amsterdam chapter 2: relakanlah yang tak seharusnya untukmu.
Cukupkanlah ikatanmu,
relakan yang tak seharusnya untukmu.
Mungkin ini alasannya kenapa MBTI gue selalu berubah karena kadang energi gue terisi di tengah street-party kayak gini, kadang juga rasanya bakal draining kayak battery health iPhone kalo udah drop. Semua orang pakai atribut oranye dan menggambar bendera Belanda di wajahnya. Suka cita, riuh musik, dan bir gratis bertebaran sepanjang jalan.
Eh, kayaknya itu tetangga gue di apartemen, deh. Tapi, gue yakin betul dia masih anak sekolahan. Udah boleh gitu minum Heineken?
Mungkin semua orang cuman cari-cari alasan untuk melakukan hal yang dia mau, padahal sebenarnya nggak bisa atau nggak boleh. Dan King’s Day jadi alasan buat dia mabok-mabok di tengah kota jam 12 siang.
Kalo bukan karena tadi diputusin di Amsterdam Centraal, mungkin gue nggak akan menyusuri jalanan ini. Ketemu sama orang bule yang tiba-tiba teriak “Oi Indonesia!” saat gue lagi maki-maki diri gue sendiri, atau nonton parade seru di dekat jembatan. Oh, atau makan frits, kentang goreng yang jadi cemilan khas di sini. Kali ini gue cobain topping cheesy mayo yang lebih kerasa kolesterol daripada kejunya. Bodo amat, deh. Gue baru diputusin.
“Harusnya kan kita sama-sama seneng. Tapi sama lo tuh berat. Gue terbebani.”
Kalo diinget lagi di kepala, sebenernya kalimatnya nggak sehalus itu. Iya, lebih kasar daripada itu dan disertai wajahnya yang memerah serta pintu yang kerap dibanting. Kenapa, ya? Kenapa lo bisa melakukan itu sama orang yang lo sayang?
“Karena dia nggak sesayang itu sama lo,” sahut teman gue enteng. “Bukannya gue jahat, tapi gue realistis.”
“Berarti gue nggak pantes disayang?”
Pertanyaan itu meluncur lagi. Nggak bisa lo tahan-tahan ketika seisi dunia memperlakukan lo sebagai pilihan. Profesor lo akan datang karena tau lo akan selalu kompeten dalam mengerjakan makalah. Tetapi, nggak berarti lo yang akan dibawa ke gala dinner kampus dan ketemu sama petinggi-petinggi yang kalo lo sebut kenal dengannya aja bisa mengantarkan lo ke tempat paling tinggi yang disebut mimpi.
“Kalo semua orang cerita sama lo, lo ceritanya sama siapa?”
Gue nggak pernah pakai sepatu bots yang ini. Tapi, karena King’s Day cuman dirayakan setahun sekali, dan emang cakep banget sepatu bots warna coklat terang yang gue beli di Roermond ini ketika dipadukan dengan long dress flowery berwarna oranye, gue pakai aja, deh. Bakal lecet, sih. Tapi, namanya juga percobaan pertama. Selalu ada sesuatu yang membekas, kan?
Kayak gue yang buka hati pertama kali lagi, dan dia orangnya.
“Bukan nggak pantes disayang,” dia memberi jeda pada ucapannya, mengunyah kentang yang sudah dimasukkan ke mulut, kemudian mendorongnya dengan Coca Cola Zero yang selalu ingetin gue sama lagu New Jeans. “Tapi, bukan dia orang ya yang bisa sayang dan menerima perasaan lo seutuhnya.”
“Kenapa, ya? Hurt people emang hurt people. Tapi out of all people, why me?”
“Jangan mikir dia bakal mikirin lo kayak lo mikirin dia, because he don’t,” pungkasnya sebelum melangkah ke stan tas-tas imitasi yang dijual di pinggir jalan.
Gue bergeming sembari menatap ribuan warga Belanda yang turun ke jalan hari ini. Ini baru orang Belanda, belum orang Indonesia, belum orang dari Meksiko. Maksud gue, orang banyak banget di dunia, kenapa harus gue yang diputusin di spring break kayak gini?
Mungkin karena gue cuman ngelihat gue sama dia, makanya dunia gue kayak runtuh dan nggak ada penolongnya. Mungkin mbak-mbak yang nggak pake coat di udara 7 derajat celcius itu juga baru diputusin pacarnya, atau mas-mas yang bawa anjing puddle super lucu itu sebenernya lagi menghitung hari karena anjingnya udah sakit keras, atau mbak-mbak yang kelihatannya desperate sambil foto tulip di pinggir jalan ternyata nggak sekesepian itu karena pasangannya ada di tempat lain.
Mungkin ini berat karena gue cuman lihat diri gue sendiri.
“Gue nggak mau kehilangan lo.”
King’s Day sepertinya selalu dinanti-nanti sebagai alasan untuk mabuk dari malam hingga siang hari. Jalan-jalan di trotoar sambil bawa botol bir dan ketawa bareng temen-temen, atau sendirian aja sambil meremas kaleng bir dan mempertanyakan hidup yang begini. Kadang kita selalu cari alasan ketika sebenarnya kita tau apa yang kita mau, padahal nggak bisa atau nggak baik buat kita, tapi dicari-cari aja.
And for once I don’t care about what you want as long as we keep talking.
“Putus nggak selalu dalam romantic relationship, kok. This thingy also define as a breakup, you know?” Temen gue ini sebenernya mau jadi orang realistis apa tetep mau feeding my ego, sih?
“The breakup yang nggak jelas di mana berdirinya lebih sakit, sih, menurut gue.”
Dia menggeleng. “Semuanya sakit, kok. Kecil atau besar, lama atau nggak lama, yang namanya berpisah ya sakit.”
“Orangnya lagi ngapain ya setelah nyakitin gue?”
“Ya lagi hidup aja,” jawabnya. “Mungkin makan poffertjes di Albert Cyup, mungkin ngerokok Malboro yang berat banget walaupun lo udah sering ingetin tentang paru-parunya, mungkin juga di kamarnya re-watching The Last of Us sambil scrolling Facebook cari shitty post buat dia ketawain. Pokoknya hidup dia berjalan tanpa mikirin lo, Nyet.”
Suara gue kecewa. “Gitu, ya?”
“Iya, kalo mau dibikin gampang. Enggak, kalo yang lo ceritain ke gue semuanya benar. Pasti dia juga terluka nyakitin lo. Dia cuman duluin egonya ketika semuanya bisa banget dibikin lebih simpel. Tapi gimana, ya …”
Baiknya dia, baiknya gue.
Buruknya dia, buruknya gue.
Kita bercermin dan selalu menakutkan untuk mengakui diri sendiri yang serba kekurangan.
“Oke, kita bikin gampang aja.”
“Dari semua kelakuan dakjalnya, apa yang bikin dada lo sesek di hari secerah dan udara Amsterdam yang sebersih ini?”
Gue tersenyum kecil. “The fact that he’s okay to lose me.”
Gimana caranya orang semudah itu berubah pikiran dari takut kehilangan jadi ya udah nggak apa-apa kalau kehilangan juga?
Untungnya langit Amsterdam cerah hari ini, karena dari awal gue tau kita akan berakhir kayak dua kapal yang bertabrakan di laut lepas selama ego yang bicara dan bukannya hati kita. Hanya saja, sama seperti anak tetangga gue yang seharusnya belum ngebir kayak sekarang, gue cuman nyari-nyari alasan buat tetap sama dia. Padahal dari ribuan alasan yang ada, kita tau, nggak akan bisa kalo kita masih kayak gini.
Gue kira cara Thanos berpisah sama Gamora untuk Infinity Stone udah cara paling nyakitin yang pernah gue lihat. Oh, atau ketika Teddy Daniels berpisah sama istrinya di Shutter Island. Oh, sebentar, bisa juga waktu Julian berpisah sama Princess Anneliese di The Princess and The Pauper. Apapun bentuk perpisahannya, semua akan berakhir dengan kehilangan.
Tapi, apa yang lebih menyakitkan ketika orang yang paling lo sayang bilang bahwa ia siap kehilangan lo dari hidupnya?
“Gue siap kehilangan lo. Gue ikhlas kehilangan lo.”
Terpaan angin dari pinggir sungai membuat anak rambut gue berterbangan. Buru-buru gue rapikan dengan saksama karena ini King’s Day, harus tetap cantik dan rapi, dong. Mata gue menerawang jauh, memperhatikan kerumunan manusia yang berjalan menjauh sambil berharap salah satu di antaranya mau membawa sakit ini.
Sakit karena sudah memilih menetap dan merawat tetapi akhirnya dipilih untuk ditinggalkan begitu saja.
Cukupkanlah ikatanmu,
relakan yang tak seharusnya untukmu.
“Nggak ada yang lebih menyedihkan dari selalu berusaha jadi yang terbaik buat orang lain, tapi waktu lo nunjukin diri lo dan kebutuhan lo, lo dianggap beban. Lo dianggap too much.”
“Iya, sedih, tapi yang anggap lo begitu cuman satu orang. Mungkin dua, mungkin sepuluh. Sedangkan manusia ada miliaran. Rejeki lo nggak berhenti di dia doang.”
Gue mengunyah frits gue. Oh, iya. Kalo lo ngelewatin gue, berarti lo bukan lagi bagian dari rejeki gue.
Amsterdam siang itu terlalu hidup untuk hati gue yang kembali redup.
Sebelum kau menjaga,
merawat melindungi segala yang berarti,
yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri.
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}