Trouble With You : Gelas-gelas Kaca
“Jangan sampe adik sepupu gue baper sama lo, Bang! Ini si Mona yang diomongin di Twitter second account-nya cuman elo doang,” keluh Refal, adik tingkat Gana sembari menyentil gelas kaca berisi bir di hadapannya.
Gana tersenyum menyeringai. Siapa juga yang berniat membuat anak lesnya sendiri baper? Lagipula pekerjaan jadi guru les ini diambil karena mamanya tidak percaya bahwa bekerja di stasiun radio adalah sebuah actual job. Bagi mama, kerja sebagai lulusan akuntansi harusnya masuk ke bank dan berurusan dengan reksadana setiap hari. Kalau memungkinkan malah buat startup saja dengan modal dari mama dan papa. Tetapi untuk Gana, hidup adalah tentang bertanggung jawab pada kebebasan sendiri. Maka jalan ninja yang ia ambil adalah tetap menjadi penyiar radio dan guru les akuntansi bocah ingusan kelas 3 SMA.
Tapi Mona cantik juga, sih. Mungkin saja semesta memberikan jalan untuk mereka.
“Gue belum kepikiran punya buntut. Apalagi bocil kayak Mona. Bahaya,” sahut Gana sambil bergidik ngeri. “Hormonnya yang nggak bisa ditahan. Dikit-dikit julid. Salah dikit, ngambek. Ada yang lebih baik dari dia, insecure. Nggak deh, makasih.”
“Ngomong lo tuh! Bukannya cowok akan cari cewek yang lebih muda ya?” Refal mengafirmasi pengetahuan sotoynya pada Gana. Barangkali saja pemikiran kakak tingkatnya itu sama seperti orang kebanyakan.
“Orang lain iya. Gue cari yang cocok aja.” Gana membalas dengan enteng seraya meraih gelas birnya. Ia kemudian meneguknya dengan perlahan. Orang mungkin bisa melihat aksi ini sebagai hal biasa -setelah ngobrol, langsung minum alkohol. Namun yang orang lain -terutama Refal, tidak tahu adalah apa yang kini berlari-lari di pikiran Gana.
Sebisa mungkin Gana menjaga kewarasannya untuk tetap sadar bahwa Mona bukanlah sasaran yang tepat untuknya. She is out of his league. Mona pantas dapat orang lain.
Bukan Gana.
“Tapi elonya sendiri gimana ke Mona?” Refal tampaknya tidak puas dengan percakapan tadi.
Gana lagi-lagi menyeringai. Benar-benar pantang menyerah adik tingkatnya ini. Ia pun berujar, “gimana ya? Mona pinter kok.”
“Tuh ... Masuk dong ke kriteria lo?”
“Cantik juga. Orangnya tahu gimana menempatkan diri,” sambung Gana.
“Nah ... Bedanya cuman 6 tahun lagi. Kalo dia lulus kuliah nanti di usia 22 tahun, elo udah 28 tahun. Pasti udah bisa bikin management talent impian lo. Nikah deh sama Mona!” seru Refal semringah seakan baru saja memecahkan misteri siapa yang menjadi maling tetangga sebelah.
Gana menggeleng, “nikah mulu pikiran lo! Kayak anak gadis udah capek belajar dan berjuang terus langsung deh berharap ada yang ngelamar.”
“Eh! Iya juga, ya? Kenapa temen-temen kuliah gue pada begitu? Anak radio pada gitu tau, Bang!”
“Nggak tahu deh ada apa dengan generasi kalian tentang pernikahan. Kayaknya nikah tuh jadi jalan ninja buat menyelesaikan hidup gitu. Padahal hidup nggak pernah ada habis masalahnya. Kalau hari ini ngerasa di lowest point, empat hari lagi juga udah ketemu lowest point yang lain.”
“Never ending battlefield,” gumam Refal.
“Cepet lulus deh lo. Terus masuk agensi gue.” Gana menatap Refal dengan serius. Ia memberi penekanan di setiap kata yang diucapkan supaya anak bawang ini paham, dia sedang tidak bercanda.
“Baru juga semester dua ...”
“Iya juga. Elo ngapain anak semester dua gaulnya sama gue yang udah lulus begini?”
Refal mengangkat bahunya, ikut keheranan juga, “soalnya kayak Olimpiade Nasional gini, sih? Passed ah!”
“Sama kayak Ramona. Ngapain sih naksir sama cowok beda 6 tahun? Mending pacaran sama bocil aja—“
“Namanya juga nyaman, Bang.” Refal menepuk pundak Gana dua kali, “makanya jangan bikin orang nyaman kalo nggak mau diajak jadian.”
Bukan nggak mau, anjir. Nggak bisa.
***
Senja dan Genetta seakan tidak pernah bisa bersahabat sedari dulu. Meski sudah tahu pekerjaannya sebagai penyanyi cafe di usia 23 tahun membuatnya harus bersiap-siap sebelum matahari kembali ke rumahnya di arah barat, tetapi Genetta tidak pernah terbiasa dengan hal itu. Namanya juga Gaisha Genetta Bramantyo; manusia yang terbiasa jadi putri sepanjang hidupnya.
Enam tahun jadi anak tunggal membuat pemikiran di otak Genetta sudah terpatri menjadi seseorang yang lebih nyaman dilayani. Genetta bisa masak nasi sendiri, tapi ini bukan masalah bisa atau tidak bisa. Namun mau atau tidak mau.
Jelas, Genetta tidak mau.
Bahkan setelah kepergian papanya setahun yang lalu dan membuat Genetta akhirnya mengiyakan pindah ke Jakarta di awal 2015 ini, ia masih menjadi putri seperti dahulu. Lalu Mona, si cilik yang lahir enam tahun setelahnya, selalu diajarkan menjadi perempuan mandiri layaknya anak tengah. Selalu ada anak tengah yang bertugas menjaga keseimbangan rumah ketika si sulung sedang berusaha meraih mimpi demi adik-adiknya, kan?
Tetapi tugas Mona si anak bungsu malah merangkap jabatan anak sulung dan tengah. Mona tidak pernah mengeluh karena itu yang ia ketahui bahkan ketika masih berdomisili di kandungan mama; Genetta adalah pusat tata surya, sedangkan dirinya hanyalah planet kecil di sekitarnya.
Sambil meregangkan tubuhnya yang terasa begitu kaku setelah dua hari terakhir keliling Jakarta untuk mencari tempat kerja, Genetta menatap dirinya di cermin. Bukannya ia tidak sadar dengan sikap manjanya ini, tetapi Genetta dibesarkan dengan cara seperti itu di masa golden age-nya. Maka hingga dewasa, ia hanya tahu bahwa dirinya harus jadi pusat perhatian semua orang. Dia tidak tahu caranya berbagi dan melindungi. Dia hanya mau dilindungi.
“Susah juga ya hidup gue sekarang,” gerutu Genetta ketika tersadar di Jakarta tidak ada lagi Omar, teman kuliah yang juga teman kerjanya. Biasanya Genetta tinggal siap-siap di waktu-waktu mepet kemudian menunggu Omar menggedor-gedor pintu apartemennya. Omar si laki-laki yang cinta mati pada Genetta namun tidak cukup bertanggung jawab untuk ia terima jadi pacarnya.
Mungkin karena dunia harus serba tentang Genetta, makanya perempuan itu jadi picky. Dia tidak bisa sembarang memilih orang untuk masuk ke kehidupannya kecuali yang dia mau. Apa yang Genetta mau harus ada di tangannya. Jadi, jangan sekali-kali mengusik Genetta ketika ambisi perempuan itu keluar. Dia bisa berusaha survive dengan cara apa saja.
Imajinasi liarnya sering membawanya ke medan perang The Hunger Games. Dia kadang suka membuat skenario kecil di kepalanya tentang bagaimana bertahan hidup. Genetta sebenarnya bisa, namun sekali lagi, dia tidak mau saja.
Tetapi sore ini ada yang berbeda dari Genetta. Dia mau ke lantai bawah untuk mengambil minumnya sendiri. Tidak ada teriakan memanggil si Bibi atau mengganggu adiknya untuk melayaninya. It’s an effort from Genetta. Sesuatu yang harus dirayakan dengan tumpengan atau diabadikan oleh MURI.
Berlebihan tapi memang Genetta tidak suka berusaha sendiri.
Sesampainya di dapur, ia membuka laci tempat penyimpanan gelas sambil bersenandung. Lagu Maroon 5 - Nothing Lasts Forever seakan menjadi national anthem-nya semenjak kepergian papa. Tidak ada yang abadi di dunia ini, maka suatu hari satu persatu akan pergi dan tersisalah Genetta sendiri. Kemudian battlefield layaknya The Hunger Games akan terjadi dan pertanyaannya hanya satu; bagaimana supaya Genetta bisa bertahan?
Tapi nanti saja dijawabnya. Bisa besok lusa atau di lain hari. Sekarang Genetta hanya kehausan setelah tidur siang yang panjang bak Princess Aurora.
“Boleh minta gelasnya juga?”
Suara itu terdengar begitu halus namun dalam. Ada rasa manis di setiap katanya. Ada intonasi yang asing namun seketika membuat Genetta merasa familiar. Ia pun menoleh dengan perlahan. Seorang laki-laki berdiri di bar rumahnya.
“Gege ya?” tanyanya lagi, “boleh minta gelasnya?”
“Nggak boleh —emang elo siapa? Terus nggak usah manggil Gege! Emang elo siapa?” Genetta menjawab dengan ketus. Aksi pertama yang biasanya menyelamatkan Genetta ketika sedang pergi clubbing dan ada laki-laki hidung belang mendekatinya.
Laki-laki itu tersenyum menyeringai, “emang Mona nggak cerita?”
“Kenapa Mona harus cerita?” Kedua alis Genetta kini bertaut karena kebingungan dibuatnya.
“Karena gue penting buat Mona?”
“Kok ucapan barusan kayak pertanyaan? Lo nggak yakin, ya?” tanya Genetta lebih ketus dari sebelumnya.
“Yakin kok. Kali ini pernyataan ya —gue penting buat Ramona. Gue guru les akuntansinya. Orangnya lagi belajar di gazebo. Gue mau ambil gelas karena punya gue kesenggol sama Mona.”
“Gelas punya gue!” seru Genetta dengan nada sedikit melengking, “kan elo di rumah gue.”
Laki-laki itu malah cengengesan. Genetta makin kebingungan. Bisa-bisanya sudah dijutekin kayak gini nggak mau menyerah? Beneran nggak peka atau cuman pura-pura?
“Iya deh, Ge. Gelas Gege. Boleh pinjem gelasnya?”
Karena suaranya yang begitu tidak sopan memasuki telinga Genetta, maka ia pun menyerah dan membuka kembali laci itu. Genetta meraih sebuah gelas kaca tinggi yang cantik kemudian memberikannya kepada laki-laki tidak bernama itu.
Gelas favorit gue, gumam Genetta dalam hati tepat setelah laki-laki itu meraih gelasnya.
“Makasih, Gege.”
“Genetta, anjir. Kenapa sih maksa?” kesal Genetta. “Lagian gue nggak tahu nama lo juga, nggak usah sok asik,” cibirnya sarkastik.
“Tadi kan judes gitu ... Bingung guenya. Jadi mau kenalan, nih?” goda laki-laki itu sambil terkekeh.
Seketika Genetta merasa pipinya memerah mengalahkan warna mentari yang terlihat lebih merah ketika ingin pulang. Genetta malu. Genetta salah tingkah. Sialan laki-laki ini!
“Nggak! Diem! Sana ngajar!”
Laki-laki itu tersenyum sambil berlalu, “makasih semangatnya.”
“Nggak ada yang nyemangatin elo!” bentak Genetta kesal.
“Oke, next time, maybe? Kerja dulu ya, Ge.”
Sembari memperhatikan punggung itu menjauh, Genetta bersumpah jantungnya sedang dangdutan sekarang. Konyol sekali kalau diingat. Banyak pria lebih ganteng di Yogyakarta daripada orang tadi. Tapi kenapa Genetta dag-dig-dug tidak karuan seperti ini?
“Anjir, udah nggak haus lagi gue.”
Genetta berlari ke kamarnya sambil menahan sesuatu. Sesuatu yang memaksa untuk terlukis di wajahnya namun Genetta tidak mau. Tetapi sekuat apapun ia berusaha, perasaan ini membuat otot-otot wajahnya tidak mau mendengar teriakan logikanya.
Genetta tersenyum semringah dibuatnya.
***
Lanjut nggak nih? 🥰
To be continue...
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}