kesepian itu nyata, meski hidup terlihat ramai dari luar sana

Katanya, hal yang paling lo tunggu-tunggu seringkali nggak semenakjubkan itu kalo udah terjadi. Mungkin itu yang bikin sesuatu rasa dan diikuti dengan kata paling, banget, serta terlalu nggak selalu kasih hasil yang baik. 


Thesis gue sudah selesai dan gue sudah memasuki masa-masa adulthood sebenarnya. Pulang kerja bengong, sebelum kerja bengong. Oh God ... bengong is so fun. Ada waktu di mana gue ngerasa seneng banget karena bisa marathon Netflix atau K-drama favorit gue tanpa mikir tentang jadwal kuliah, paper, atau kapan harus bimbingan sama dospem gue. Ada waktu di mana gue bisa baca buku dengan santai atau pelan-pelan nulis yang lagi gue suka. Ada juga waktu di mana gue ngerasa tenang dan fokus kerja karena biasanya gue gelisah setiap dapet kerjaan baru yang dadakan. Rasanya kayak dunia gue yang ditata susah payah untuk bisa bergerak dengan baik malah harus chaos karena hal baru itu. Padahal, itu tanggung jawab gue. Tetapi, di luar pekerjaan, ada juga tanggung jawab yang namanya kuliah dan harus gue selesaikan. To be frankly honest, kuliah sambil join organisasi was sucks, tapi kuliah sambil kerja lebih sucks lagi. Kalo gue salah, bisa-bisa gue nggak digaji, atau dipecat dan harus cari kerjaan baru lagi. Pokoknya ribet deh kalo udah kerja.


Di antara waktu-waktu yang kayaknya menyenangkan itu, ada juga perasaan kesepian yang menyeruak. Bukan karena gue nggak punya teman. Walau grup di WhatsApp gue sepi mampus, tapi seenggaknya gue masih punya teman yang ngalor-ngidul buat gue bacain chat-nya. Sesekali nimbrung kasih jokes garing buat dimaki-maki, atau dikatain karena udah nggak pernah pulang ke Jakarta lagi. Dua tahun pandemi membuat gue kehilangan banyak ruang untuk bersosialisasi hingga akhirnya gue sadar ... hidup gue itu nggak seramai yang gue pikirkan.


Kesepian yang ada seringkali membuat gue mendorong orang-orang di sekitar gue menjauh dari sistem gue. Bukan karena nggak bersyukur, tapi proses beranjak dewasa ini bikin gue menyadari bahwa gue butuh lebih banyak ruang buat diri gue sendiri. Coba deh, kapan terakhir kali lo baca gue nulis di blog kayak gini? I bet you also won't remember it karena udah lama gue nggak bercerita lagi. Bukan sibuk, bukan udah nggak suka nulis, bukan udah punya tempat cerita lagi ... tapi apa, ya? Gue udah lama nggak merasa hati gue punya perasaan untuk bisa gue tuangkan. Setahun ini, yang punya perasaan itu tokoh-tokoh gue. Gimana mereka hidup, gimana mereka hampir mati karena patah hati, gimana mereka benci karena gue nggak dengan cepat menyelesaikan masalah mereka. Guenya gimana? Gue nggak punya apa pun yang bisa dibagikan selain gue merasa kesepian.


Dan wajar banget, anjir. Usia 23 tahun, pandemi, bukan orang yang bisa keep up relationship via chat, kerja di start-up bidang tulis menulis yang obviously hidup gue lebih banyak dipake buat baca atau riset konten, dan gue tumbuh di era digital di mana individualitas lebih didukung karena layanan konten streaming di mana-mana. The good news is gue menyadari rasa sepi gue dan mengubah kamar gue menjadi kamar kerja, sementara gue tidur di kamar bersama nyokap bokap. Gue dan kedua orang tua gue bukan tipe keluarga yang punya tontonan yang sama, bahkan seringnya kami sibuk di ponsel masing-masing kala malam tiba. Tapi, seenggaknya, gue ada bersama mereka.


Pernah nggak sih bayangin bagaimana kesepiannya mereka kalo kita aja yang muda ngerasa kesepian? Gue yang masih punya chance buat ketemu orang-orang baru lewat platform online (dan gue ketemu, a few of them orang luar negeri karena gue lagi suka cari fans-fans Eric Nam) dan ekspansi pertemanan gue lewat penulis-penulis gue. But my parents has no choice untuk punya sesuatu yang mengusir kesepian itu. Mereka cuman bisa nikmatin sinetronnya atau ngeluh karena nggak punya teman ngobrol saking muaknya ketemu sama satu sama lain, anaknya lagi, dan gitu terus. Jadi, daripada pusing-pusing ngomel kalo gue ngerasa sepi meski punya keluarga yang utuh dan teman-teman baik, serta pembaca-pembaca baik gue, ya gue shut down my feelings dan jalanin hidup aja.


Sampai akhirnya gue sadar, anjir, kesepian itu nyata. Mau gue shut down juga dia tetap ada dan makin parah ketika gue maksain diri untuk nggak apa-apa. Dunia gue yang ramai, yang sibuk, yang terlihat produktif, sebenarnya kehilangan jiwanya sejak cuman kongkow bareng manusia di dunia maya. Gue tahu Allah pasti punya alasan kenapa harus ada this damn pandemic di timeline hidup gue. Tetapi, kali ini, sekali aja izinkan gue untuk bilang bahwa nggak apa-apa kalo lo ngerasa kesepian. Jangan ditahan, jangan denial, jangan di-shut down juga. Lo nggak sendirian.


Life lessons dari 23 tahun gue hidup dan 7 buku yang sudah gue rilis adalah jangan paksa luka untuk sembuh. Jangan paksa luka untuk ditutupi oleh hal baru. Biarin dia ada supaya lo bisa merasakan keberadaannya. Karena yang bikin lo manusia itu adalah senang dan sedihnya hidup lo, ramai dan kesepiannya hidup lo, amarah dan kecewa yang ada di hidup lo. That imperfection and chaos is the true perfection of being human.




Tidak ada komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.