[1] i thought this was love, i was misunderstood
"Selamat, ya."
Gumaman kecil laki-laki di belakang Rhea berhasil membuat pipinya merona. Padahal mereka sedang ada di red carpet TV & Film Production Awarding Nights batch 2o tetapi bisa-bisanya dangdutan tipis-tipis seperti ini. Sudah seminggu laki-laki itu tidak bicara dengannya. Tampaknya ia sedang bertengkar lagi dengan Tari.
"Lo juga. Selamat jadi best director."
"Nggak ada selamat-selamatnya gue."
Rhea mengerutkan dahi kemudian tersenyum tipis. "Kenapa?"
"Biasalah. Gak dibahas di red carpet juga, Ya."
"Habis nggak ada satu pun telepon gue yang diangkat.
"Maaf."
Aga menyahut. "Ray pasti nggak dateng, kan?"
"Iyalah. Gue ke sini naik taksi."
"Pulang sama gue. Oke? I need you."
Rhea mengangguk. "I know."
***
"Kata Papa, nggak boleh gampang nyerah. Kalo ada yang rusak atau berantakan ya dibenerin. Tapi, Papa gak pernah bilang gimana harus benerin hal rusak yang gak mau dibenerin, Ya.”
Aga meneguk air mineralnya sembari menatap langit. Kaki panjangnya dibiarkan menyentuh rerumputan halaman rumah Rhea, sedangkan jasnya sudah ditanggalkan dan ditaruh di kursi. Di sampingnya ada Rhea, dengan ponselnya dan aplikasi Instagram yang sibuk di refresh berkali-kali. Kalau dengan Rhea, Aga sudah terbiasa diduakan dengan ponsel. Berbeda jika ia bersama dengan Tari. Perempuan itu akan memberikan atensi penuh pada Aga saat mereka bersama.
Loh, kok jadi dibandingkan begini?
"Kata Mama juga nggak boleh menyerah. Kalau ada masalah jangan buru-buru mundur. Yang gue harus lakukan adalah bertahan aja dulu. Bertahan dan berusaha nggak meninggalkan begitu aja. Yah ... tapi capek juga, sih, kalo berusaha sendirian. Apalagi di dalam hubungan."
Rhea tertawa getir. Ray Satya, cowok yang lagi dekat dengannya tidak kunjung muncul di deretan viewers Instagram Story. Ke mana Ray? Ini kan hari besar Rhea.
Aga menoleh seraya mengacak rambut Rhea. "Masalah kita sama. Apa gue jadiannya sama lo aja?"
"Orang gila. Najis lo," kekeh Rhea sambil menoyor kepala Aga.
"Kasaaar."
"Udah seminggu Tari gak ngegubris lo?"
Aga mengangguk.
"Tari ini ... unik, ya. Kayaknya setiap ada konflik di hidupnya, reaksi pertama dia pasti marah atau kabur. Maksud gue, kenapa gak cari dulu solusinya gitu? Ngobrol kek sama siapa gitu ... dia punya sahabat, kan? Siapa tuh? Valda, ya? Temenan sama Heyzel juga, kan?"
"Kayaknya bakal susah diskusi masalah sama orang lain buat orang yang terlanjur percaya nggak ada yang ngertiin dia.
"Gue juga ngerasa git—.“
"Nggak, banyak yang ngerti lo, Ya," tegas Aga.
"Ada gue, Senja, Mas Kala, Helen, sepupu lo di Bandung ... tulisan lo, pembaca lo ... Tari gak punya siapa-siapa dan gue bikin dia kecewa."
Rhea perlahan menuntun kepala laki-laki itu untuk bersandar di pundaknya. Jari-jari lentiknya menyapa kulit Aga dengan lembut, memberikan efek nyaman pada pemiliknya. Begitu kepala itu bersandar di pundak Rhea, ia pun menarik napas dalam-dalam. Satu … dua ... tiga ...
"Kepala lo berat banget. No wonder, sih, kan terbuat dari batu, hahaha," tawa renyah Rhea membuat Aga ikut mencair juga.
"Sialan lo, Maimunah."
"Inget apa yang lo sering bilang ke Tari ... apa tuh? Jangan bebanin diri sendiri? Nah, tuh, denger."
Aga menoleh kemudian menatap mata Rhea dalam-dalam. Dengan suaranya yang lirih, ia menyahut, "Elea juga. Jangan bebanin diri sendiri. Hubungan itu dua orang yang berusaha, kalo sendirian mah ujian nasional aja."
"Kamu anjing, Dirgantara."
Keduanya tertawa lebar.
"Aga juga inget, you can't fix everything, Ga. So don't push yourself too hard."
"Gue tidur bentar, ya? Gue capek banget. Sebelum ke kampus tadi, gue nongkrong depan rumahnya Tari dulu. Nungguin dia."
"Iya, boleh."
Di tengah hening itu, Aga berbisik lembut.
"Elea?"
"Iya?"
"Semoga usaha kita buat Tari dan Ray Si Cowok Lampu Lalu Lintas gak sia-sia, ya."
Rhea mengangguk sambil mengelus tangan Aga.
"Tya."
"Elea?"
"Iya, Dirgantara?"
"Selamat berhasil jadi best script writer."
Diam-diam Rhea mengintip ponselnya kemudian tersenyum kecut. Bagaimana bisa hatinya terus berharap padahal ia tahu akan selalu kecewa setiap saat menanti laki-laki itu? Awalnya bersama Ray menyenangkan, namun terlalu banyak pertanyaan hingga tangisan lebih banyak daripada kebahagiaan.
Bahkan Ray tidak memberikan selamat sama sekali.
Hanya Aga yang selalu mengapresiasinya.
Hanya Aga.
Dan selalu Aga.
Tetapi, Aga hanya sahabatnya.
Dan garis persahabatan tidak boleh dilewati lagi atau Rhea akan melihat penderitaan untuk kesekian kali.
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}