cita-cita yang membuat gue luka
Sejujurnya, gue pengen banget nyerah.
Nyerah dari berusaha, nyerah dari berpikir positif dengan apa pun yang ada, nyerah dengan bersyukur sama apa yang gue punya. Gue merasa makin kecil setiap harinya. Merasa makin nggak berdaya. Merasa makin jauh dari apa yang gue sebut sebagai cita-cita.
Apa sih cita-cita? Kenapa manusia punya cita-cita? Kenapa cita-cita yang dulu gue impikan terasa menyenangkan, sekarang jadi menyesakkan ketika sedang dalam berjalan ke prosesnya? Padahal cita-cita gue nggak seribet orang-orang yang pengen kuliah di luar negeri, nikah sama konglomerat, atau nikah di umur dua puluh dua. Cita-cita gue nggak sebegitunya dan gue sudah menjalani ini sejak umur gue belum menginjak 10 tahun. Tapi, kenapa makin dijalanin makin sesak rasanya?
Mungkin karena gue pernah merasakan titik-titik hampir berhasil, bahagia, lalu ingin lebih dari apa yang gue punya. Mungkin karena itu, sekecil apa pun yang gue dapatkan nggak lagi sama rasanya. Dulu gue menjalani semuanya karena gue suka. Tempat ini adalah hidden gem buat gue. Tetapi, ketika ada harapan dan tututan untuk lebih baik daripada kemarin, apa yang gue jalani jadi terasa nggak menyenangkan lagi. Nggak ada lagi imajinasi liar yang menghampiri. Semuanya diliputi dengan rasa bersalah kalau nggak lebih baik daripada kemarin.
Sejak kapan hal paling menyenangkan di hidup gue udah nggak menyenangkan lagi?
Tapi, gue tetap merasa kecil. Gue merasa hampa menjalani hal yang biasanya membuat gue bahagia.
Gue pengen banget menyerah. Gue pengen jalanin hidup autopilot. Bekerja, dapat uang, lalu nikmatin hidup yang ada. Tapi nggak bisa. Mimpi itu meronta-ronta memanggil gue untuk didengar, untuk diisi dengan berbagai hal baru hingga dia bisa benar-benar berkata bahwa dirinya sudah dicapai oleh gue.
Gue pengen banget menyerah, atau setidaknya memulai semua dari awal. Ketika melakukan ini semua menyenangkan dan karena gue menyukainya. Bukan karena gue harus melakukannya demi meraih cita-cita. Mungkin ini alasannya kenapa membaca novel Lukacita karya Valerie Patkar butuh waktu lebih lama daripada novel-novel lainnya.
Karena Utara dan Javier membuat gue sadar kalau gue juga terluka oleh cita-cita gue sendiri. Gue terluka dalam proses mewujudkannya. Gue terluka. Dan gue terlalu lelah untuk mundur, atau gue terlalu lelah untuk maju. Gue takut. Gue lelah. Gue muak dengan keadaan ini. Gue ingin menulis karena ingin bukan untuk mewujudkan cita-cita gue lagi. Lelah. Pundak ini berat sekali.
Lelah. Cita-cita yang biasanya membuat gue bersemangat menyelesaikan segala hal berengsek di hidup jadi hal paling memuakkan setiap harinya. Lelah. Rasanya ingin menyerah.
Yang sabar kak ✨ tetap semangat aku juga pernah ngalamin di fase ingin menyerah dan lelah dalam hal apapun itu. Tapi aku terus bangkit terus berjuang dan pelan-pelan aku bisa menyelesaikannya bahkan melupakan kenangan yang begitu menyakitkan dalam hidupku.
BalasHapusIntinya terus semangat buat kak Titi�� banyak orang-orang di belakang sana yang selalu dukung kakak��