gadis di kebun teh

Gue kira gue sempat termakan oleh perasaan sialan itu.


Gue pikir gue terlalu mewajarkan kedatangannya sampai menyalahkan keadaan dan orang-orang sekitar karena keberadaan rasa itu. Karena perjalanan ini gue lalui sendiri. Karena semua orang juga sibuk dengan perjalanannya. Karena gue merasa udah nggak ada arah yang jelas hingga sampai tempat tujuan. Gue merasa hilang. Gue merasa percuma. Gue merasa perjalanan semua orang di jalan setapak ini lebih mudah dibandingkan gue.


Dan akhirnya, gue termakan oleh perasaan sialan itu.


Gue seperti anak kecil di kebun teh, di antara rimbunan daun-daun dan tanah yang agak becek karena hujan, gue berjalan sepelan mungkin sambil mengintip dari sela-sela daun yang ada. Nggak ada tujuan pasti, tetapi gue tahu gue nggak bisa hanya berdiri di tempat itu karena menyedihkan dan sekaligus menyeramkan untuk berada di tempat itu sendirian. Ada orang lain yang berjalan, nggak jauh dari gue, tapi gue yakin gue sendirian, karena di hidup ini hanya gue yang berjalan di jalan itu. Nggak ada orang lain. Mereka punya jalannya sendiri. Gue ingin keluar dari kebun teh itu karena there's no good here. Tapi, jalannya yang becek serta pandangan gue yang terbatas karena rimbunnya pohon-pohon teh ini membuat gue nggak tahu gue ada di mana, gue nggak tahu harus jalan ke mana, dan gue nggak bisa tanya siapa-siapa. Rasanya ... kesepian.


Sebenarnya, ada atau nggak ada kesadaran gue akan rasa itu, dia sudah bersemayam di diri gue sejak lama. Sejak gue memutuskan menutup diri dan melihat dunia dengan warna hitam putih. Andai gue bisa menunjukkan apa yang mata gue lihat setiap harinya, lo pasti nggak mau ada di posisi seperti gue. Jadi orang paling judgemental sama dunia tapi pura-pura pengen melihat sesuatu dari banyak sisi. Padahal, akhirnya tetap sama. Gue tetap melihat dunia dengan ya atau tidak. Hitam atau putih. Baik atau buruk. Padahal dunia menawarkan banyak warna, dan bahkan di tengah-tengah hitam dan putih telah tercipta warna transisi yang mengisinya. Abu-abu. Nggak ada yang pasti di dunia ini dan membiarkan diri gue tenggelam di perasaan kesepian ini dengan mindset paling defensive untuk menjaga diri sendiri adalah ketersiksaan.


Semua bilang kesepian di kebun teh itu berarti saatnya lo cari teman untuk menelusuri jalan-jalan setapaknya. Nggak bisa bohong kalau cari teman atau pasangan adalah bagian dari tugas gue sebagai makhluk sosial. Tapi, sebagai orang yang kesepian, mencari orang untuk membunuh rasa sepi bukanlah solusi terbaik. Karena ketika dia ikut gue melalui jalan-jalan setapak ini, menepis setiap daun teh yang menutupi jarak pandang gue, dan tertawa sesekali karena langit sering labil dengan warna biru dan abu-abu sesuka hati, pada akhirnya sebagai individu, dia punya keputusan untuk tinggal atau pergi. Dia punya prioritasnya sendiri. Dan akhirnya, gue kesepian lagi.


Gue terjebak di kebun teh itu karena semua bilang kesepian harus diisi dengan hadirnya teman, pasangan, atau kegiatan baru, katanya. Gue mencoba hal-hal baru seperti menghitung helai daun di setiap pohon, atau burung-burung yang terbang, atau nyamuk yang sesekali hinggap dan mengigit gue dengan tidak bersahabat. Semuanya gue coba, selain berjalan dan mencari jalan keluar dari kebun teh yang luas ini. Tapi, sampai sejauh mana, sih, gue bisa terdistraksi dari rasa ini kalau tujuan utama gue untuk keluar dari kebun teh belum selesai?


Lelah. Lelah. Sepi. Sepi. 


Gue iri ketika dengar ada orang yang ingin menyerah dalam perjalanannya. Karena dia masih punya keinginan, sementara gue terjebak di kebun teh ini tanpa hasrat untuk melakukan apa pun. Sesak. Dingin. Lelah. Sepi.


Perasaan-perasaan itu berkecamuk mengalahkan dinginnya udara perkebunan. Dingin menusuk hingga gue nggak bisa membedakan lagi apa yang sebenarnya membuat gue kedinginan. Dan pada saat itu gue tersadar, gue termakan atas perasaan sialan itu. Kesepian. Keinginan berteman. Keinginan segera keluar dari rimbunnya kebun teh yang tak bertuan ini. Keinginan untuk cepat selesai karena merasa terlalu lelah untuk terus berjalan.


Gue kira gue termakan atas perasaan itu. Perasaan sepi yang menggerogoti dan membuat tubuh gue nggak berdiri tegak lagi. Perasaan kalut yang membuat keinginan gue untuk keluar dari tempat ini tidak terasa lagi. Perasaan-perasaan sialan itu memakan gue hingga habis, lalu ditimpa dengan omongan-omongan orang yang membuat gue nggak lagi bisa memahami kenapa perasaan ini datang.


Lalu gue diam. Gue nggak berjalan meski rintik hujan turun dan daun-daun di pohon teh itu mulai basah. Walau kaki gue semakin berat melangkah karena sepatu gue yang tertahan tanah. Walau kepala gue semakin sakit karena tidak bisa berteduh di tengah kebun teh. Gue diam, gue mencoba merasakan apa yang alam ingin katakan pada gue.


Dia ternyata minta gue untuk nggak berpikir terlalu jauh tentang bagaimana cara keluar dari sini. Dia hanya minta gue untuk ingat lagi kalau kebun teh ini pasti menuntun gue kepada pintu keluarnya jika gue bersabar dan mau terus berjalan. Dia mengingatkan gue bahwa semua akan lebih berat ketika gue aja nggak percaya sama diri gue.


Percaya. Percaya itu kata yang berat, alam.


Tetapi, kalau dipikir-pikir, kalimat-kalimat alam membuat tubuh gue terasa lebih ringan untuk melangkah. Rasa sepi dan lelah pelan-pelan sirna karena rasa percaya itu muncul dan menggantikannya. 


Ternyata, yang membuat gue termakan rasa sialan itu karena gue nggak lagi percaya kalau gue bisa melewati perjalanan panjang di kebun teh ini. Gue terlalu fokus melihat hal yang terlalu jauh. Gue terlalu memikirkan apa yang orang rasa baik dan gue butuhkan.


Padahal, nggak ada yang lebih tahu diri kita dibanding kita sendiri, kan?


Jadi, di tengah gerimis itu, gue kembali melangkah dan percaya bahwa suatu saat gue akan menemukan jalan pulang.


Credit : Pinterest

1 komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.