[FLASH FICTION] Sama Rata
Di penghujung hari, kamu duduk di kursi halte bus sambil termenung. Matamu menerawang jauh menembus langit yang berwarna jingga dan awan putih di antaranya. Dalam benakmu menari-nari setiap keping memori dari perjalanan hari ini serta apa yang mungkin terjadi besok ketika membuka mata. Layaknya roda yang diputar oleh mesin terkuat di dunia, kamu tidak berhenti berpikir barang sedetik pun. Tak ada jeda di antara rasa, tak ada istirahat di antara kerja.
Punggungmu meronta-ronta minta direbahkan di atas matras kecil di kamar. Tetapi kepulan asap dari ratusan kendaraan bermotor yang lalu lalang di kota kecil ini menyadarkanmu bahwa kamu masih dalam perjalanan. Otot lehermu yang tegang menandakan kamu butuh liburan. Sayangnya dunia seperti tidak rela melihatmu bernapas tanpa tersengal-sengal.
Lalu sempat-sempatnya kamu melihat orang itu berlalu dengan kemeja biru muda yang cantik serta rambut terurai sebahu. Cantiknya, pikirmu. Tapi nggak seperti kamu.
Apa yang dia miliki sampai bisa memiliki hal-ha indah seperti ini? Apakah kamu kurang berusaha merawat diri? Atau kamu tidak punya uang untuk sekadar memberi kemeja biru muda ini? Kenapa yang dia miliki terlihat lebih baik dari milikmu sendiri?
Kemudian langkah kecil tanpa suara itu melewati kamu tanpa permisi. Bajunya yang lusuh menandakan dia belum mandi. Baunya sendiri seperti kumpulan sampah limbah yang tidak pernah diselesaikan urusan daur ulangnya dan kemudian mencemari lingkungan.
Kamu kemudian tersenyum rikuh; malu pernah punya pikiran merasa kurang, bersyukur karena bisa merasa cukup sekarang. Pada akhirnya di penghujung hari ini kamu menyadari bahwa Tuhan memberikan keadilan sama rata, sesuai dengan kemampuan umat-Nya menghadapi hidup.
Bagi perempuan dengan kemeja biru muda itu, memiliki segalanya di atas rata-rata adalah ujian. Pertanyaannya adalah apakah segalanya di matamu sudah mencapai standar segalanya yang sama di matanya? Apakah ia bisa mempertahankan apa yang ada di genggamannya?
Bagi perempuan kecil yang barusan lewat tadi, apa yang ia miliki mungkin tidak berlebih, tetapi cukup untuknya bersyukur masih bisa berbalut busana hari ini. Meski lusuh tak terawat, meski tak secantik milik orang lain, tetapi itu yang ia miliki. Itu yang dapat melindunginya dari panas dan dinginnya bumi.
Maka kamu yang tadinya ingin marah karena hari ini tidak secantik perempuan berbaju biru itu akhirnya sadar bahwa kamu tidak akan pernah merasa puas bila melihat milik orang lain terus menerus. Kamu akan terus merasa kurang dan kecil. Kamu akan terus meragukan apa yang Tuhan berikan padamu.
Ketika bus tujuanmu tiba, kamu pun bangkit dari dudukmu. Dengan sepatu hitam yang telah menemanimu lebih dari dua tahun, kamu melangkah dengan ringan menuju bus itu. Sore ini, sekali lagi kamu menyelamatkan dirimu. Kamu menyelamatkan diri dari rasa kurang ketika dunia telah memberikan apa yang kamu butuhkan; cukup. Kamu lebih dari cukup.
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}