Overlook episode 13
"Letting go isn't a one-time thing,
it's something you have to do everyday,
over and over again."
-Dawson's Creek
***
SEBELUMNYA DI OVERLOOK: "Jangan pernah berharap memulai kalo elo belum pernah benar benar menyelesaikan."
Setelah bertahun - tahun berpisah, Revina Lana harus menghadapi takdir bahwa ia akan bekerja di ruangan yang sama dengan cinta masa lalunya, Gibran Putra Rayya. Walau Lana telah berusaha sekuat tenaga untuk melupakan Gibran, namun alam semesta membiarkan sejoli yang berpisah tanpa kepastian tersebut kembali dipertemukan. Tidak hanya rasa menyesal yang menghantui Lana, tapi juga rindu yang terlalu menyesakkan dada. Sementara Gibran juga berusaha untuk tetap tenang seperti saat ia memutuskan meninggalkan Lana, namun apa daya hatinya tak bisa berpura - pura. Mereka hanya dua manusia yang saling menyayangi, namun belum sempat saling memaafkan.
***
1. Takkan Terganti - Abdul & The Coffee Theory
2. Let You Go - Leroy Sanchez
GIBRAN PUTRA RAYYA
Siapa yang tidak kenal Lana?
Oh pastinya semua orang kenal Revina Lana sekarang. Apalagi setelah kantor gue mengikuti salah satu PR Consultant Gathering kawasan Jakarta beberapa minggu yang lalu. Lana di kenal sangat ramah dan pintar. Wawasan yang luas serta cara bicara yang menarik membuat banyak orang betah berbincang dengannya. Tidak perlu waktu yang cukup lama untuk perempuan ini bisa menggaet beberapa client baru di PR Consultant Gathering tersebut.
Oke, gue udah bilang kan kalo Lana ramah? Benar, tidak ada yang bisa memungkirinya. Dia memang ramah ke semua orang kecuali.. Gue. Matanya dingin dan sapaan gue pun tidak pernah dibalas olehnya. Weh, jangankan nyapa, cuy! Gue senyumin aja dia tidak menggubris sedikit pun! Gila kali ya!
Semakin dingin Lana, semakin dekat juga gue dengan Alisha. Hmm.. Kalimat sebelumnya kedengeran makin brengsek ya? Tapi gue berteman kok dengan dia. Well, honestly.. Percaya gak sih dengan pertemanan antara perempuan dan laki - laki? Kalo lo tanya gue, jelas jawaban gue enggak. Baik Lana ataupun Ester -perempuan terdahulu yang akan selalu manis jika gue ingat, berawal dari sebatas "teman" dengan gue. Tapi Alisha.. Dia lain.
Dia menarik, well said. Gue gak bisa bohong, dia emang menarik banget dan sesuai dengan kriteria yang bokap kasih sama gue. Tapi gue gak punya pikiran sejauh itu dengan Alisha. Mungkin karena ada Lana.. Karena masih ada Lana..
Entah kenapa gue merasa gue tersenyum sendiri ketika mengingat namanya. Lana. Lana. Lana. Berkali - kali gue berusaha menghindari lo, tapi akhirnya kita ketemu juga di kantor ini. Berkali - kali gue berusaha mulai dengan yang baru, tapi selalu goyah kalo dengar kabar dari orang tentang lo.
Berkali - kali juga gue punya kesempatan untuk bersama lo, tapi gue cuman bisa nyakitin lo doang.. Gue gak pernah bisa bikin lo bahagia.
Alisha Hanjaya (Mobile)
Mas Gibran, aku pengen makan ini. Ketemu yuk?
***
REVINA LANA ALLEZIA WIJAYA
Frekuensiku bertemu dengan Revan semakin sering daripada biasanya. Sudah jelas bahwa ini menjadi cerita favorit untuk didengar si nyonya sibuk, Sarah, sahabatku. Tapi ada beberapa hal yang aku tutupi dari orang - orang. Meskipun aku terlihat pergi dengan Revan dan mengabaikan Gibran habis habisan selama 1 bulan ini, tapi aku sendiri sering merasa hampa.
Pernah gak sih kalian merasa kesepian tapi tidak bisa diisi oleh apa - apa? Seakan hampa itu selalu merasuki tubuh bagaimanapun kalian telah mencoba untuk tertawa lepas? Hal hal semacam ini tidak bisa diceritakan kepada orang lain karena terkadang memang ada beberapa hal di hidup ini yang hanya bisa kita selesaikan dengan diri sendiri.
Bukannya tidak bisa bahagia, Lana. Kamu tidak mau.
Pikiranku yang mulai mengawang - awang kembali tertangkap dengan manis oleh suara Revan. Setelah ia memarkirkan mobilnya di salah satu cafe dekat kampus kami dulu, ia melepaskan seatbeltnya lalu memandangku.
"Makan di sini ya, Na? Mau kan? Gue suka banget sama pasta di sini." Ujar Revan sambil menatapku cukup dalam. Ya Tuhan, maafkan aku yang masih tidak bisa menerima laki - laki ini dengan tulus. Gila sih, siapa yang tidak meleleh jika dipandang sebegitu dalamnya oleh laki - laki seperti Revan?!
Hehehe, mungkin gue doang kali ya. Revina Lana. Move on nya sih iya, mulai yang barunya gak tau deh kapan. Aku pun mengangguk, "gak papa kok. Tapi sumpah sih jauh jauh... Gue kira mau kemana hahaha."
Revan ikut tertawa kecil seraya membuka pintu mobilnya. Ia lalu berjalan ke sisi pintuku dan membukakanku pintu; satu poin plus untuk Revan karena selalu menghargaiku dengan baik. Aku pun turun dan mengikuti langkah kaki Revan memasuki cafe tersebut. It is The Lucy's Kitchen -the legendary Lucy's Kitchen yang entah sudah berapa lamanya aku gak pernah kesana. Tempat di mana malam itu Gibran memutuskan untuk...
***
"I'm done."
Matanya terlihat lebih serius daripada siapapun malam itu. Aku tidak lagi membuka mulutku saking bingungnya hati ini akan apa yang terjadi di hadapanku. Kaget, tidak percaya sekaligus kecewa. Kecewa akan semudah itu orang yang telah aku perjuangkan mati matian melemparkan kalimat perpisahan tanpa sempat bertanya pendapatku dan keinginanku.
Gibran tampak sungguh sungguh akan kalimatnya. Jadi aku mengiyakan dan membiarkannya pergi. Malam itu sungguh kelabu, bak langit cerah yang sebelumnya di hiasi ribuan bintang tiba tiba tertutup awan gelap dan badai besar. Gibran dan segala ketidakpastiannya kini telah membuat keputusan; melangkah pergi meninggalkanku tanpa memberi pertanda apapun.
"Tell me, Gib.. Tell me that I'm going to be okay." Ujarku lirih tanpa melihat matanya. Ia menyeruput milkshake coklatnya tanpa bicara apa apa, ia menatapku dan menggeleng. "Enggak Na, gak bisa."
Aku melirik milkshake vanilaku dan menelan ludah, rasanya seperti ingin meneguk sesuatu yang manis supaya bisa merasakan sesuatu karena sekujur tubuhku mati rasa. Namun tanganku tidak bisa bergerak, bahkan air mataku tidak lagi keluar seperti kemarin malam saat menunggunya pulang dan memberi kabar.
"Kenapa, Gib?"
"Udah ya. Udah.. Cukup, Lana. I'm really done with you -with us. Hubungan ini bener bener gak sehat."
Aku menggeleng pelan, “enggak kok.. Suka..”
“Terus kenapa? Muka lu kok sedih gitu?”
“Gue takjub aja sama diri gue, Rev.. Udah berapa tahun gue gak datang ke cafe ini.”
Revan tertawa, “berhenti karena nemu yang lebih murah ya? Hahaha ini kan cafe deket kampus kita.”
Aku mendorong gelas ice teanya pelan, “lo udah janji kan gak akan banyak tanya?”
Raut wajah Revan langsung berubah kecewa namun seketika ia mencoba tersenyum, “yaudah gue akan bikin kenangan manis lagi buat lo di cafe ini.”
***
"Na? Revina Lana? Kenapa berdiri disitu?" Tanya Revan dari kejauhan. Ia ternyata sudah terlebih dahulu duduk di salah satu meja dekat pintu masuk sementara aku terpaku di depan pintu dengan tatapan kosong. Aku tidak percaya aku berhasil menginjakkan kaki di cafe ini dan aku baik baik saja.
Dulu sebelum berpisah dengan Gibran di cafe ini, aku sering datang kemari bersama Sarah atau teman temanku yang lain. Tapi semenjak hari itu, aku berhenti datang kemari karena setiap sudut di cafe ini mengingatkanku pada kalimat demi kalimat Gibran yang begitu menyakitkan..
Aku berjalan menghampiri Revan dan duduk di hadapannya. Aku tersenyum kecil sambil menatap meja tersebut. Revan memilih tempat yang sama dengan tempat duduk Gibran hari itu. Kenapa semua hal di dunia ini mengingatkanku padamu, Gib?
"Lo mau pesan apa?" Tanya Revan sambil membuka menunya.
Aku ikut melihat lihat lalu memilih makanan favoritku, "kwetiau goreng seafood kayaknya enak.. Sama ice tea, deh! Lo apa, Rev?"
"Hmm.. Pengen pasta deh.." Ujarnya sambil melihat lihat menu lagi.
Aku melihat keseliling ruangan lalu teringat lagi padanya.
Pada cinta masa laluku, Gibran.
***
"Aku sadar kalo selama ini kita salah, Na. Aku capek."
"Kamu capek? Mungkin lebih capek aku.. Coba kamu diposisi aku, menghadapi kamu yang gak pernah jelas? Tapi aku tetep tinggal disini, karena aku mau berjuang untuk kamu."
"Na, emang sesusah itu ya? Toh gak ada akupun kamu bisa kan? Kamu tetep hidup, bahagia dan melakukan segalanya? Gak usah selalu ada aku kan, Na?"
"Terus selama ini kita ngapain Gibran Putra Rayya? Coba jawab."
Gibran menghela napas, "maafin aku Revina Lana Allezia, tapi aku gak bisa lagi. Get a life lah, lakukan hal lain. Kamu bisa kok tanpa aku. I'm done."
“Lo gak suka bunga ya?” Tanya Revan saat melihatku terpaku di menatap bunga yang ada dibatas meja. Aku jadi tidak enakan karena sedari tadi Revan terus saja bicara namun aku malah mengingat ingat segala kejadian yang terjadi di Cafe ini. Anehnya mengingat itu semua tidak lagi mematahkan hatiku, yang ada aku mulai bisa tersenyum lagi.
Aku menggeleng pelan, “enggak kok.. Suka..”
“Terus kenapa? Muka lu kok sedih gitu?”
“Gue takjub aja sama diri gue, Rev.. Udah berapa tahun gue gak datang ke cafe ini.”
Revan tertawa, “berhenti karena nemu yang lebih murah ya? Hahaha ini kan cafe deket kampus kita.”
“Eh, nyebelin ya lo!” Sahutku sambil ikut tertawa. “Enggak, gue ada kenangan buruk aja...” Jawabku pelan.
“Hmm.. Emangnya lo kenapa di cafe ini?”
“Hmm.. Emangnya lo kenapa di cafe ini?”
Aku mendorong gelas ice teanya pelan, “lo udah janji kan gak akan banyak tanya?”
Raut wajah Revan langsung berubah kecewa namun seketika ia mencoba tersenyum, “yaudah gue akan bikin kenangan manis lagi buat lo di cafe ini.”
“Hah? Apa Rev?”
“Gue gak akan biarin lo terluka lagi.”
“Gue gak akan biarin lo terluka lagi.”
Aku tertawa kecil, "apa sih lu drama banget."
"Ih gue serius, Na.. Udah dong jangan sedih lagi. Makan tuh kwetiaunya. Terus senyum!"
"Kenapa harus senyum?"
"Kan ada gue." Jawabnya sambil tertawa kecil. Aku jadi ikut tertawa mendengar jawaban konyolnya sementara itu Revan terlihat puas melihatku tertawa lagi.
Namun seiring dengan tawa itu memudar, senyum tipis yang terukir di wajahku ini masih karena kamu, Gib. Kalau saja semesta boleh membiarkanku mengetahuinya, aku ingin sekali bertanya padamu.. Apa kamu pernah berpikir tentang aku?
***
"Apaan tuh?" Tanyanya lewat telpon. Aku merengutkan dahiku, agak bingung juga kalau lagi telponan gini lalu Gibran tanya - tanya apa yang tidak jelas.
"Huh? Apaan?" Ketika aku bertanya ia mendecak, terdengar menyebalkan!
"Ck, itu display picture kamu."
"Oh... Quotes itu."
"Hmm?" Gumamnya seperti menunggu jawaban.
"One day, your name won't make me smile anymore."
"Itu yakin, Na?"
Aku ikutan mendecak, nyebelin ya ini orang! Aku berujar, "Apaan sih, Gib."
"Kamu yakin aku gak bisa bikin kamu senyum?"
Aku tertawa agak sarkas, "hahaha yakin! Bisa aja kamu nyebelin."
"Kamu tuh akan selalu bahagia kalo sama aku, Na..."
"Sok tahu!" Seruku kesal.
"Jangan manyun deh...."
"Gibran sok tahu lagi kan..."
"Udah udah.. Mending sekarang kamu makan oreo deh, terus kamu senyum."
Tanganku meraih oreo yang ada di samping tempat tidur lalu mulai mengunyahnya, "kenapa harus senyum?"
"Kan ada aku..."
To be continued..
Udah lama ya gak ketemu Gibran;)
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}