Trouble With You: Prolog
Pertanyaan itu terus berkecamuk di pikiran Gana sedari tadi. Di bawah rintik hujan yang jatuh membasahi pemakaman umum ini, Gana menimang-nimang bagaimana ia bicara pada Genetta saat ini. Perempuan yang paling ia cintai itu pasti terluka karena kepergian ibunya. Namun apakah keadaan akan baik-baik saja bila Gana pura-pura membiarkan Genetta melihat dunia yang fana?
Mona, adik perempuan Genetta mendekati Gana sambil membawa payungnya. Ia menyodorkan payung berwarna merah dengan corak bunga di mana-mana yang terlalu mencolok untuk acara seperti ini. Tetapi wajah Mona terlihat jauh lebih tegar daripada kakaknya yang berusia 6 tahun di atasnya. Mona memang selalu bisa jadi sandaran siapa saja —meski kadang jadi pertanyaan; lalu kamu nangis sama siapa, Mon?
“Tenangin Gege ya, Bang. Biarin Mona yang urusin rumah,” bisik Mona. Suaranya yang beradu dengan rintik hujan membuat kedua alis Gana bertaut karena kebingungan. Ngomong apa perempuan ini barusan?
Mona tersenyum kecil dengan pandangannya yang sendu, “kasian Genetta. Dia bisa nggak ya hidup sendirian di dunia? Selama ini kan pegangannya sama Mama. Tapi Mama udah pulang sekarang —dan lebih baik begitu.”
“Elo nggak mau nangis, Mon?” tanya Gana akhirnya. Membuka sebuah percakapan terasa begitu berat sekarang. Mona baru berusia 20 tahun, tetapi rasanya seperti bicara dengan mereka yang hidup lebih lama 10 tahun dari Gana. Memang usia tidak bisa menentukan kedewasaan seseorang, ya?
Mona berujar, “Gege lebih butuh ditanya kayak gitu daripada gue.”
“Tapi elo juga punya perasaan.”
“Sejak kapan ada orang peduli sama perasaan gue? Dari dulu juga selalu Gege pemeran utamanya.”
Gana menggenggam lengan Mona sebelum perempuan itu meninggalkannya. Tetapi perempuan itu malah melepaskan tangan Gana dengan kasar sembari menyodorkan payung. Kali ini Gana bisa melihat jelas ada tangis di antara tetesan hujan yang membasahi wajah Mona.
Mona terluka.
Dia juga manusia.
“Mona, maaf karena gue sama Gege.”
Mona tertawa getir. Senyum yang merekah di wajahnya malah terasa seperti kopi pahit yang tidak terseduh dengan sempurna. Mengambang, tidak jelas apa rasanya. Apa yang sebenarnya Mona rasakan sekarang?
“Jangan minta maaf karena elo jatuh cinta, Bang. Itu bikin gue jauh lebih menyedihkan,” tegas Mona. Perempuan itu menghapus air matanya, “udah ... Gue nggak papa. Pastiin aja elo bisa jalanin amanah Mama sebelum beliau nggak ada. Bisa, kan?” imbuhnya dengan suara bergetar.
“Makanya gue di sini ... Gue janji akan kuat buat elo dan Gege,” jawab Gana dengan yakin.
“Gege aja. Gue nggak perlu. Merayakan kehilangan udah jadi spesialisasi gue.”
Setelahnya, Gana meraih payung itu dan membiarkan Mona berlalu. Perempuan itu kemudian menghilang di antara kerumunan orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sementara itu Gana berjalan mendekati Genetta. Ia sedikit menjongkokkan dirinya seraya memayungi perempuan itu.
“Sayang, yang ngelayat udah mulai pulang. Hujannya makin deras. Kita doain Mama dari rumah, ya?” tanya Gana dengan lembut.
Genetta mendorong Gana menjauh. Tangisnya kembali pecah, air matanya kini melebur bersama air hujan yang sedari tadi membasahi wajahnya. Hatinya terluka. Ia merasa tidak memiliki pegangan lagi dalam menjalani hidupnya. Seakan gravitasi ditiadakan oleh Tuhan dari alam semesta dan ... puff! Semuanya menjadi berantakan.
Genetta merasa berantakan dan ia tidak tahu bagaimana cara membereskannya.
“Mama nggak nunggu aku, Ga. Mama ninggalin aku.”
Gana menggeleng, “do not resuscitate, Ge. Kita harus hormati permintaan Mama.”
“Aku gimana sekarang, Ga? Aku gimana?”
Dengan sigap, Gana pun melempar payung itu dan memeluk Genetta erat. Ia membiarkan perempuan itu terus menangis dalam pelukannya. Di kepala Gana hanya terdapat satu kalimat sekarang; gue harus kuat, demi Genetta.
Tetapi beberapa meter dari tempat dua sejoli itu sedang berpelukan di bawah hujan, terdapat sebuah pikiran lain yang meronta-ronta di kepala seseorang. Merelakan seharusnya lebih mudah dari yang ia bayangkan. Sayangnya, ia hanya terbiasa menangani kehilangan, bukan dengan merelakan.
Mona menyeka air matanya.
Genetta adalah pemeran utama di setiap cerita.
Jadi Mona tidak punya hak untuk merasa apa-apa, kan?
***
Spesial untuk ulang tahun ke 32 dari Eric Nam. ❤️
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}