AWAN SENJA : 04. Perempuan Kesepian
Cerita ini merupakan prekuel dari Between The Line (2019) yang telah diterbitkan lebih dulu di aplikasi Joylada. Bisa dibaca secara terpisah.
Genre : Teen fiction, Drama, Comedy
⛅️⛅️⛅️
SENJA
“Waktu kecil lo suka nonton Princess nggak? Gue tahu, nih, ceritanya Princess Aurora. Hapal banget di luar kepala,” celetuk Awan entah dari mana idenya.
Empat puluh menit sudah gue berada di Blok M Plaza bersama laki-laki asing ini, tetapi belum ada tanda-tanda bahwa kami akan beli chiki seperti janjinya sebelum berangkat tadi. Gue malah terjebak keliling toko mainan sama dia sambil dengerin jokes garingnya. Rasanya déjà vu kayak dengerin Theo kalau lagi berusaha senengin gue setelah hal-hal konyol terjadi di hidup gue. Bedanya Awan bisa bikin bibir gue ketarik sedikit ke atas walau dahi gue masih mengerut malas. Tetapi gue bersikeras nggak mau senyum lebar-lebar amat karena dia menyalahgunakan kepercayaan gue untuk jajan chiki dan malah nemenin dia ngelantur kayak gini. Apa sih zodiaknya orang ini? Kok baru kenal aja udah berani ngibulin gue?
Karena gue mencoba menghargai niat baiknya yang sudah ngelawak dari tadi tapi hanya dapat kekehan kecil dari gue, maka gue pun menjawab, “lo kan cowok. Ngapain nonton Princess?”
“Loh? Emang cuman cewek yang boleh nonton?” tanya Awan dengan wajah tengilnya. Kenapa sih dia harus punya ekspresi ngeselin gitu kalo diem aja udah cukup ganteng? Cukup, loh, ya. Karena yang ganteng akan selalu Rajendra Tanuwirya meski sayangnya sudah ada yang punya —walau bukan gue orangnya. “Kayaknya nggak ada aturan kayak gitu, tuh.”
“Ya emang nggak ada,” balas gue kesal. Nggak ada tuh jawaban gue yang nggak ketus kayak gini, tapi bisa-bisanya si Awan cengengesan aja di samping gue. Tangan gue meraih boneka Princess Aurora yang ada di hadapan kami. “Tapi kan biasanya ini buat anak perempuan.”
“Sayangnya gue bukan anak biasa-biasa aja, sih. Gue spesial gitu,” sahutnya seraya meraih boneka itu dari tangan gue. “Lo mau nggak?”
“Nggak, gue udah gede,” tegas gue.
Awan menatap gue beberapa saat sebelum akhirnya tangan kanannya itu menyentuh dahi gue dan memijatnya pelan. Seketika gue merasa ada sengatan listrik dramatis yang sering Rhea gambarkan kalau Wira habis peluk dia atau ketika Rajendra ajak gue pulang bareng dan kami makan ketoprak dulu di depan komplek. Kalau ini Theo sudah pasti gue tepis tangannya. Tetapi gue mungkin gila atau Tuhan sudah mencabut kuasa-Nya untuk membiarkan gue melawan. Jadi gue hanya mematung, dengan wajah yang tegang dan mata membelalak. Wah, sinting ini laki-laki.
“Lo mikirin apa, sih? Urusan negara? Ini dahi mengerut mulu setiap ketemu gue. Mending lo main boneka deh biar agak rileks,” ujarnya santai seperti nggak melakukan dosa apapun. “Nggak, jangan salah sangka, Senja. Gue nggak main boneka. Tapi dulu gue pernah pakai kawat gigi, kan. Nah setiap kali kontrol pasti kartun Princess Aurora lagi diputar. Gue dulu juga ogah, jir, nonton Princess begini. Sampai bokap gue bilang kalau kita harus belajar lihat sesuatu dari segala sisi, nggak hanya sekadar apa yang orang bilang harusnya begini dan begitu. Dari situ gue perhatikan cerita Aurora dan gue ngerasa sedih aja, sih. Dia kelihatannya cantik dan ceria, tapi dia putri yang kesepian.”
Kesepian.
Kata itu mengaung di kepala gue setiap kali laki-laki ini menyebutkannya. Gue nggak pernah mendeklarasikan diri gue kesepian sampai Awan datang. Mungkin kalau gue tanya Rhea juga perempuan itu nggak akan punya persepsi yang sama dengan Awan. Karena sibuk dan ramainya hidup gue membuat kesepian nggak layak untuk menggambarkan keadaan gue. Tetapi kalimat Awan hari itu di depan California Roll favorit gue seakan menguak sesuatu yang nggak pernah gue tahu —atau celakanya, gue menolak untuk tahu. Bahwa mungkin ada rasa sepi yang bersemayam di dunia penuh keramaian milik gue ini. Bahwa mungkin gue juga butuh seseorang untuk menemani.
Rhea pasti marah kalau dengar ini, tapi kadang keberadaannya nggak cukup. Apalagi kalau Rhea lagi berkutat dengan Wira, tulisannya atau adiknya, Helen. Bukannya apa-apa, tapi Helen itu punya penyakit asma. Belakangan setelah masuk SMA, dia jadi sering sakit-sakitan karena kesibukan di sekolahnya. Rhea mana sempat buat tanya kabar gue? Dia malah jadi lebih sering mendesak gue untuk jadian sama Theo dengan alasan supaya dia tenang kalo ninggalin gue sendirian. Berarti secara nggak langsung kita tahu, kan, kalo Senja Yasminika bukan prioritas Rhea Eleanor Wicaksono?
Sementara nyokap dan bokap yang masih berkutat mengejar dunia, gue dan Pelangi juga nggak punya ruang yang sama lagi. Dia sibuk kuliah dan gue udah males buat nemenin dia kerjain tugas. Sesederhana gue nggak suka rasa insecure setiap ponselnya bergetar tanda pesan masuk atau Rajendra yang jadi sering nge-chat gue kalau tahu gue masih bolak-balik ke rumah Pelangi. Gue mundur perlahan dari dunia sepupu gue itu hingga dia juga nggak sadar kalau jarak yang gue ciptakan adalah karena Rajendra kini mengisinya. Sayangnya Pelangi kayak nggak ada masalah tuh kalo gue nggak ada. Ngehe maneh, Pelangi!
Nggak usah tanya tentang teman-teman sekolah gue karena selain Rhea, buat gue mereka cuman kenalan biasa yang kalo ngobrol nggak akan bisa lebih lama dari lima belas menit. Setelah lima belas menit pertama, semuanya jadi basi ala obrolan anak SMA. Sedangkan gue kadang emang basisnya brengsek yang ngumpul sama mereka cuman menghidupkan survival mode agar dapat contekan atau teman sekelompok. Maka tersisalah Theo di orbit gue yang sayang banget sama gue, tapi gue nggak bisa. Orang bilang dicintai itu lebih menyenangkan daripada mencintai, kan? Kalo ada yang bisa temuin siapa pencetusnya, please kasih tahu gue. Karena gue mau protes. Gue yakin dia nggak pernah dicintai ketika nggak bisa membalas cinta itu.
Jadi kalau semua orang di orbit gue sudah gue kikis habis, tersisalah orang baru bernama Alexander Wanadinata yang membeli sebuah boneka Princess Aurora dan board games ular tangga untuk gue. Dia menyodorkan plastic putih besar itu seraya memasukkan dompet coklatnya ke saku belakang celana dan nyengir lebar. Gue cuman bisa menatapnya dengan heran bercampur ingin menampar; kenapa sih ini anak?
“Iya, emang gue ganteng. Nggak usah heran gitu.”
Gue meringis, “ih maneh teh teu waras, nya?”
“Waras atuh, Teh Yasmin. Da ai urang teu waras mah moal di dieu,” jawabnya sok Sundaan juga. Eh, tapi bener loh kalimatnya!
“Apaan lu manggil gue Yasmin?!”
“Biar beda aja,” jawabnya enteng. “Sekarang kita beli chiki, yuk. Terus main.”
“Jawab dulu ih, Wan. Kenapa beliin gue boneka?”
“Biar elo nggak ngerasa sendirian dan kesepian lagi, Ja.”
AWAN
Dia ketawa dan demi Tuhan cantik banget kayak warna langit sore ini.
Gue yakin nyokapnya kasih nama dia Senja karena tahu kalau anak perempuannya akan tumbuh sesempurna sekarang. Berbekal jurus sotoy gue dan peralatan perang yang dibeli di Blok M Plaza, kami berdua kini duduk di sebuah taman dekat rumahnya. Senja tertawa karena lihat gue yang cupu main ular tangga, sedangkan gue tertawa karena lihat dia tertawa. Gila, baru kali ini gue suka banget ide nyokap buat bikin gue balik lagi ke Gereja. Thanks, Mami!
“Kenapa, sih, lo harus jutek kalo bisa manis kayak gini, Ja?” tanya gue ketika dia kembali memenangkan permainan kami dan tawa renyahnya melebur bersama gemericik air dari kolam ikan taman tersebut. Di tengah tawanya, Senja menatap gue dengan penuh bangga dan berujar, “kenapa gue harus manis kalo bisa jutek sama elo, Wan?”
Ya elah, bisa aja lagi jawabnya. Untung cakep lu, Ja.
“Jadi karena gue menang, sekarang lo harus turutin mau gue!” seru Senja.
Gue mengernyitkan dahi, “apaan nih? Kok curiga gue? Jangan paksa gue ikut pelayanan karena lo harus bersyukur misalnya gue muncul di Gereja lagi minggu ini.”
“Hahaha bukanlah. Nggak seekstrem itu,” balasnya ringan. “Gue cuman mau tahu kenapa. Kenapa lo pergi ketika Tuhan nggak pernah pergi sedikit pun dari lo?”
“Lo tahu apa tentang Tuhan ke gue, Ja?” tanya gue dingin. Gue paling nggak suka bahas ini karena semuanya akan membawa gue kepada, “kalo Tuhan nggak akan ninggalin gue, Dia nggak akan lupa kalo gue sayang sama papi. Gue butuh papi.”
“Wan …”
“Kehilangan itu sesuatu yang nggak bisa disembuhkan menurut gue, Ja. Beda sama rasa sepi. To be honest, sepi bisa berubah ketika ada ramai yang mengisi. Tapi hilang itu nggak bisa digantikan. Walaupun cari yang baru, cari yang gue mau, atau cari yang sama, tapi tetep aja beda. Semuanya nggak sama; bukan papi gue,” jelas gue tanpa melihat matanya. Ekor mata gue sudah cukup sakit melihat mata perempuan itu berkaca-kaca. Gue nggak mampu lihat lebih jauh lagi. “Makanya kalo boleh, gue mau jadi orang yang bisa meramaikan hidup lo.”
“Karena lo berharap gue bisa sembuhin kehilangan lo?” lirih Senja.
“Nggak. Karena gue mau aja lihat lo seneng, Ja.”
Senja mengigit bibir bawahnya. Ia kemudian menyeka air matanya sebelum berujar, “gue nggak pernah mikir kalo gue itu kesepian, sih. Tapi setelah lo ngomong beberapa kali, gue jadi kepikiran. Emangnya iya gue gitu?” Perempuan itu menghela napas dan menoleh ke arah gue. “Dan sejujurnya kalau nggak bantu Rajendra, mungkin hari ini akan gue habiskan bareng langit-langit kamar gue dan sendirian lagi sampai nyokap bokap gue pulang di malam hari. Jadi untuk hari ini gue nggak akan marah karena lo lagi sotoy sampai beliin gue boneka begini. Gue mau bilang makasih.”
“Makasih?” tanya gue heran. Kenapa tiba-tiba perempuan ini bilang terima kasih?
“Iya, makasih karena masih sempat mikirin gue ketika cerita di hidup lo aja pasti nggak bikin lo nyaman. Gue nggak bisa janjiin apa-apa kecuali akan bantu lo sampai kembali ketemu Tuhan. Apapun yang lo rasain itu adalah hak lo, Wan. Tapi satu yang lo tahu, senang dan sedih, sehat dan sembuh, kaya dan miskin, bahkan beruntung dan meruginya manusia adalah nikmat Tuhan. Selama Dia memberikan lo rasa, lo nggak pernah diabaikan oleh-Nya. Percaya sama gue,” ujar Senja yakin.
Nggak tahu, deh, Ja. Nggak tahu. Gue nggak punya ruang buat percaya hal itu sama sekali.
SENJA
Tugas Bahasa Inggris untuk setelah jam makan siang baru selesai ketika Theo sudah berdiri di depan kelas dengan dua es krim Paddle Pop Rainbow kesukaan kami. Gue menyambut Theo dengan senyum seadanya, sementara laki-laki itu tersenyum semringah seperti habis menang lotre. Jarang-jarang gue mau makan di balkon depan kelas seperti ini. Apalagi kalau ingat anak-anak sekolah gue itu julidnya minta ampun. Sudah pasti gue dan Theo yang notabene beda angkatan ini akan semakin jadi bahan gosip. Tetapi melihat Theo yang senang dan Rhea yang sempat lewat bareng Wira sambil cekikikan membuat gue sadar bahwa ini pilihan terbaik.
“Kemarin lo ke mana, deh? Kok susah banget gue hubungin?” selidik Theo membuka sidangnya. Gue udah yakin pertanyaan ini akan muncul ketika pesan Theo terlambat gue balas kemarin.
“Ngerjain tugas, Kakak. Urang teh masih pelajar SMA, masih butuh belajar,” jawab gue sarkas. Laki-laki itu mengangguk-angguk sembari menikmati es krimnya.
“Jangan bohong, ya,” tegasnya.
“Mau bohong apa, sih, gue?!” Gue agak menyentak. Sebel juga dengernya.
“Barangkali jalan sama si Rajendra.”
“Ya ai itu mah urang geus jungkir balik. Maneh tong khawatir. Pasti tahu pertama deh,” jawab gue sekenanya. Theo pun menoleh sambil mencubit hidung gue. Refleks, gue pun menepis tangannya dan menggeram.
“Yo, ah!”
“Ja, bilang ya kalo lo udah nggak mau gue sayang sama lo,” katanya.
Gue mengernyitkan dahinya. “Apaan, sih? Dangdut ah, males bahasnya. Gue balikin ya ini es krim?!”
“Serius. Perasaan gue kayaknya perasaan gue sia-sia, deh.”
“Ya perasaan lo ke gue tuh buat apa, sih?” tanya gue akhirnya.
Theo menatap gue dengan saksama. “Pengen bahagia bareng lo, Ja.”
“Ya udah tercapai, kok, Yo. Gue bahagia karena lo sayang dan perhatian sama gue, makasih ya.”
“Tapi guenya gimana?”
Gue mundur selangkah. Kok jadi gini?
“Guenya gimana, Ja?”
Kenapa jadi gini?
“Makanya kalo boleh, gue mau jadi orang yang bisa meramaikan hidup lo.”
“Karena lo berharap gue bisa sembuhin kehilangan lo?”
“Nggak. Karena gue mau aja lihat lo seneng, Ja.”
Kilasan percakapan itu membuat gue tersadar hal yang selama ini jadi pertanyaan untuk gue. Kenapa gue nggak pernah bisa membalas perasaan Theo dan kenapa perasaan laki-laki itu seringnya menjadi beban untuk gue. Mungkin karena bagi Theo setiap rasa harus berbalas, sedangkan ketika gue bertemu Awan, dia nggak begitu. Dia membuat rasa pedulinya pada gue nggak jadi sesuatu yang mengekang gue.
Astaga, Ya Tuhan. Urang teh keur nanaonan, sih? Masa jadi mikirin cowok banyak gaya kayak Awan?!
⛅️⛅️⛅️
AKU DEG-DEGAN BANGET NULIS INI. Nyampe nggak, sih, alasan kenapa Senja "lebih dapet feeling" sama Awan? :"} Please tinggalin tanggapan kamu di kolom komentar, ya! Makasih udah baca ini! ❤️❤️❤️
To be continued...
nyampeee!!! nyampee bgt kak tii, paragraf kedua dri bawah udh jelas bgtt huhu, awan tulus bgt sma senja, sedangkan Theo mengharapkan timbal balik dari perasaannya ke senjaa, dann gilaa fix sih aku tim awan-senja garis kerass!!! semangatt kak tii ������
BalasHapus