[FLASH FICTION] Biru Baru
Suaranya mencuri hati tatkala hari terasa sepi.
Satu, dua, tiga.
Rasanya menghitung sampai puluhan ribu pun tak bisa menghilangkan kejenuhan ini. Sahut sahut ramai dari arah kantin tak membuatku serta merta kehilangan konsentrasiku membaca novel fiksi ini. Twivortiare karya Ika Natassa yang sudah berbulan bulan lamanya aku diamkan di rak buku karena hati tak kuasa membuka lembar demi lembarnya kini sudah kulahap sampai setengah buku. Ini pencapaian luar biasa mengingat diriku yang menghindar cukup lama dari dunia fiksi berjiwa romansa karena hati terlalu sakit untuk menerima sesuatu yang tidak pahit.
Tidak pahit bukan berarti manis. Namun manis sudah tentu menjamin tidak adanya rasa pahit yang menusuk bahkan mengancam membunuhmu.
Wajahnya terlihat tampak linglung dari kejauhan tapi aku tidak mau mencari tahu. Bukan lagi urusanku jika makhluk Tuhan satu itu tersesat di sekolah kecil ini atau ia sebenarnya mencari cari celah untuk menyapaku dan duduk di sampingku.
Bahasa tubuhnya terlihat kaku. Sesekali ia melihat jam tangannya di tangan kiri, namun ia lebih sering memutar mutar handphone nya di tangan kanan. Bagai pengecoh dalam pilihan ganda sebuah ujian, ia berhasil menghancurkan konsentrasiku. Langkah kecilnya bergerak mendekati kursiku.
Sambil pura pura membaca aku berujar, "Biru kok belum pulang?"
Aku meliriknya selintas sebelum matanya menemukan mataku. Wajahnya tampak tersipu malu bak tertangkap basah ingin minta makanan teman sepermainannya. Ia berujar dengan canggung, "iya Pevita. Gue baru mau balik.. Kok lo tau nama gue Biru?"
"Taulah.." Jawabku agak sombong, "kita kan sama sama ikut rapat OSIS kemarin. Lo Ketua dan Kapten Ekskul Basket kan?"
Biru mengangguk, "halo Ketua Jurnalistik."
Kami tertawa canggung bersama.
Gelagatnya sama seperti cowok kebanyakan yang ingin mendekatiku. Tapi aku akan selalu memagari diri karena patah hati di hubungan kemarin bukan sekedar tentang ditinggal pergi, namun ada trauma tersendiri untukku menerima orang orang baru. Hal tersebut membuatku sulit untuk percaya pada sebuah hubungan.
Namun entah mengapa jika kali ini laki laki ini mendekatiku seperti yang lainnya, aku rasa aku tidak bisa menolak begitu saja. Karena matanya yang hangat, badannya yang tegap dan gerak geriknya yang penuh pertimbangan berhasil mencuri perhatianku.
Kemudian Biru melirik kursi di sampingku dan bersiap untuk berdehem ketika akhirnya aku berujar, "duduk aja kali, Bi."
"Ugh.." Wajahnya masih malu agak canggung, "baca Ika Natassa?"
"Iyaa. Gue suka banget. Tapi ini baru baca lagi gitu lho.. Elo tau Ika Natassa?" Tanyaku heran.
Ia mengangguk kecil, "gak keliatan suka baca ya?"
"Oh shit.. Enggak.. Sorry gue bukannya underestimate orang -tapi susah cari cowok jaman sekarang yang suka baca."
"Maybe you have to know me."
"Iyaa. Gue suka banget. Tapi ini baru baca lagi gitu lho.. Elo tau Ika Natassa?" Tanyaku heran.
Ia mengangguk kecil, "gak keliatan suka baca ya?"
"Oh shit.. Enggak.. Sorry gue bukannya underestimate orang -tapi susah cari cowok jaman sekarang yang suka baca."
"Maybe you have to know me."
Kami berdua kembali tertawa lagi.
"Pev.."
Aku menyibakkan rambutku lalu tersenyum, "apa Bi?"
"Gue tau tempat beli buku bagus dan murah.."
Aku menyibakkan rambutku lalu tersenyum, "apa Bi?"
"Gue tau tempat beli buku bagus dan murah.."
Oke, dia memulai aksinya.
"Hmm, terus?" Tanyaku pura pura tidak mengerti.
"Jadi.. Barangkali weekend ini gak sibuk.."
"Iya.. Kenapa kalo gak sibuk?" Tanyaku sambil tertawa menggodanya.
Ia tertawa malu, "stop mocking me."
"Jadi.. Barangkali weekend ini gak sibuk.."
"Iya.. Kenapa kalo gak sibuk?" Tanyaku sambil tertawa menggodanya.
Ia tertawa malu, "stop mocking me."
"Hahahahaha, kenapa dengan weekend? Kamu mau ajak aku nge-date?" Pertanyaan teriseng yang pernah aku lontarkan pada seorang cowok yang baru ku kenal.
Namun tiba tiba matanya menatap mataku dengan begitu serius dan diiringi dengan anggukan tegas. "Iya.. I know it sounds crazy. But would you like to go on a date with me?"
Segila itu perasaan ini datang saat kita tidak mengharapkannya. Segila itu getar hati ini kembali hadir tatkala suaranya menggelegar di telingaku.
Tanpa pikir panjang, aku pun tersenyum. Then I nodded, "oke."
Hati tidak akan pernah siap untuk memulai jika kamu tidak pernah berani untuk keluar dari zona nyaman.
Peringatan keras untuk Tipluk:
sayang itu banyak macamnya,
tapi realistis itu lebih penting.
Jakarta, 14 November 2017
"Sayang itu banyak macamnya, tapi realistis itu lebih penting."
BalasHapusSuka banget sama kata-katanya.
hehehe;)
Hapus