bahkan berpikir itu sebagai halangannya. Kami berdua sama sama tahu apa konsekuensi dari menjalani ini dengan latar belakang kepercayaan yang berbeda. Dia bisa saja pergi kalau dia mau, tapi dia terus menahan nahan hati, maka dari itu aku tetap mempertahankan kami.
Sambil menulis beberapa contoh press release yang akan diajukan ke client kami, aku melirik Gibran dengan hati hati. Hari ini kemeja berwarna ungu muda ia pilih sebagai warna terbaik baginya. Sembari mengerjakan pekerjaannya, sesekali ia membuka YouTube dan Instagram setiap kali kerutan di dahinya mulai terlihat. Gibran selalu tahu kapan harus berhenti dan istirahat, hal tersebut membuatku tidak pernah khawatir akan kondisi mentalnya ketika berada di bawah tekanan pekerjaan.
Melihat Gibran ada di duniaku lagi, duduk di sampingku sebagai partner kerjaku bukan hal yang mudah untuk diterima oleh akal sehat. Gibran dan segala hal yang membuatnya pergi 3 tahun lalu masih menjadi pertanyaan untukku. Kalimatnya yang masih terngiang ngiang di kepalaku meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab hingga sekarang.
"I'm done. Hubungan kita udah gak sehat lagi."
Dari segala penjelasannya malam itu sampai akhirnya aku melepaskan gelang darinya dan meninggalkan dia begitu saja di cafe tempat pertama kali kami makan malam bersama, aku masih tidak mengerti kenapa dia bertahan dan apa alasan kami selama ini bersama. Ia bersembunyi dibalik kesibukan dan tuntutan dariku untuk tetap bersama yang membuatnya menyerah untuk bersamakuu lagi. Tapi siapa yang harusnya disalahkan jika keadaan ini sudah berjalan 2 tahun?
Sejak saat itu aku seakan akan trauma membuka hati pada orang lain. Persetan dengan rasa ingin menghargai dan belajar untuk lebih baik, toh akhirnya akupun ditinggalkan untuk alasan yang tidak jelas. Cukup lama sampai akhirnya aku berani buka hati, Gibran masih ada disekitarku, padahal aku rasa jika ia hilang tanpa jejak itu akan mempermudah proses melupakannya.
Tapi siapa yang bisa melupakan Gibran Putra Rayya jika dirinya adalah bintang dari segala bintang. Kemanapun aku pergi, ada saja yang mengingatkanku padanya. Bukan de javu yang akhir akhir ini aku rasakan, tapi mereka semua mengenal Gibran. I used to say, "oh I knew him awhile, dia kakak tingkatku." Padahal rasanya tercabik cabik setiap menyebut namanya.
Kecewa, kecewa bukan main. Kecewa ketika kamu berpikir bisa mempertahankan tetapi kamu malah ditinggalkan.
Gibran tampak sadar sepenuhnya bahwa perempuan di sampingnya ini masih memperhatikannya. Tapi Gibran tidak pernah bisa ditebak isi hatinya, hari ini ia bahkan tidak menggodaku sama sekali. Biasanya ada saja hal kecil yang ia komentari. Sempat beberapa kali aku menemukannya salah tingkah setiap kali kupuji. Tapi Gibran Putra Rayya selalu punya cara untuk menutupi isi hatinya yang sebenarnya.
Have you ever felt like you're drowning?
Mungkin itu yang aku rasakan beberapa hari yang lalu ketika kami bertemu di tempatnya main basket sembari aku mengantarkan Ko Gerry. Aku dan Gibran menghabiskan hari Minggu kami berdua, sebagai teman lama yang sudah tidak berkomunikasi selama 3 tahun. Kami pergi ke beberapa tempat favoritnya dan duduk berjam jam untuk berbagi cerita. 3 tahun kami berpisah ternyata membuat jarak yang sangat nyata di antara dua manusia ini. Bahkan Gibran mengakui bahwa ia tidak mengenalku lagi karena aku sangat berbeda dari aku yang dulu.
Gibran beberapa kali melontarkan pertanyaan sensitif mengenai hubungan kami dulu. Aku masih ingat senyumnya yang hangat dan tawa renyahnya mengunci diriku hari itu untuk tidak menghindar dari satupun pertanyaan yang ia lontarkan. Tapi ini semua rasanya seperti tenggelam dalam laut di mana kamu tidak pernah tahu sedalam apa dan di mana ujungnya; kamu akan selalu sibuk terbawa arus, terbuai akan kecantikan bawah air dan hilang dari dunia nyata.
Pertanyaanku sampai saat ini hanya satu, setelah semua hal yang kami lewati, kenapa Gibran kembali dan membuka cerita cerita lama lagi? Apakah hanya untuk koneksi hubungan dengan sekarang atau untuk memperjelas apa yang belum selesai?
Karena sesungguhnya ada beberapa cerita yang sudah selesai, sebenarnya belum benar benar diselesaikan.
***
Mobil Gibran berhenti di depan rumahku tepat jam 7 malam. Ku lihat ke dalam garasi tidak ada tanda tanda kepulangan Ko Gerry. Jelas ini lebih dari sekedar aman, Koko tidak boleh bertemu Gibran dulu.
Gibran menenteng beberapa barang belanjaan kami dan membawanya masuk. Ide gila yang ia lontarkan saat jam kantor selesai tidak bisa aku tolak. Aku rindu masakannya, aku rindu aroma makanannya yang menggugah selera. Aku rindu pada setiap bumbu yang ia berikan untuk mempermanis makanan sederhana.
Gibran Putra Rayya dan segala hal yang ia sukai selalu membuatku rindu setiap mengingatnya.
Mama mempersilahkan Gibran masuk setelah Gibran menyalaminya. Ia berkata, "Mas Gibran ini kemana aja ya? Sudah lama sekali gak main kesini, gak bantu Tante di Toko Bunga.."
"Hehehe maaf tante, kebetulan aku sama Lana kan sempet beda kantor Tante.."
"Mama sehat? Adikmu gimana?" Tanya Mama antusias. Gibran dulu sering sekali main ke rumah dan membantu Mama di Toko Bunga bersama Ko Gerry. Adiknya, Carissa beberapa kali juga sempat diajak mampir dan membeli bunga di Tokoku.
"Mama sehat, Tante.. Carissa sudah kuliah sekarang. Cepet banget ya Tan?"
"Hahaha sudah dewasa ya berarti dia.. Jadi kalian mau ngapain nih?"
Aku menyikut Gibran lalu tertawa, "Mama belum masak buat Papa, kan? Yaudah, Gibran aja yang masakin. Dia jago kok."
"Oh mau masak masak bareng.."
Wajah Gibran langsung berubah merah padam, "gak sejago itu kok Tan, iseng aja udah lama gak masak untuk Lana."
Seketika ku merasa pipiku memanas, apakah mudah salah tingkah itu sikap yang menular?
"Yaudah Ma, Lana ke dapur dulu mau masak dulu sama Gibran.. Yuk Gib!"
Gibran mengikuti langkahku dan bergegas mempersiapkan hal hal yang ia butuhkan sesampainya di dapur. Hari ini nasi goreng ikan asin dan sapo tahu andalan Gibran adalah menu yang aku pilih. Satu hal yang selalu terjadi kala Gibran mengajakku untuk masak bareng adalah aku yang tidak diperbolehkan untuk menyentuh apapun oleh Gibran. Ia akan selalu menyuruhku untuk duduk diam dan memperhatikannya saja. Gibran sebenarnya tidak pernah suka memasak bersama karena untuknya masak adalah kenikmatannya sendiri.
Sembari memperhatikan laki laki itu memasak, aku diam diam kembali mengamatinya. Posturnya yang terlihat semakin gagah berhasil membuatku tersenyum kecil di balik punggungnya. Dia tidak pernah berhenti membuatku kagum, namun dia juga yang membuatku menahan diri untuk tidak bicara banyak padanya.
Seperti yang terjadi sejak hari pertama kami bertemu, aku menghindari bahasan tentang masa lalu. Bukan berarti aku tidak menghargainya sebagai kenangan yang manis, tapi tidak bisa munafik, perasaanku pada Gibran masih tertinggal meski aku kecewa bukan main dibuat olehnya. Aku membiarkan rasa rinduku terpendam dan mengalun menjadi mimpi serta de javu yang semakin terasa nyata. Setidaknya aku bisa melihatnya ketika rindu, tapi ia tidak perlu lagi tahu perasaanku. Karena jawabannya tidak pernah benar benar iya atau tidak padaku, selalu abu abu.
"Lana ini enak gak?" Tanyanya membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap dan langsung berjalan mendekatinya, "apaan?"
Ia lalu menyuapiku nasi goreng yang sedang ia buat, "rasanya masih seenak dulu kan?"
"Hmm.." Aku mengunyahnya dengan saksama dan mencoba meresapi bumbu bumbunya, "boleh sih.. Masih selera kamu banget."
"Iya kan? Aku memang gak pernah berubah, selalu konsisten."
"Hahaha iya, konsisten dengan segala ketidakjelasan kamu."
Tiba tiba suasana dapur menjadi hening mencekam. Shit, I shouldn't said it.
Akhirnya selama 5 menit terakhir sampai platting nasi goreng tersebut, Gibran tidak bicara sepatah katapun. Aku merasa begitu menyesal, seharusnya aku tidak berkata seperti itu padanya. Aku memilih untuk diam sambil memperhatikannya sementara Gibran beberapa kali menoleh ke arahku namun ia tidak mengatakan sepatah katapun.
Sampai akhirnya ketika ia mulai memperhatikan kematangan sapo tahunya, Gibran bertanya, "Lana, apa yang paling kamu sesali dalam hidup ini?"
"What do you expect me to say? Membiarkan kamu pergi?" Godaku sambil tertawa. Gibran ikut tertawa lalu berujar, "geli banget sih kaya drama."
"Habisnya pertanyaan kamu juga drama. Aku rasa gak ada satupun hal yang harus aku sesali."
"Kalo aku sih ada.."
Aku mengerutkan dahiku, "huh?"
"Tidak pernah memperjelas apa yang sudah jelas, pura pura tidak melihat apa yang tidak bisa diruntuhkan. Aku mematahkan apa yang seharusnya bisa aku jaga. Tapi itu adalah momen pertama di hidupku di mana aku merasakan kesalahan yang fatal telah aku lakukan. Aku sekarang paham bahwa kita tidak akan pernah belajar kalau kita tidak pernah salah. Karena momen itu aku mengerti sepintar apapun aku dalam kehidupanku, akan selalu banyak ilmu baru dan pengalaman baru yang bisa memperkaya pengetahuanku. Well, aku menyesal tapi aku bersyukur atas hasilnya."
Gibran berbalik meninggalkan masakannya dan berjalan ke arahku. Ia menaruh kedua jemarinya di pundakku lalu tersenyum kecil, "aku bersyukur melihat kamu baik baik saja, Lana."
To be continued...
maaf pendek banget ya:{
kenapa sih hectic banget tapi aku mau nulis:{
anyway aku lagi rombak ulang plot dari Overlook
mohon bersabar ya teman teman:3
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}