amsterdam chapter 3: and if i'm dead to you why are you at the wake?
Amsterdam, Amsterdam, dan cerita-cerita mereka yang patah hati karena ekspektasi sendiri.
Enam puluh menit yang panjang gue habiskan berjalan kaki mengitari pusat kota sambil mendengarkan lo berteriak dalam diam. Semua lo utarakan seakan hari esok nggak pernah kita miliki sama sekali. Seakan waktu kita hanya berhenti di hari ini.
Kadang bingung, kadang lelah, kadang juga nggak ngerti, kenapa, ya? Kenapa kita jadi begini?
"Harus banget ngebentak-bentak?"
"Lo kenapa fokusnya ke sana, sih?" Lo menggeram gemas, seakan gue anak kecil yang diajari perkalian nggak ngerti-ngerti.
"Ya, karena nggak semuanya harus pakai bentak-bentak," jawab gue tanpa menghentikan langkah gue. Lo makin marah, perasaan lo nggak gue validasi lagi.
"Gue bilang gue capek sama lo. Gue mau berhenti. Gue udah nggak mau mikirin perasaan lo lagi."
Gue nggak tahu harus jawab apa. Enam puluh menit dia habiskan untuk marah-marahin gue. Kalo gue nggak sepenting itu, kenapa nggak langsung pergi aja?
"Kalo lo belum bisa bahagia sama diri lo sendiri, jangan cari orang lain untuk ngasih kebahagiaan itu. Sama aja lo ngebebanin orang lain. Lo ngegantungin bahagia lo di orang lain."
Tau apa lo tentang bahagia gue?
Tau apa tentang apa yang gue rasain dan apa sumber dari itu semua?
"Makasih ya udah bikin gue buka diri lagi."
Amsterdam, Amsterdam, dan musim panas tahun lalu. Ketika dia datang dan genap tiga tahun gue menutup pintu. Gue nggak pernah meminta dia datang. Dia yang datang dan mengetuk pintu untuk bertamu. Biasanya gue cuman keluar dan ngobrol di sana, tapi dia bisa buat gue ajak dia masuk ke ruang tamu, lihat koleksi buku dan postcard gue dari berbagai tempat memorable yang gue datangi.
"Kalo dia nggak ada, lo ceritanya sama siapa?"
"Nggak tahu," sahut gue, "Ini gue lagi coba ngobrol sama lo, mungkin lo orangnya."
"Gue berusaha jadi dia demi lo." Kini urat lo terlihat di leher. Ngeri. Marah banget kayaknya. "Gue berusaha nemenin lo supaya lo nggak kesepian. Tapi nggak pernah cukup, anjir."
"Gue udah bilang, nggak perlu jadi siapa pun. Karena lo juga nggak bisa digantikan siapapun."
"Basi," tukas lo. "Pokoknya gue udah nggak peduli sama lo. Gue capek. Terserah, deh."
Iya, lo capek. Terus gue harus gimana? Emang gue ngapain, sih, selama ini?
"Semua orang nanya tentang kita. Keluarga gue, temen-temen gue. Emang kita apa? Kita cuman temenan! Gue capek harus klarifikasi terus."
Ya ... ya kenapa harus jadi sebuah klarifikasi? Gue aja nggak pernah mendeklarasikan apa pun ke orang lain karena yang gue lakukan ke elo adalah hal yang gue lakukan ke teman terbaik gue. Gue menganggap lo bagian terbaik di tahun ini karena lo membuat gue mau berbagi lagi dengan teman baru. Tapi, kalo lo anggap gue beban, gue bisa apa?
I love you, but i have feelings too.
Amsterdam, Amsterdam, musim semi kali ini gue malah nangis di tengah Amsterdam Centraal. Kalo gue cuman teman lo, nggak perlu enam puluh menit dipakai memaki-maki. Nggak perlu stres karena risih orang kira kita dating padahal kita cuman sahabatan. Nggak perlu ribet kalo lo nggak juga punya perasaan. Padahal bisa diomongin dan nggak perlu pakai ngebentak-bentak, tapi lo selalu begitu. Selalu jujur di hadapan gue. Terlalu jujur sampai nggak mikirin apakah gue pantas menerima bentakan lo.
Even on my worst day, did I deserve, babe.All the hell you gave me?'Cause I loved you, I swear I loved you.
"Gue capek, ya. Gue capek sama lo!"
Ya udah.
Gue memutuskan berjalan, menyumpal telinga gue dengan Airpod dan meninggalkan dia di tengah kerumunan masyarakat Belanda yang sedang merayakan King's Day. Gue nggak tau di belakang sana dia gimana, apakah dia akan memaki gue, atau bilang ke semua teman dan keluarganya kalo gue udah mati di hidupnya.
Tapi,
And if I'm dead to you, why are you at the wake?
My twin flame, oh my twin flame. Gue kira pertemuan ini akan berakhir bahagia. Tapi ternyata, di kesempatan kedua masih aja ego yang bikin kita berpisah lagi.
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}