paris, paris chapter 1: simple complication, miscommunication.
Gue nggak peduli mas-mas Paris ini mau ngeliatin gue sejutek apa, mau naruh bon kopi seharga 2 kali makan itu dengan sekasar apa, atau mau marah-marah sama gue karena nggak ngerti bahasa Perancis kayak gimana, tapi gue cuman pengen nangis. Gue cuman pengen nangis di pinggir sungai Seine sambil meratapi nasib gue yang nggak ada bagus-bagusnya di kota paling romantis di dunia.
Paris, Paris, gue udah capek mengayuh sepeda keliling kota. Gue cuman pengen duduk dan berteduh, bersandar di kursi kayu yang terlihat rapuh, dan memandangi kota yang terlalu sibuk untuk menghibur hati gue yang udah nggak lagi utuh. Iya, lagi di Paris malah dapat kabar paling zonk sedunia.
Gue nunggu-nunggu dia. Empat bulan lamanya, setiap kali telepon itu berdering dan kita bahas apa aja yang mau dilakuin di kota cantik ini. Katanya, dia mau ke Louvre Museum, kayak orang-orang. Gue iyain walau sebenernya mainstream banget ketemuan kok di Louvre. Ya udah, nggak apa-apa. Tapi, dia mau, dan dia ke Paris, kota paling cantik yang bikin gue betah jauh dari kampung halaman. Jadi, nggak apa-apa. Gue masukkan ke itinerary kita yang notabene cuman punya kurang dari 24 jam karena nggak mungkin banget pria Capricorn itu punya tenaga banyak untuk dihabiskan seharian sama gue.
Dia ke Eropa buat business trip. Destinasi utamanya Brussels, Belgia. Pekerjaannya di dunia desain interior membuat Eropa jadi destinasi langganannya. Terutama perusahaannya sekarang cukup besar dan menangani restoran serta hotel-hotel bintang lima di Indonesia. Terakhir kali kita ketemu di Schiphol Airport, waktu itu gue lagi ada kerjaan di Amsterdam beberapa minggu dan pesannya di WhatsApp muncul menjadi warna di sela-sela meeting yang nggak berjeda.
"Apakah besok ada waktu senggang? Pengen mampir gue."
Gue iyakan karena rakyat Indonesia jauh-jauh ke Amsterdam, katanya mau mampir, dan hari itu gue ada flight back ke Paris. Jadi kita ketemu, over two cups of coffee, kita reconnected lagi.
"Gue belum pernah ke Paris. Gimana rasanya tinggal di kota impian lo sejak kecil?"
Dia nggak ganteng, tapi manis. Tipe cowok dengan gingsul gemas yang bikin lo nggak akan lupa sama senyumnya. Plus ketawa tipisnya setiap kali teasing gue dan impian besar gue di Eropa. Tapi, kita sama-sama suka Eropa, dan kita suka Paris.
Kita suka Paris.
"Oke, ayo kita jalan-jalan ke Paris. Kita harus ke museum, ya," katanya empat bulan lalu.
Tapi, hari ini dia batalin tiketnya ke Paris karena nggak sanggup ngehadepin gue lagi. Gue cuman bisa melongo depan Metro, terus telpon Sandro, teman sebelah flat gue yang lagi ada di dekat situ. Gue nekat minjem sepeda padahal sering hampir ketabrak dan mengelilingi tempat-tempat yang sudah kita rencanakan untuk dikunjungi hari ini. Nangis gue sambil mengayuh sepeda. Sialan, ini laki bisa banget bikin hati gue berantakan.
"Gue nggak jadi dateng. Kita ngejauh aja. Gue cuman bisa temenan, lo nggak bisa maksa perasaan gue. Gue nggak bisa menuhin ekspektasi lo. Nanti yang ada lo makin sakit. Beban di guenya."
Ekspektasi itu sebenernya karena gue ngerasa dia tempat paling nyaman yang bisa bikin gue ganti nama kontaknya dengan nama karakter favorit gue dari sitcom How I Met Your Mother. Iya, gue tau referensi gue kuno banget, but everyone deserve one Ted Mosby. Orang yang bisa jadi temen baik tapi bisa lo tolol-tololin. A bestfriend for a lifetime.
Ya, tapi gue bukan Lily. Gue Robin. Pantes dia kabur. Dia baru putus dua tahun lalu dari hubungan paling toxic yang membuatnya shutdown semua jenis intimacy. Gue nggak masalah, karena gue nggak memaksakan dia membalasnya. Tapi, dia memilih meninggalkan begitu saja, di hari janjian kita.
Dia kebanyakan mikir tanpa ngomong sama gue.
Gue kebanyakan ngomong tanpa mikir dulu apa yang mungkin terjadi sama dia.
Padahal umur kita udah 25 tahun, tapi masalah kita sama terus:
miscommunication.
Cafe tempat gue duduk sekarang makin ramai dan tangisan gue nggak kunjung selesai. Hari sudah semakin malam dan langit pun menggelap. Masih, loh, gue masih nangis karena dibatalin di hari H. Gue udah nunggu 4 bulan, coy. Outfit ready, itinerary ready, hati juga ready. Tapi, kalo emang bukan rejeki gue, ya pastinya bakal ngelewatin gue.
Chelsea, teman kerja gue yang sama-sama pejuang dari Indonesia baru datang sepuluh menit yang lalu bawain make-up remover karena eyeliner gue udah beleberan ke mana-mana. Dia meneguk hot chocolate-nya sambil menatap gue nanar.
"Ya udahlah, lagi apes aja," timpalnya pada tangisan gue. "Mungkin emang bukan rejeki lo. Tapi, seenggaknya lo keren udah mau buka diri dan nerima orang masuk lagi. Udah mau coba berjuang dan nunggu lagi. Kalo emang nggak berhasil, ya udah. Hati manusia kan nggak bisa lo atur. Hari ini gue mau punya rambut warna pink, detik selanjutnya bisa berubah, loh. Ya udah, ikhlas aja, ya. Mungkin lagi apes aja."
Lagi apes aja.
"Dia marah-marah, nih. Gue harus bales apa?"
Tapi, Chelsea nggak nanggepin gue. Gue juga nggak berusaha nanya lagi, karena detik selanjutnya bubble chat super panjang dia kirimkan berisi makian-makian yang gue nggak ngerti kenapa harus sekarang? Kenapa harus di hari di mana gue harusnya ketemu sama dia ketika hari-hari sebelumnya kita baik-baik aja?
Hati manusia kan nggak bisa lo atur.
Hadeh. Apes mulu. Kapan bahagianya?
Tidak ada komentar:
Leave me some comment! Thank you, guys:}