AWAN SENJA : 03. Yang Tidak Terlihat



Cerita ini merupakan prekuel dari Between The Line (2019) yang telah diterbitkan lebih dulu di aplikasi Joylada. Bisa dibaca secara terpisah.

Genre : Teen fiction, Drama, Comedy




⛅️⛅️⛅️


SENJA


Gue nggak benci Rhea. Sumpah, bisa dilihat, kan, muka gue nggak merengut meski dia melenggang santai meninggalkan gue yang masih beres-beres isi tas? Gue juga nggak diemin Wira ketika dia berkata, “pinjem dulu ya Rheanya,” tanpa menunggu gue memberi afirmasi dari permintaannya. Gue juga tutup pintu rumah dengan lembut kok tanpa emosi yang memendam karena Rhea diemin gue seharian. But forgive me if I have these feelings; gue cuman punya keinginan masukin dia ke koper dan buang dia jauh-jauh dari Jakarta. Maybe Antartika will suit her well since kelakuannya mirip dajjal selama tiga hari ini.


Bi Ratih langsung sigap membawakan segelas air putih dingin dengan banyak es batu lengkap dengan sebungkus Oishi udang favorit gue ke kamar. Dua ketuk tanpa respons tidak membuatnya meninggalkan gue sendirian. Mungkin karena permission dari mama tempo hari yang membuat Bi Ratih berani menerobos masuk dan menaruh dua hal tersebut di meja belajar gue. Sebenarnya gue juga nggak keberatan banget, tapi kalau diingat-ingat hari itu cukup drama mengingat gue nggak mau makan hamper tiga hari dan Bi Ratih keburu panik karena mama dan papa lagi ada conference di Bali. Jadi dari seberang telpon mama langsung kasih ultimatum kalau dua ketuk adalah bare minimum untuk Bi Ratih boleh menerobos masuk. Untung saja gue lagi nggak ganti baju. Kan kagok juga kalau ada adegan 17+ sama si Bibi.


“Mau ke rumahnya Mbak Pelangi nggak, Teh Jaja?” tanya Bi Ratih sebelum menutup pintu kamar gue. Gue yang sedang merebahkan diri di tempat tidur pun sontak teringat FTV minggu lalu di depan Gereja. Meski hingga hari ini belum ada official statement dari keduanya, tapi gue yakin banget Rajendra dan Pelangi sudah pacaran. Buktinya mereka cekikikan, tuh, sambil makan es podeng! 


Moal ah, Bi,” jawab gue sekenanya. “Capek, tunduh.”


Tapi gue beneran capek, kok, nggak sekadar cari alasan doang. Mungkin Bi Ratih bisa merasakan aura tidak bersahabat gue hingga akhirnya dia memilih untuk menutup pintu tanpa melakukan investigasi lebih lanjut. Pikiran gue buyar ketika ekor mata ini menangkap foto Rhea dan gue di dinding. Rhea pantas marah, sih. Gue emang brengsek. Sayangnya Rhea lupa kalau sedekat-dekatnya sahabat, tetap saja hidup gue ya pilihan gue.


Rhea suka banget sama Theo. Gue bisa lihat itu dari cara dia respons cerita gue tentang Rajendra dan Theo; serratus persen beda banget! Kalau sama Rajendra, Rhea terkesan lebih acuh dan sering menyalahkan gue. Katanya gue yang nggak peka, gue yang terlalu overthink atau gue yang terlambat dan nggak berhak marah-marah sama semesta. Tetapi kalau sama Theo, Rhea tuh kayak timses laki-laki itu nomer satu! Mungkin karena mereka sama-sama dangdut juga, sih, kalo masalah perasaan. Buat dia, Theo itu best match gue banget. Walau Rhea nggak salah sih, Theo emang Virgo. Ketika gue disatukan sama dia, kami punya perpaduan hubungan yang unik alias kebalik banget perannya. Harusnya gue sebagai Pisces bisa bucin dan manja-manja gila, tetapi di sini Theo malah ambil jobdesc gue. Masih ingat, kan, gimana dia ngambek tempo hari karena gue galauin Mas Jendra? Itu baru satu dari puluhan episode Theo Baper Karena Senja Nggak Peka. Padahal Pisces itu manusia paling peka kalau urusan sama orang yang dia sayang.


Sampai sini maneh udah tahu dong apa jawabannya?


Gue meraih ponsel yang ada di nakas kemudian mencari nama Rhea. Naha atuh kalau lagi berantem gini malah jadi susah nemuin nama dia?! Niat hati ingin minta maaf karena jadi manusia brengsek, tetapi mata gue malah menemukan dua nama yang buat gue bergidik sendiri. Pertama masih ada Theo. Sebelum lo benci gue karena gue malah mau hubungin Rhea dibanding Theo, gue kasih pengumuman dulu ya kalau Senja Yasminika sudah minta maaf duluan ke kakak kelasnya itu. Tepatnya tadi pagi dengan sekotak bekal nasi putih dan beef teriyaki hasil kongkalikong sama Bi Ratih. Jujur, gue nggak sempat siapin bahan-bahannya karena bangun telat. Hari ini ada mini quiz Matematika dan gue harus belajar karena Rhea lagi diemin gue (dan tentu aja gue jadi nggak bisa nyontek). Makanya gue cuman masak nasi dan oseng-oseng gemes. 


Emang bener, ya, kalau makanan sejenis Yoshinoya selalu bisa bikin senyum di wajah seseorang. Walau dahinya masih agak mengerut karena kecewa, tapi Theo happy banget waktu gue sodorin kotak bekal di depan teman-temannya. Namanya cowok kalau pride-nya diangkat sedikit pasti rasa pedenya mulai membukit. Kalimat gue tadi pagi cuman, “maaf ya nggak ngertiin perasaan lo,” dan ketika pulang sekolah gue udah dibom 10 bubble chats yang pasti di antaranya ada misuh-misuh karena nggak pulang sama dia. Dasar bucin. Haduh … ngapain sih bucin sama gue, Theo?


Ya udahlah, nanti dulu ya, Theo. Lebih penting Rajendra Tanuwirya yang jam 15.15 kirimin gue 2 bubble chats. Sekuat tenaga gue menahan perasaan senang yang membuncah ini, tetapi apa daya jemari gue malah membuka chat Mas Rajendra tanpa permisi. Sayangnya tidak sampai dua detik harapan gue langsung pupus dimakan kenyataan yang doyannya bercanda.



Mas Jendra : Ja, udah pulang sekolah, kan?

Mas Jendra : Ketemu Alexander, gih, biar dia weekend mau Gereja lagi. :D



“Si anying,” celetuk gue sambil mengernyitkan dahi. Bibir gue komat-kamit kesal tanpa suara tetapi jari gue lagi-lagi melakukan hal yang tidak diduga.



Senja : Oke.

Senja : Namanya Awan, btw.



Gue pun bangkit dari posisi gue dan bergegas masuk ke kamar mandi. Mungkin butuh mandi dulu kali ya biar bisa happy ketemu sama laki-laki itu. Jujur sampai hari ini gue masih ilfeel karena dia sok tahu banget waktu kita makan sushi kemarin. Tapi masa gue cerita, sih, ke Mas Rajendra? Kan malu.


Selang beberapa saat, pesan baru masuk dari Rajendra.



Mas Jendra : Makasih adik cantik hehehehe.



Shit,” umpat gue sembari menutup pintu kamar mandi keras-keras.


Oh gini rasanya setelah friendzone-in orang malah kena familyzone?





AWAN


Ada banyak hal yang bikin gue suka nulis lagu. Salah satunya proses mencari chord di piano atau mencoba memahami life experiences orang lain yang gue sendiri belum tentu akan memahami. Lagu pertama yang gue tulis itu sekitar 12 tahun lalu. Waktu papi lagi seneng-senengnya muterin Doris Day yang “Que Sera Sera”, dengan kekuatan sotoy seorang Alexander Wanadinata, gue pun menciptakan lagu gue sendiri; Dadah Kucing Awan.


Liriknya gue tulis karena terinspirasi dari kucing kampung yang udah diem-diem gue rawat bareng papi tapi naas ketahuan mami. Jadilah kami nggak bisa kasih makan untuk kucing itu lagi. Maka dari itu untuk penghormatan terakhir, gue pun nyanyiin lirik, “dadah kucing, dadah kucing, sampai ketemu lagi,” sambil menekan tuts piano papi asal-asalan. But I’m confident enough to say I love writing songs since then.


Buat gue yang besar di keluarga tukang pindah-pindah rumah, gue jadi nggak punya ruang dan waktu yang banyak untuk punya teman. Sedangkan dari artikel yang gue baca, pertumbuhan anak itu ditunjang juga oleh bagaimana interaksi mereka dengan sekitar and I had no one. Jadi kalau ingat si Senja bilang kalau Rhea adalah teman dia sejak SMP, gue cuman bisa menanggapi dengan senyum simpul karena nggak tahu rasanya punya teman dengan durasi lebih lama dari satu tahun seperti itu. Kecuali dari buku Lima Sekawan Enid Blyton yang mami baca bolak-balik sampai khatam atau Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang papi belikan supaya gue memahami arti persahabatan. Sisanya gue hanya punya mereka yang bisa gue masukkan dalam lingkaran kenalan atau sebatas manusia yang pernah bertukar nama saja.


Anjrit, geli banget kalimat gue barusan.


Anyway, dengan minimnya life experiences gue bersama manusia, gue punya tingkat kekepoan (bahasa kerennya adalah observasi) yang cukup menunjang hobi gue. Jadi dari Awan yang menulis lirik tentang kucing pun berevolusi menjadi Awan yang menulis tentang hubungan. Workshop dan diskusi dengan teman-teman pun membuat gue punya ide-ide asyik untuk ditorehkan jadi lirik lagu.


Tetapi yang Senja dan Rhea punya, nggak pernah ada dalam hidup gue.


Lo tahu nggak sih perasaan nyaman ketika lingkungan lo nggak ada masalah apa-apa? Ya kurang lebih itu yang gue hadapi setiap hari. Hidup gue terbilang biasa saja kecuali hari di mana papi pergi tanpa pamit pada gue dan mami. Di luar itu semua, gue nggak punya pengalaman yang menarik untuk diceritakan pada orang, gue nggak punya orang yang bisa diajak berbagi kegelisahan mendalam tanpa gue harus takut beda persepsi, dan gue terlanjur sudah biasa sendiri. Hingga omongan Nala kemarin agak mengusik gue. Mungkin gue nggak naksir sama si Senja karena gue juga nggak tahu pasti perasaan naskir itu gimana, sih? Tetapi gue tahu the moment she came to my life, I just envy her too much. Senja seperti punya segalanya dan dia punya Rhea. Dia juga punya pacar Rhea yang dia taksir; menandakan bahwa dia juga jatuh cinta. Sedangkan gue cuman Awan. Awan yang menulis lagu. Awan yang memperhatikan orang lain untuk merasakan perasaan lewat kenangan orang lain.


I’m such a looser.


Tetapi pikiran buruk itu berhasil melarikan diri ketika mami berteriak dari bawah, “Wan, ada Senja.”


Tanpa gue sadari, bibir gue bergerak naik sedikit. Tepat banget waktunya, Ja.





SENJA


“Apa? Nggak salah?” gertak gue setelah mendengar penjelasan Awan mengenai omongannya ke gue tempo hari di Sushi Tei. “Maneh nggak mikir ya kalo ngebahas soal hati kayak gitu tuh bisa nyinggung perasaan orang? Apalagi kalo baru kenal.”


“Gue cuman ngomong apa yang gue lihat aja, sih. Mata lo kayak langsung redup waktu kita keluar dari Gereja. Gue jadi penasaran, kenapa lo bisa terlihat sesedih itu? Padahal lo punya hidup yang ramai, Ja. Yah … karena kayaknya lo sedih banget kemarin, makanya gue berani buka topik obrolan begitu. Gue tahu sih gue lancang, tapi mami bilang jangan biarin orang lagi sedih sendirian. Bukannya lebih enak kalau kesedihan lo dibagi sama orang lain?” kilah Awan sambil mengayunkan diri di ayunan itu. Gue nggak habis pikir kenapa rumah ini punya ayunan besi untuk dua orang ketika anaknya saja sudah sebesar anak gajah kayak gini? Ayunan tua itu terlihat terlalu kecil ketika Awan duduki sampai membuat gue nggak berhenti melirik sinis ke besi penyangganya; takut-takut kalau dia patah dan jauh ke tanah.


“Ya udah gue maafin kali ini,” jawab gue cepat. Aduh, langsung ajak ke Gereja aja deh. Tetapi laki-laki itu malah beranjak dari duduknya dan meraih tangan gue, “gue kan belum minta maaf.”


Ya udah langsung minta maaf aja, anjir. Nggak usah dangdut begini.


“Apaan nih? Lepasin tangan gue,” sergah gue kesal.


“Eh? Maaf, maaf.”


“Pokoknya inget ya, Wan. Gue sama elo itu urusannya cuman sebatas jadi teman Gereja. Jadi nggak usah singgung-singgung soal hati lagi kayak kemarin,” tegas gue.


“Lo sedih banget ya?”


Brengsek.


“Kalo gitu, mau jajan chiki nggak ke mini market?”


“Hah?”


Tanpa sadar, dua puluh menit kemudian kami sampai ke Blok M Plaza dengan motor merahnya. Padahal dia ngajakin ke mini market, tapi ujung-ujungnya dengan kaos oblong dan jeans biru muda ini, gue malah diajak ke mal tanpa konfirmasi. Yang menculik juga nggak ada basa-basi. Ketika kami sampai di parkiran, dia bahkan membukakan helm gue dan menyeka peluh yang ada di dahi.


Mau tahu bagian lebih gilanya? Ini gila, tapi gue nggak protes sama sekali. 


Mungkin kalau sama Awan sedihnya nggak akan semenyakitkan kalau sedang sendirian.





⛅️⛅️⛅️


Butuh waktu cukup lama untuk menulis ini karena aku lagi berkutat sama Trouble With You yang notabene berada di universe berbeda. Semoga masih mau lanjutin yaaa!


Tapi kalo kamu jadi Senja dan sedang sedih, kamu tim pendam sendirian atau mau ngehabisin waktu sama orang lain biar lupa rasa sedihnya? Kasih tau di kolom komentar ya!


To be continued...



3 komentar:

  1. SUKA BANGETTT SAMA CHAPTER INIIII AAAAAAA

    BalasHapus
  2. hmm klo aku sih pendem sndri wkwkkw, abis gmna ya udh biasa gtu. anw ngalir bgt tulisannya nangiss�� semangatt kak tii

    BalasHapus

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.