amsterdam chapter 1: i love you, but i have feelings too.
Takut memang perasaan yang wajar,
tapi tenggelam di dalamnya adalah sebuah pilihan.
Amsterdam Centraal, long coat warna broken white, dan air mata yang menggenang di liburan musim semi 2023.
Gue ngaku gue salah.
Iya, gue salah.
Salah karena ngebanting pintu di setiap kali udah gue buka buat dia. Salah karena menaikkan nada bicara gue setiap kali zona nyaman gue diusiknya. Salah karena mengucapkan berbagai statement yang berbeda sesuai dengan keadaan hati gue.
“Jadi, lo sayang sama gue nggak?”
Dia nanya mulu, jir. Apa nggak ada pertanyaan lain?
“Ah elah,” dia nggak suka respon gue satu ini, tapi Amsterdam dingin banget dan gue nggak ada tenaga ngertiin orang lain, “sayang, lah.”
Langkah kaki gue berhenti waktu tangannya meraih tangan gue. “Kalo gitu, kenapa lo begini?”
“Apa salah gue milih diri gue sendiri?”
Nada gue ngebentak lagi, ya? Air matanya sekarang turun ke pipi, diiringi dengan gue juga yang mulai menggeram karena gemas. Kesal. Ribet banget, elah.
“Nggak ada yang bahas ke sana, loh. Kok jadi ke sana, sih?”
“Capek, udahlah. Setiap selisih paham, selalu gini. Pokoknya gue mau ikutan King’s Day hari ini. Kalo lo mau packing dan pulang, terserah lo.”
Gue cuman capek, ngerti nggak? Gue butuh space buat gue juga. Kalo harus ribet ngurusin dia mulu, kapan gue ngurusin diri gue?
“Gue tau kalo hurt people will hurt people. Tapi, harus banget gue yang lo sakitin? Dari sekian banyak orang? Harus gue?”
Bukan nyakitin.
Gue nggak mau disakitin.
Lo kenapa nggak ngerti-ngerti, sih?
“Terserah. Gue mau jalan ke Madame Tussauds, banyak bir gratis di sana. Kalo lo mau pulang, silakan. Kita ketemu lagi nanti lagi.”
“Sesepele itu gue buat lo?”
Gue nggak jawab. Gue memasukkan kedua tangan gue ke kantung long coat broken white itu kemudian melebur di antara masyarakat Belanda yang lagi pakai baju oranye untuk merayakan Hari Kelahiran Raja mereka. Gue nggak menoleh ke belakang, tapi gue bisa merasakan air mata kami berdua yang menggenang di pelupuk mata.
Andai ada yang mengerti kalau membuka diri itu sama seperti mempertaruhkan seluruh hasil kerja keras dari Senin ke Senin untuk investasi bodong yang entah apa jaminannya. Gue nggak mau gambling, gue nggak mau sakit hati lagi. Karena itu, gue melangkah menjauh meski pilihan ini membuat gue kehilangan dia, tapi lebih baik daripada gue kehilangan diri gue lagi kayak sebelumnya.
“Do you love me?”
Dia mempertanyakan hal yang sama terus. Kadang diubah ke kalimat, “Mungkin gue bukan prioritas lo.”
Gue nggak tau harus gimana menjelaskannya kalau gue nggak punya ruang menyayangi orang lain lebih dari ini karena gue juga belum benar-benar sayang pada diri gue sendiri. Nggak mungkin dia bukan prioritas gue kalau hampir tiga puluh euro gue habiskan untuk ke Amsterdam demi dia. Capek, tapi gue usahakan. Walau nggak sesuai ekspektasi dia, tapi gue lakukan.
Kalau nggak cukup, mungkin bukan gue orangnya yang dia butuhkan.
Kalau nggak bisa, mungkin gue belum juga berani keluar dari ketakutan.
Karena gue belum menemukan diri gue untuk bisa membagi diri gue sama orang lain.
“Jadi, kenapa kalian?”
Gue menyeruput kopi kalengan itu kemudian memasukkan Airpod gue ke dalam tempatnya. Mata gue menerawang jauh.
“Belum rejekinya aja.”
Oh, terakhir dia sempat bilang, “I love you, but I have feelings too.”
Sambil melihat langit Jakarta yang berpolusi dan berbeda jauh dengan langit Amsterdam hari itu, gue juga mau balikin.
“I love you too, but I have feelings too.”
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}