[FLASH FICTION] Between The Line AU: Abimana Mahesa
“Kalau dia membawa kebaikan, nggak ada alasan untuk nggak diperjuangkan.”
Dua tahun yang lalu, di musola rumah kami, papa mengatakan hal itu sebelum akhirnya pergi. Ramadan yang identik dengan solat berjamaah di rumah pun berubah menjadi sepi tak berkesudahan. Mama sering menangis diam-diam di kamar, Helen jadi jarang mengaji dan meninggalkan solat wajibnya, dan hanya aku di sini sambil mengenang papa. Sekali-kali ditemani Mas Kala kalau kantornya sedang tidak terlalu banyak kerjaan, atau Aga yang duduk di kursi depan sambil bermain dengan kameranya. Aga masih belum mau solat, entah apa alasannya. Padahal kami bersahabat sejak lama dan percaya pada agama yang sama. Sayang, Aga jarang mendirikan solat dan menjadi imam.
Sampai akhirnya aku kenal dia. Senja yang mengenalnya duluan. Mereka sama-sama aktif di Student League Pelita Jaya University, seperti BEM di kampus-kampus pada umumnya. Kata Senja, laki-laki ini nggak pernah lalai dengan kewajibannya. Ia datang dari keluarga sederhana dan memiliki pembawaan seadanya. Tetap rapi, tetap sopan, tapi tidak semenawan Aga.
Kata Senja, mungkin dia akan membuat aku ingat papa. Jadi sore itu, Senja mengenalkan aku pada Abimana Mahesa. Nama panggilannya Abi, dia suka memasak dan juga nonton sitcom. Friends jadi salah satu favoritnya, walau dia kurang cocok dengan Rachel dan Ross. Dia lebih suka konsep Chandler dan Monica: nggak ada coba-coba, langsung serius untuk selamanya. Tapi, Aga kurang suka dengan Abi. Nggak tahu kenapa.
Makin kenal Abi, makin sering aku bertengkar dengan Aga. Seperti hari ini ketika kami akan pergi ke Kidzania untuk bahan cerpen terbaruku dan Abi mengajak untuk solat Ashar di rumah terlebih dahulu. Ia langsung mengambil wudhu dan mengenakan sarung, sementara Aga berdalih celananya pendek dan sudah kotor karena tadi naik angkutan umum.
Jadi, kami bertengkar lagi.
“Rhea, nanti aja solatnya. Gue tuh lagi jadi musyafir ke rumah lo. Allah pasti ngerti,” dalih Aga sambil cengengesan. Serius. Aku males banget kalo Aga begini.
“Katanya Aga sayang sama Rhea?"
Aga mundur selangkah, seakan ia tahu ke mana pembicaraan ini akan aku bawa. Wajahnya terlihat lelah ketika harus membahas perkara yang sama, lagi dań lagi. Tetapi, buatku kata-kata papa nggak bisa diganggu gugat. Bila baik tetap didekap, bila tidak, baiknya mundur perlahan saja. Melihat Abi yang sudah siap dengan sarungnya, apakah ini saatnya aku menentukan pilihan?
"Urusan aku dan Tuhan itu nggak ada sangkut pautnya sama perasaanku ke kamu, Elea. Aku sayang kamu."
Aku hanya menunduk, nggak sanggup menatap mata Aga. Padahal kami sudah sering bahas ini, tetapi nggak pernah ada akhir yang pasti. Aku berharap hubungan kami lebih dari sekadar hubungan pertemanan. Tetapi, Aga dan prinsipku nggak pernah ada di jalan yang sama.
"Kalo gitu, pilihanku nanti nggak ada sangkut pautnya sama perasaanku ke kamu, Ga."
Kedua alis Aga bertaut. Dia tampak keheranan. "Maksud kamu?"
Suara Helen tiba-tiba memecah tegang di antara kami. Panggilan Helen untuk solat membuatku berbalik dan parit dari Aga. Dia tampaknya kesal karena aku tinggalkan di tengah obrolan penting, tapi nggak ada yang lebih penting daripada perasaan dan pilihanku saat ini.
Sepertinya memang Abimana Mahesa orangnya.
Selepas solat berjamaah, Helen buru-buru ke toilet karena perutnya masih mulas setelah makan ayam geprek kiriman Senja. Abi masih fokus berdoa, sementara aku menatap punggung lebarnya yang kokoh dari belakang. Bersama Abi, semuanya terasa lebih ringan. Bersama Abi, nggak ada ibadah yang harus aku tinggalkan. Bersama Abi, aku bisa jadi orang yang lebih baik.
"Rhea, doanya udah? Aga udah nungguin, ya?"
Suara Abi yang teduh membuat keberianianku membuncah. Aku pun mengangguk dan bergumam, "Bi, boleh nanya?"
"Boleh, lah. Kenapa, Sweets?"
"Tawaran kamu kemarin ... buat jadi imam solat setiap hari di rumah ini ... apa masih berlaku?"
Binar mata Abi yang penuh harap membuat aku ikut merasa hangat. Dia nggak bilang apa-apa. Dia cuman menatapku dengan tatapan begitu lega. Untuk pertama kalinya, aku rasa aku memilih sesuatu yang tepat.
"Tapi, aku bukan Aga."
Aku mengangguk. "Iya, aku milih kamu. Aku milih Abimana Mahesa."
Kemudian enam bulan berlalu dan Aga nggak mau mengangkat satu pun teleponku. Aku tahu dia kecewa, tapi aku nggak lagi bisa menunggu Agą lebih lama. Kalau dia belum kunjung sadar untuk lebih bertanggung jawab dengan kewajibannya, aku bisa apa?
Sementara siang ini semerbak harum masakan Jepang tercium dari dapur rumahku. Ada mama dan Helen yang ikut membantu. Ada Mas Kala dan Senja yang diam-diam sedang jatuh cinta saling bercanda gurau seraya membereskan ruang makan kami. Sejujurnya kehilangan sosok Aga memang membuat dadaku sesak sekali-sekali. Tetapi, aku harus memilih, dan pilihanku sesuai dengan pesan papa hari itu.
Dia orangnya. Abimana Mahesa.
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}