Day and Night: Sama Asa, Beda Rasa


Sorot mata Angkasa menunjukkan keheningan tiada akhir. Seakan dirinya sudah berniat beranjak dari duduk dan mangkir. Tetapi matanya masih mencuri pandang pada perempuan tercantik yang pernah ia lihat sejak lahir; Rachel.


Pilu menyelimuti Jakarta sore ini. Di antara dua gelas ice thai tea yang sudah terlanjur dipesan tanpa ada niat dinikmati pemiliknya, hening yang mengisi dua sejoli ini tampak lebih mencekam daripada suasana dini hari. Angkasa masih sayang, namun Rachel juga punya perasaan.


"Apa yakin kamu kuat lanjutin ini sama aku?" tanya Rachel bagai ad-libs di antara lagu melankolis yang terdengar merdu dari speaker cafe-nya.


Angkasa si manusia optimis kali ini masih memilih untuk bungkam. Lucunya, manusia bisa kehilangan tenaga untuk berjuang jika terlalu sering dijatuhkan. Harusnya, menyerah adalah jawaban final. Tetapi Angkasa masih diam di tempatnya tanpa gerak-gerik seakan ingin pergi.


Senyum rikuh muncul lagi di bibir Rachel. Sebuah senyum yang bisa membawa matanya tertarik menyipit namun membuat wajahnya terukir indah seperti aurora di langit. Rambut tebalnya yang terurai seakan memanggil-manggil Angkasa untuk membelainya saat ini.


Angkasa cinta. Angkasa nggak cinta. Angkasa bisa cari yang lain. Tetapi Angkasa nggak mau yang lain.


Harus Rachel atau tidak sama sekali.


"Seenggaknya kamu masih ada rasa sama aku," Angkasa tersenyum tipis, "walau cuman rasa hambar. Seenggaknya ada rasa yang bisa dikasih bumbu. Sekarang masalahnya bukan di aku. Aku selalu mau kamu. Tapi, kamu mau nggak untuk coba jalanin lagi sama aku?"


Dan hari itu dari sudut mata Rachel telah terjun bebas air mata yang tertahan selama beberapa minggu belakangan. Rachel sayang, Rachel cinta, Rachel bersyukur punya Angkasa. Tetapi setengah hati bukan hal yang pantas laki-laki itu dapatkan; Rachel bukan hal yang pantas untuk Angkasa perjuangkan.

Tidak ada komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.