[THE STORIES] Ale : The love I want.


“Omaaaa!” 


Alfian kecil berlari menuruni tangga dengan terburu-buru. Matanya berbinar-binar karena kehadiran dua orang yang paling ia tunggu-tunggu. Oma tersenyum lebar di ujung pintu, sembari membawa tas tangannya yang berwarna coklat dan sekotak lasagna andalannya. Sementara itu Opa tertatih menaiki tangga kecil dari ruang tamu ke ruang keluarga karena pinggangnya yang sudah tidak bersahabat. Alfian langsung memeluk Omanya dan menangis sejadi-jadinya.


Ale mau ikut ke rumah Oma aja. Papi marah-marah terus. I don’t like him.”


Oma tersenyum kecil, berusaha menenangkan Alfian yang terlihat kesakitan. “Sabar, Dut. Pelan-pelan. Satu-satu.”


“No one loves me,” bisik Alfian akhirnya. Opa mengusap pucuk kepala Alfian, kemudian mengecupnya lembut. 


“You are loved, Dut.”


“Tapi, temen-temenku bilang aku jelek nggak kayak Masku. Aku juga nggak bisa ngitung KPK sama FPB. Susah, Opa. Papi cuman marah-marah. Papi nggak mau ajarin.”


Oma dan Opa bertatapan lalu tertawa kecil. “Yo, lihat anakmu, Mas. Galaknya persis seperti kamu.”


“Aku kurang sabar, yo, sama dia?” sahut Opa dengan kekehan khasnya. 


Alfian kecil masih menangis. “Oma, I don’t like everyone. I don’t like Papi, Mami, Mas Rangga!! I hate them!!”


“Ale pasti sedih banget, yo? Nggak apa-apa, nangislah, ada Oma. Habis ini kita makan, yo?”


Dan suara tangis itu terus berlangsung setiap kali telepon dari Papi sudah terputus dan Alfian dewasa duduk di pojokan apartemennya. Namun, kali ini, dibanding Oma dan Opa yang menenangkan, ada Thalia yang memeluknya.


“Gue mati juga mana Papi peduli. Yang Papi cari itu hasil, bukan prosesnya. Gue berengsek disalahin, gue coba baik disalahin.”


Thalia mengusap punggung Ale pelan-pelan. “Boleh marah tapi nggak boleh mikir jelek kayak gitu. Itu setan yang mikir, bukan lo. Pacar gue bukan setan, kan?”


“Thaliaaa, please? Do I look like someone yang mau nerima becandaan lo?” Alfian terkekeh sedikit di akhir kalimatnya.


“See? Lo ketawa lagi, kan? Sabar, Sayang. Pelan-pelan. Satu-satu. Nggak semua omongan orang harus lo masukin ke hati lo. Nanti semua langkah jadi berat, Sayang. Padahal ini hidup lo dan lo tau yang lagi lo jalanin adalah hal baik. Jadi, pelan-pelan aja.”


“Gimana kalo selamanya gue nggak akan bikin Papi bangga, Thal? Gimana kalo selamanya Papi bakal benci sama gue?”


Thalia tersenyum tipis. “Papi nggak benci lo, Alfian. Papi cuman khawatir.”


Alfian mengeratkan pelukannya pada Thalia. Bersama perempuan ini, air mata bisa luruh seperti Alfian kecil di Surabaya. Tidak ada ketakutan jadi diri sendiri, tidak ada kekhawatiran diolok-olok seperti waktu kecil. Alfian nggak takut menangis karena Thalia yang menemaninya.


“Lo kerjain thesis di Amsterdam aja, Le. Kan lo punya duit, lo punya kuasa, lo beli rumah aja di Amsterdam, anjir,” celetuk Ares saat hening mengisi mobilnya sepanjang jalan pulang dari Bandara. Yang diajak ngobrol masih bengong. Tatapannya menerawang jauh ke langit Jakarta yang udah nggak biru lagi.


“Lo tau gak gue udah mau mati pas nggak ada Oma dan Opa gue?”


Ares menelan ludahnya. “Eh, kok jadi serius gini?”


“Lo tau nggak seberapa seneng ya gue pas ketemu sahabat baik kayak Ayas yang selalu jagain gue? Waktu itu pertama kalinya setelah Oma dan Opa udah meninggal, gue ngerasa ada yang nerima gue. Ya Ayas orangnya. Terus lo dan Amira juga.”


Ares bergeming berusaha memberikan ruang untuk Alfian yang terlihat putus asa.


“Dan Tuhan ketemuin gue sama Thalia. Gue yang tadinya udah di dasar jurang jadi punya harapan buat naik perlahan dan hidup selayaknya kayak manusia. I feel alive whenever I have her.”


Alfian menunduk. “Gue ngerasa nggak bisa hidup tanpa dia, tapi terakhir kali gue ngegantungin hidup gue sama Oma dan Opa, gue ancur banget sampe berani kabur ke Jakarta. Gue rasa kali ini gue harus belajar kasih jarak sama apa yang gue sayang banget, supaya gue nggak sakit banget kalo kehilangan mereka.” 


“Ale?”


“Apa, Nyet?”


“Najis lo. Dangdut banget. Jijik gue.”


Alfian yang tadinya berkaca-kaca langsung tertawa. “Anjir lo! Shut up, dude! I’ve always been THERE di setiap dangdutan lo buat Ayas. Ya biarin lah sekali-kali gue dangdutan. Woo! You’re not supportive. I should’ve asked Ayas’ company instead of you!”


“Hahaha jangan gloomy banget gitu, lah. Lo punya PPK, Nyet. Lo nggak akan kehilangan siapa-siapa. Lo punya PPK.”


Alfian tersenyum kecil. “I know. Thanks, Bro.”


“Yes, iPad Pro satu please—“


“YEEE MASIH AJE LO! Hahaha.”


Dan begitulah The Stories Season 3 dimulai.

Tidak ada komentar:

Leave me some comment! Thank you, guys:}

Diberdayakan oleh Blogger.